Apakah Emosinya Istri Kepada Suami Termasuk Bentuk Durhaka?

Istri sebagai seorang perempuan pada umumnya pastilah merasa ingin juga didengar pendapatnya, keluh kesah ataupun saran kritiknya di hadapan suaminya. Akan tetapi, tidak jarang suami salah paham menerimanya dan menganggap istri malah sok mengajari suami dan merasa istri berani terhadapnya. Ketika istri yang gampang tersinggung dan gampang emosi pastilah mereka sering mengeluarkan perkataan bernada tinggi dan keras dalam posisi menyerupai ini, sehingga pertengkaran pun sanggup terjadi padahal sebab hal sepele dan kemungkinan hanyalah salah paham diantara mereka. 

Allah Swt. berfirman:

وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Para perempuan yang kalian khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di kawasan tidur mereka, serta pukullah mereka. Kemudian jikalau mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Tuhan Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS an-Nisa’ [4]: 34).

Selama istrinya melaksanakan nusyuz, hak nafkahnya pun dicabut, dan tidak wajib diberikan oleh suaminya.

Apakah perkataan istri dengan nada tinggi dan emosi terhadap suami sanggup dikatakan pembangkangan (nusyuz)?

Pembangkangan atau durhaka dalam istilah Al-Quran disebut nusyuz. Apa bentuk faktual pembangkangan yang dimaksud Al-Quran? Ada baiknya kita lihat keterangan ulama perihal nusyuz berikut ini.

ومعنى النشوز ألا تمكن الزوج من الاستمتاع وتعصي عليه. وهذه الأحكام الثلاثة محمول على ترتيب الجرائم. فإن ظهر منها أمارات النشوز كسوء الخلق والترفع عليه وعظها وخوفها من الله تعالى أنه يعاقبها في الأخرة وما يلحقها من الضرر في الدنيا بسقوط النفقة. فإن نشزتها هجرها في المضجع. ولا يهجرها في الكلام لقوله عليه السلام لايحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام. فإن أقامت عليه ضربها ضربا غير مبرح ولا يدمي ويتقى الوجه لنهيه عن ذلك المقاتل لما في ذلك من الضرر الخطير

Pengertian “pembangkangan (nusyuz)” merujuk pada ketidaksediaan istri untuk bekerjasama suami-istri, dan tindakan perlawanan istri terhadap suami. Tiga aturan itu termasuk pelanggaran yang berjenjang. Bila tampak gejala pembangkangan dari seorang istri menyerupai berakhlaq jelek dan merasa lebih tinggi dari suami, suami harus menasihatinya dan mengingatkannya akan hukuman yang Tuhan siapkan di alam abadi dan pengaruh mudharat di dunia yang akan menderanya menyerupai gugur kewajiban nafkah dari suami. Bila istri masih saja membangkang, suami boleh menentukan pisah ranjang.

Tetapi suami dihentikan mendiamkan istrinya sebab sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Seorang muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” Bila istri terus pada pembangkangannya, suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan melukai. Kalau terpaksa juga memukul, ia dihentikan memukul wajah sebab larangan Rasulullah Saw. terhadap pemukulan anggota badan yang vital sehingga berdampak ancaman yang luar biasa. (Lihat Ibnu Daqiq Al-Ied, Tuhfatul Labib fi Syarhit Taqrib, Daru Athlas, 1419 H, halaman 335-336)

Lalu apakah pembelaan diri istri dalam musyawarah dengan suami masuk kategori nusyuz seperti dijelaskan di atas? Berikut ini keterangan yang antara lain kita temukan dari Abu Bakar Al-Hushni al-Husaini ad-Dimsyiqi.

ليس من النشوز الشتم وبذائة اللسان لكنها تأثم بإيذائه وتستحق التأديب. وهل يؤدبها الزوج أم يرفع الأمر إلى القاضي؟ وجهان حكاهما الرافعي هنا بلا ترجيح. وجزم به في باب التعزير بأن الزوج يؤدبها، وصححه النواوى هنا من زيادته فقال قلت: الأصح أنه يؤدبها بنفسه لأن في رفعها إلى القاضي مشقة وعارا وتنكيدا للاستمتاع فيما بعد وتوحيشا للقلب والله أعلم

Maki dan kata kotor tidak termasuk bangkang/durhaka (nusyuz). Tetapi seorang istri berdosa sebab menyakiti suaminya. Ia pantas mendapat didikan. Apakah suami sendiri yang mendidik si istri atau ia mengangkat kasus itu ke muka hakim? Dua pendapat dikemukakan Imam Rofi’i tanpa menaruh kecenderungan pada salah satunya. Sementara di bab ta’zir, ia yakin pada pendapat yang menyampaikan bahwa cukup suami sendiri yang mendidik istrinya. Pendapat ini dibenarkan oleh Imam Nawawi. Ia menambahkan, pendapat lebih sahih ialah suami sendiri mendidik istrinya. Karena, angkat kasus ke muka hakim menimbulkan kesulitan, aib, menghalangi relasi intim sesudah itu, dan menciptakan enggan hati. (Lihat Abu Bakar Al-Hushni al-Husaini ad-Dimsyiqi, Kifayatul Akhyar fi Ghayatil Ikhtishar fil Fiqhis Syafi’i, Darul Basya’ir, 2001, halaman 456).

Dari keterangan di atas, sudah terang bahwa pembelaan diri dalam musyawarah dengan suami tidak termasuk kategori membangkang menyerupai yang dimaksud Al-Quran. Hanya saja masing-masing pihak perlu memperbaiki diri soal komunikasi sehingga kata-kata atau perlakuan bergairah tidak perlu terjadi. Tetapi keterangan di atas itu bukan berarti membenarkan suami berbuat semaunya menyerupai berbicara dan berlaku bergairah terhadap suami. Berikut ini keterangan Syekh Syarqawi wacana keharusan suami dan istri untuk bersikap ramah satu sama lain.

وفي الحق الواجب أي الذي هو طاعته اللازم لها تسليم نفسها له ومعاشرته بالمعروف وملازمة المسكن وحقها عليه المهر والقسم والمعاشرة بالمعروف، وفي عكس هذه وهو نشوز الزوج ينهاه الحاكم ويعزره إن رآه مصلحة

Kewajiban istri terhadap suami ialah kepasrahan diri, perlakuan yang ramah terhadap suami, tidak meninggalkan rumah tanpa seizin suami. Sedangkan kewajiban suami ialah menggenapi mahar, nafkah batin, dan perlakuan yang ramah terhadap istri. Sebaliknya jikalau suami melaksanakan pembangkangan maka pemerintah harus mencegahnya dan menjatuhkan hukuman kepada suami bila dipandang membawa mashlahat. (Lihat Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi, Hasyiyatus Syarqawi ala Tuhfatit Thullab bi Syarhi Tahriri Tanqihil Lubab, Darul Fikr, halaman 274).

Semoga pasangan suami istri sanggup menjalani rumah tangga dengan sabar dan saling menghargai satu sama lain sehingga rumah tangganya masuk kategori sakinah mawaddah wa rahmah yang selalu bernilai ibadah. Wallahu a'lam