Politik Islam Kontemporer

Ada beberapa Kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam yang organik tradisional, yang sekuler dan moderat. 

A. Tipologi Pemikiran Politik Islamic Organik Tradisional.
Tipologi ini melihat bahwa Islam ialah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang tepat dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi administrator atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang mempunyai tipologi menyerupai ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu teladan hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini ialah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-‘ala al-Maududi.

1. Rasyid Ridha 
Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan forum kesultanan Usmani yang menurutnya ialah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia sepertinya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di aneka macam belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan kiprah untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya lantaran Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun menghendakinya. 

Tentu saja ahl al-hall wa al-‘aqd, sebagai forum pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti spesialis fiqh yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan forum pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan saja jago agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari aneka macam bidang. 

Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, forum representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya bila perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan romantis, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya. 

Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik wacana kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada kala ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi. Keduanya telah menyebarkan yang dalam istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy (negara aturan Ilahi) atau berdasarkan Istilah Profeser Tahir Azhari Nomokrasi Islam.

2. Sayyid Qutub dan al-Maududi 
Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi tempat tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat lantaran hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi aturan Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi ialah orang pertama yang memakai pengertian bahwa umat insan ialah khalifah Tuhan di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat ., lantaran insan hanyalah pelaksana kedaulatan dan aturan Tuhan yang lantaran itu, insan dihentikan menciptakan kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.

Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada insan dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari’at. Manusia diberik kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak terperinci diatur secara terperinci dalam syari’at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang mempunyai persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang Tuhan bila diperlukan. Undang-undang yang sudah terperinci terdapat dalam nash dihentikan seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum terperinci pengertiannya dihentikan kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.

Pemikiran pembaruan politik al-Maududi wacana teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.

Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan ialah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya ialah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya mempunyai kedaulatan.

Risalah berdasarkan Maududi ialah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melaksanakan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan teladan hidup bagi insan yang disebut syari’ah.

Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa insan di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa insan ialah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya ialah seluruh komunitas yang meyakini dan mendapatkan prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini ialah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap insan yang mendapatkan prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, insan yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan mendapatkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif.

Untuk memperjelas prosedur khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memperlihatkan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik bahwasanya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan manajemen perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri. 

B. Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler
Kebalikan dari tipoligi pertama, berdasarkan tipologi ini Islam ialah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan wacana kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam ialah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid.

Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim forum khalifah terbukti tidak bisa berfungsi semenjak awal. Tiga belas sesudah insiden peniadaan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam pedoman Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut ialah al-Islam wa Ushul al-Hukm. 

Tesis utama dari buku ini adalah:
  1. Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.
  2. Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh menentukan bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
  3. Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibuat sesudah wafatnya Nabi tidak mempunyai dasar dalam dogma Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
  4. Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar problem dunia Islam lantaran ia dipakai untk meligitimasi tirani dan menjadikan dekadensi umat Islam.
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian. 
  1. Dalam bab pertama diuraikan wacana definisi khilafah atau forum khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan wacana dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan teladan khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan karenanya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
  2. Dalam bagia kedua diuraikan wacana pemerintahan dan Islam, wacana perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan karenanya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara. 
  3. Dalam bab ketiga dan terakhir diuraikan wacana khilafah atau forum khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling fundamental dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis ialah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan perkara kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang intinya duniawi.

Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq ialah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian menyerupai yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang terperinci baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam.

Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata menyerupai uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur’an menyerupai Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik.

Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memperlihatkan argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk memperlihatkan bahwa tindakan politik Nabi, contohnya melaksanakan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam ialah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.

Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud menyampaikan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam usaha mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi pedoman pokok Islam. Ini terperinci memperlihatkan bahwa Ali mendapatkan keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia terperinci menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang intinya bersifat sekuler.

Orang lain yang mempunyai persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq ialah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara ialah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaumMuslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan.

Program Ahmad Luthfi al-Sayyid ialah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip yang sanggup mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama kala ke-20. Prinsip-prinsip tersebut ialah mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka relasi insan dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria sikap perorangan dan karenanya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.

Perlu juga disebutkan bahwa dikala Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh aturan syari’at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, menyerupai ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme. 

C. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat
Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas ialah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam ialah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak memperlihatkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas menentukan sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini ialah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.

1. Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)
Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berafiliasi dengan ketatanegaraan. Ayat wacana musyawarah contohnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak absurd bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan mendapatkan baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga efek luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban insan termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Tuhan yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar insan sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.

2. Muhammad Abduh (1862-1905)
Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, sepertinya masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak tetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia bisa mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian ialah konsekuensi dari konsep teologisnya wacana kehendak bebas insan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat ialah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam tetapkan aturan untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan ialah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama menyerupai yang terdapat dalam Kristen Kristen pada kala pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Tuhan dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap iktikad dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak mempunyai kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berafiliasi dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama.

Jelasnya berdasarkan Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memperlihatkan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya wacana agama atas orang lain.

Bahkan, berdasarkan Abduh, salah satu prinsip dari pedoman Islam ialah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga sesudah Tuhan dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas iktikad dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memperlihatkan pesan yang tersirat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, sanggup mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan aturan ilahi, menyerupai yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.

Pendapat Abduh di atas menyerupai mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Tuhan pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara ialah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak insan atau rakyat dan bukan hak Tuhan.

Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur relasi antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatny/a. Menurutnya, kiprah itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat ialah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun sikap dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan pedoman agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak mempunyai kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk forum fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka sanggup saja memperlihatkan opini aturan atau fatwa, tetapi tidak sanggup dipaksakan.

Dalam hal ketaatan, rakyat dihentikan menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melaksanakan hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menjadikan ancaman yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai.

Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki biar prinsip-prinsip pedoman Islam sanggup dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam diadaptasi dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada relasi yang dekat antara undang-undang dan kondisi negara setempat.

Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, Suyuthi Pulungan menyimpulkan bahwa sepertinya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi mempunyai kiprah keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya wacana negara dan pemerintahan, lanjut Sayuti, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan langsung untuk umat Islam; ia juga sanggup mendapatkan negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia tetap mem-punyai akad yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip Islam.

3. Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam ialah sistem politik demokratis. Dalam aneka macam tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam ialah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) ialah mereka yang tidak mendapatkan konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam ialah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melaksanakan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.

Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, menyerupai yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material menyerupai di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, menyerupai terhadap al- Maududi menyerupai yang telah dijelaskan di muka.

Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga beropini sama. Pertama-tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis menyerupai dikala Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional menyerupai dikala Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun mendapatkan pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melaksanakan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi menyerupai terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Tuhan di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim.

Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah lebih banyak didominasi umat agama lain, tetapi tidak sanggup dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut ialah model toleransi tanpa peduli. Ini lantaran ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi kiprah kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini dikarenakan telah melaksanakan sakralisasi terhadap sesuatu yang bahwasanya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam ialah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Tuhan dalam menjalankan kiprah pribadi dan sosialnya secara harmonis.