Habib Abdul Qadir Bilfaqih Al-Alawy; Ulama Hebat Hadits Indonesia

Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang populer sebab ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya.

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf biar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.

Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan kisah dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam saya dianugerahi Tuhan SWT seorang putra. Dan itulah instruksi takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim biar disampaikan kepadaku. Oleh sebab itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Tuhan SWT menunjukkan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”

Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir sebab mengharap berkah (tafa’ul) biar ilmu dan maqam Abdul Qadir menyerupai Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam mendapatkan pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang memiliki perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu jikalau tidak memuliakan mahir ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.

Pernah suatu ketika di ketika menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak mendapatkan sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu pola keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.

Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.

Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah menerima ijazah dan berhak menunjukkan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Tuhan SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.

Maka tidak hiperbola jikalau salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”

Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.

Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, menyerupai Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam forum pendidikan dan majelis taklim.

Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan pribadi diangkat sebagai eksekutif Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.

Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.

Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia mahir ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan kepingan ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya yaitu bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak menerima hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung pribadi kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky ketika berkunjung ke Makkah.

Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga ulet mendirikan taklim di beberapa daerah, menyerupai Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.

Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, menyerupai Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.

Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.

Diringkas dari manakib goresan pena Habib Soleh bin Ahmad Alaydrus, pengajar Ponpes Darul Hadits Malang, Jawa Timur

Sumber: ahlussunahwaljamaah.wordpress.com