Aku, Gus Dur, Dan Mimpi Yang Direncanakan

Gus Dur dan KH. Hasyim Muzadi
Pada mulanya ialah benci, kemudian menjadi cinta, kemudian bermetamorfosis menjadi rindu. Itu yang kurasakan pada Gus Dur waktu itu. Setelah kebencianku pada Gus Dur meremuk, hatiku terus melengking meneriakan namanya, "Bagaimana saya sanggup menemuimu, Gus? Mencium tanganmu, itu saja yang kuinginkan."
Berbagai cara kutempuh, tapi jasadku tak juga sanggup menggapai Gus Dur. Akhirnya, kuputuskan setiap sebelum tidur mengirim al-Fatihah untuk Kyai itu. Berharap dalam mimpi, dia mau menemuiku. Ya, biarkan alam mimpi yang mempertemukan kami berdua. Tak banyak yang kuinginkan, hanya mencium tangan dan meminta maaf atas setiap cacianku padanya.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, Gus Dur tak juga menjelang dalam mimpiku, padahal kangenku sudah tak tertahankan. Akan tetapi, di hari ke 94 sejak kuawali mengirim surat al-Fatihah, Gus Dur balasannya tiba dalam mimpi. Dan pada goresan pena ini, ingin kuceritakan kembali apa yang terjadi.
Tanpa didampingi siapa pun, Gus Dur dan saya bertemu di warung nasi depan kampusku. Pakaian batik dan sarung membungkus tubuhnya, peci yang miring serta kacamata tebalnya melengkapi kediriannya. Dialog yang bagiku asing pun terjadi. Aneh alasannya ialah perbincangan kami kesana kemari, tak terang arahnya.
Gus Dur : "Sebenar apa pun tingkahmu, sebaik apapun prilaku hidupmu, kebencian dari insan itu niscaya ada. Kaprikornus jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan.!"
Mughni : "Iya, Gus. Tapi.."
Gus Dur : "Bagaimana tidak repot, hidupmu terlalu banyak 'tapi'.!"
Mughni : "Hehehehe.."
Gus Dur : "Apa kau kenal Wa Totoh? Maksud saya KH. Totoh Ghozali."
Mughni : "Disebut kenal ya tidak, tapi saya sering mendengar ceramah-ceramahnya di Radio."
Gus Dur : "Belajarlah kau kepadanya, bagaimana memurnikan tauhid masyarakat. Dia menggunakan bahasa lokal sebagai senjatanya, menggunakan humor cerdas tanpa hina dan caci."
Mughni : "Baik, Gus, jika itu perintah Panjenengan."
Gus Dur : "Ini bukan perintah, ini memang sesuatu yang seharusnya kau lakukan sebagai Da'I."
Mughni : "Laksanakan."
Gus Dur : "Kamu suka menulis?"
Mughni : "Tidak, Gus, goresan pena saya jelek sekali. Saya coba menulis puisi atau dongeng pendek, tapi benar-benar jelek hasilnya."
Gus Dur : "Rupanya kau belum pernah dilukai seorang wanita, makanya goresan pena kau tidak bagus."
Mughni : "Lha, Panjenengan tau darimana jika saya belum pernah dilukai wanita?"
Gus Dur : "Ya itu tadi, karya sastramu jelek sekali."
Mughni : "Hmmmmm.."
Gus Dur : "Kamu pernah pesantren?"
Mughni : "Pernah, Gus."
Gus Dur : "Dimana?"
Mughni : "Di Al-Falah sama di Al-Musaddadiyah."
Gus Dur : "Rupanya kau Santri Kyai Syahid sama Kyai Musaddad."
Mughni : "Iya."
Gus Dur : "Saya juga sering bersilaturahmi ke beliau-beliau itu. Mereka salah satu penjaga Islam Ahlussunnah wal Jama'ah."
Mughni : "Ketika jadi Santri, saya bandel sekali. Saya merasa aib kepada beliau-beliau itu, Gus."
Gus Dur : "Saya beritahu kamu, kebaikan seorang Santri tidak dilihat saat dia berada di Pondok, melainkan sehabis dia menjadi alumni. Kamu tinggal buktikan hari ini, bahwa kau ialah santri yang baik."
Mughni : "Terima kasih, Gus."
Gus Dur : "Dunia tanpa pesantren, bagi saya ialah siksa. Bersyukurlah alasannya ialah kau pernah menjadi bab di dalamnya."
Mughni : "Iya, Gus."
Gus Dur : "Kamu mau tau belakang layar hidup saya dalam memandang segala sesuatunya?"
Mughni : "Tentu, Gus, saya penasaran belakang layar panjenengan."
Gus Dur : "Dalam memandang segala sesuatu, gunakanlah 'mata' Allah."
Mughni : "Waduh. Bagaimana contohnya?"
Gus Dur : "Contohnya begini. Ketika saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah orang itu benar atau salah, saya terima semuanya dengan lapang dada. Karena apa? Saya selalu yakin, Tuhan lah yang menggerakan hati mereka untuk tiba kepada saya. Jika saya tolak alasannya ialah mereka bersalah, itu sama saja saya menolak kehendak Allah. Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan alasannya ialah kesalahannya itu, bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, tapi saya melindungi kemanusiaannya."
Mughni : "Duh.."
Gus Dur : "Lebih jauhnya begini. Jika kau membenci orang alasannya ialah dia tidak sanggup membaca al-Qur'an, berarti yang kau pertuhankan itu bukan Allah, tapi al-Qur'an. Jika kau memusuhi orang yang berbeda Agama dengan kamu, berarti yang kau pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kau menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kau pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kau mempertuhankan Allah, kau harus mendapatkan semua makhluk. Karena begitulah Allah."
Mughni : "Ya Allah.."
Sebelum obrolan itu berlanjut, kawanku membangunkan untuk mengajak kuliah. Ketika bangkit tidur, perutku lapar sekali. Mungkin alasannya ialah dalam mimpi, saya dan Gus Dur tak makan dan minum di warung nasi itu, tapi hanya berbincang.
(Haul Gus Dur yang ke-6) Desember. 29.2015

Related Posts :