![]() |
Abah KH. Masruri Benda |
Almaghfurlah KH. Masruri Mughni, pernah sama-sama nyantri bersama Gus Dur kepada KH. Abdul Fatah Hasyim di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.
”Kamar saya dan Gus Dur bersebalahan. Saya di kamar Pangeran Diponegoro 7, Gus Dur di kamar Pangeran Diponegoro 6,” katanya.
”Tapi ia berkali-kali bilang jikalau yang benar-benar menjadi gurunya yaitu Mbah Fatah (KH. Abdul Fatah Hasyim) dan Mbah Chudlori (KH. Chudlori) Tegalrejo Magelang,” imbuhnya.
Ketika semua orang mengecam Gus Dur sebab mau berangkat ke Israel, ia mengatakan, ”Biar semua orang mau bilang apa yang penting Mbah Fatah dan Mbah Chudlori mangestoni (memberi restu).” Padahal kedua gurunya itu sudah wafat. Karena itulah banyak yang yakin cucu KH Hasyim Asy’ari itu punya kemampuan berkomunikasi dengan dunia ghaib. ”Gus Dur yakin betul melawan Israel tidak bisa dengan kekerasan, tetapi mau tidak mau harus pakai jalur diplomatik. Ya harus ke sana bicara baik-baik,” tutur Kiai Masruri, pendiri pondok pesantren Al-Hikmah-2, Benda, Sirampog, Brebes itu yang wafat pada Ahad pagi 20 Nopember 2011 di Arab Saudi dalam usia 68 tahun dan dimakamkan di pemakaman Baqi' bersahabat Masjid Nabawi.
Demikian pula ketika terjadi penembakan terhadap umat Islam minoritas di India, KH. Abdurrahman Wahid di Bali malah mengatakan, ”Kalau Mahatma Gandhi Islam, ia yaitu wali besar.”
Pernyataannya itu kemudian dikutip sebuah majalah Ibu Kota tanpa kata-kata ”Kalau”. Sehingga seakan-akan Gus Dur menyebut Mahatma Gandhi wali besar. Gegerlah semua kiai dan habaib di Indonesia. Melalui jalur Forum Demokrasi (Fordem) India, Gus Dur menempuh jalur diplomasi. Hasilnya umat Islam minoritas tidak ditembaki lagi.
”Saya murung dihujat umat Islam Indonesia, tetapi saya bahagia sebab umat Islam India tidak ditembaki lagi,” tuturnya menyerupai ditirukan Kiai Masruri.
Banyak hal yang sudah dilakukan Gus Dur tanpa orang lain mengetahui apa yang bekerjsama terjadi. Contoh bagaimana humanisnya cucu KH Hasyim Asy’ari itu disampaikan Drs H Ali Mufiz MPA. Saat itu ia yang menjadi Wakil Gubernur Jateng menemui Gus Dur di kantor PBNU.
”Gus Dur satu kendaraan beroda empat bersama pamannya, KH. MA Sahal Mahfudh keluar dari kantor mengambil gaji goresan pena di Kantor Majalah Tempo,” katanya.
Pada ketika tiba kembali di kantor PBNU, tiba-tiba tiba seorang temanya yang mengeluh butuh biaya untuk mengobati keluarganya yang sakit. Tanpa menengok kanak-kiri, amplop gaji goresan pena yang gres saja diambil dari Majalah Tempo, pribadi diserahkan kepada temannya itu, tanpa sempat membuka isinya terlebih dahulu.
Ya, Gus Dur telah tiada, tetapi spiritnya akan terus ada ila akhirus zaman. (Agus Fathuddin Yusuf-60)