Politik Islam Di Indonesia

Sedikitnya ada dua cara memandang Islam dan politik di Indonesia pada masa lampau dan mungkin sampai menjelang reformasi. Pertama, Islam merupakan format dan tujuan yang dipakai untuk melaksanakan pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara formal, legalistik, dan menyeluruh. Ini yang mungkin kemudian disebut 'Islam politik'. Kedua, Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Inilah yang kemudian popular disebut 'Islam kultural'.
Kedua cara pandang tersebut sama-sama mengalami kesulitan untuk menempatkan tugas Islam di dalam kehidupan politik riil (real politics) di Indonesia.

Persoalannya ialah mampukah umat Islam Indonesia menyesuaikan dengan kecenderungan kebudayaan politik yang berkembang? Pertama-tama ia harus mengubah cara mengorganisasi umat Islam yang tidak lagi mendasarkan diri pada kesamaan agama, tetapi dengan bentuk-bentuk profesional. Dengan demikian, agama menjadi milik pribadi-pribadi yang tidak diartikulasikan secara formal. Kemudian sesudah itu, umat Islam harus melaksanakan upaya-upaya sadar untuk berdampingan secara koeksistensif dengan kekuatan-kekuatan lain di Indonesia.

Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, mencari bentuk teoretik kontemporer dari konsepsi Islam politik. Kedua, menelusuri pertumbuhan, perkembangan, dan pasang surut Islam politik di Indonesia. Ketiga, mencari rumusan format politik Islam atau Islam politik gres di Indonesia.

Islam akan bisa menjadi salah satu dari kekuatan politik yang sangat berarti bagi dunia menjelang tahun 2000. Kalimat itu merupakan pernyataan W. Montgomery Watt, pengamat Islam bangsa Amerika yang bernada optimistik. Salah satu alasannya, berdasarkan Watt ialah tradisi Islam yang tidak memisahkan antara politik dan agama.

Konseptualisasi Islam kontemporer, setidaknya sanggup dikelompokkan pada dua bentuk kenegaraan Islam. Pertama, konseptualisasi yang diwakili oleh Al-Maududi yang bercorak ideologis dan formalistik. Kedua, kekuatan konseptualisasi Ali Abdul Raziq yang dengan interpretasinya terhadap realitas historis mengubah corak formalistik Islam menjadi berwajah kultural dan komplementer.

Pemikiran Maududi
Menurut konseptualisasi Maududi, kebutuhan dan pembenaran untuk suatu negara Islam timbul dari pemahaman akan tatanan universal. Karena itu negara Islam ialah bab dari teologi terpadu, luas, yang prinsip pokoknya ialah kedaulatan Tuhan. Negara atau alat lain yang akan melaksanakan kekuatan politik merupakan konsekuensi pada konsepsi universal yang diatur Tuhan bagi kehidupan insan di dunia.

Untuk itu Maududi merumuskan negara Islam dengan memakai dua cara. Pertama, melalui pembahasan prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kedua, melalui pertimbangan lembaga-lembaga dan sifat-sifat khususnya.

Bagi Maududi, target negara bukan semata-mata mencegah tirani, menghentikan banyak sekali macam kejahatan, tapi juga mendorong setiap jenis kebajikan. Guna mencapai tujuan ini diharapkan kekuatan politik, dan negara dibenarkan memakai seluruh sarana. Suatu negara dengan tujuan mirip itu tidak dibolehkan mengabaikan kehidupan rakyatnya, walaupun contohnya beralasan bahwa ini di luar wewenangnya. 

Pendekatannya, haruslah menyeluruh dan universal. Pendeknya negara haruslah totaliter. Menolak ketentuan ini, dengan membiarkan adanya bidang di luar kekuasaan negara, akan sama artinya dengan menyangkal kedaulatan Tuhan. Maududi memang mengakui bahwa konsepsi negara Islam ialah totaliter. Hanya totalitarianisme yang dikenalkan itu tidak menindas kebebasan individu dan kemerdekaan insan tetapi justru melindunginya.

Satu hal pokok dari negara Islam, berdasarkan Maududi ialah wujudnya sebagai suatu negara ideologi. Faktor pengikat di kalangan warga negara ialah ideologi yang dianut bersama. Ideologi ini bertujuan memperbaiki masyarakat insan dan negara ialah alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Dua jawaban penting dari negara Islam sebagai negara Ideologi ialah, pertama, negara harus diawasi dan dikendalikan hanya oleh seorang muslim. Kedua, soal konsep kewarganegaraan. Ada dua jenis kewarganegaraan: satu jenis untuk kaum muslimin yang berdomisili di wilayah negara, dan jenis lain untuk mereka yang bukan muslim yang menyetujui dan patuh kepada negara Islam daerah mereka bermukim. Pada kaum muslimin terletak tanggung jawab sepenuhnya atas berjalannya roda negara. Merekalah yang mendapatkan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Islam, termasuk kewajiban membela negara, dan sebaliknya mereka berhak menjadi anggota parlemen, memperlihatkan bunyi dalam pemilihan kepada negara, dan diangkat pada kedudukan-kedudukan penting.

Warga negara bukan Muslim dijamin memperoleh derma hidup, badan, milik, dan keyakinan serta kehormatan. Yang tidak dijamin kepada mereka ialah hak penuh untuk mengemukakan pernyataan politik atau persamaan dengan sesama warga negara muslim. Negara akan memberlakukan pada mereka undang-undang negara secara umum, sementara membiarkan mereka memakai aturan perorangan mereka guna mengatur urusan mereka sendiri. Ada sejumlah jaminan dan derma lain yang juga diberikan kepada mereka, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok hidup kepada semua warga negara tanpa kecuali.

Konsep itu lahir di tengah suasana proses pembentukan negara-negara nasional pada awal kala ke-20, dikala forum ''Khalifah'' yang berpusat di Turki telah merosot otoritasnya, sesudah Perang Dunia I. Dan semua gagasannya dipengaruhi oleh satu harapan kaum sekular dari kelompok muda Turki yang pernah dididik Barat. Ide-ide politik Maududi itu bersama-sama hendak menyadarkan kaum intelektual muslim dan membangkitkan di dalam diri mereka ihwal suatu fakta bahwa Islam memiliki aturan hidup sendiri, kebudayaan sendiri, sistem politik sendiri, ekonomi, filsafat, dan sistem pendidikan yang lebih tinggi daripada segala sesuatu yang ditawarkan oleh peradaban Barat.

Tentu Maududi amat beruntung bahwa ide-idenya sanggup direalisasikan, minimal di tingkat konstitusi pada suatu negara gres hasil pemisahannya dari anak benua India. Pengakuan 1949 Majelis Konstituante Pakistan menyetujui ''Revolusi Objektif'' yang berisi ihwal ide-ide Maududi, tidak jauh dari apa yang dikemukakan di atas. Persoalannya memang tidak berhenti di tingkat konstitusi saja, alasannya ialah banyak sekali tantangan muncul. Komisi ''Munir'' yang populer itu, misalnya, merupakan "protes" paling keras terhadap ide-ide Maududi. Bahkan Presiden Iskandar Mirza, pada 7 Oktober 1958 menetapkan untuk membatalkan konstitusi "negara Islam" yang banyak menolak ide-ide Maududi tersebut. Bahkan pada masa Ayub Khan, diberlakukan undang-undang darurat perang dan melarang partai politik, termasuk partai Maududi Jamaat-i-Islami. Pakistan sampai wafatnya Zia Ul Hak (1988) masih tetap mencari identitas diri yang tak kunjung selesai dan kadang kala diwarnai oleh kekerasan-kekerasan yang memakan korban.

Maududi dan kemudian negara Islam Pakistan ialah sebuah model pemikiran dan institusi politik yang diupayakan memiliki tabiat keislaman yang "kaffah", holistik dan menyeluruh.

Pemikiran Raziq
Dalam definisi umum modernisasi politik terkandung tiga tema besar, yaitu, (1) Penekanan pada diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan struktur politik. (2) Penekanan atas persamaan, kekuasaan, gagasan bahwa perkembangan politik melibatkan partisipasi massa dalam masalah-masalah poliitk. (3) Penekanan pada ekspansi kapasitas dari suatu sistem politik untuk mengarahkan perubahan sosial dan ekonomi.

Ketiga tema itu bergaung keras di negeri-negeri Muslim yang sedang mencari identitasnya. Dilema pun muncul di sekitar tema-tema itu. Jika diferensiasi menciptakan pemisahan forum politik dari struktur agama, maka diktum bahwa Islam tidak sanggup dipisahkan dari agama telah dipupus. Jika agama dan lembaga-lembaganya (ulama, pemimpin agama) menjadi alat untuk membawa massa pada proses politik maka keabsahan proses politik massal itu pun dipertanyakan. Tetapi satu hal yang tidak sanggup dipungkiri adalah, bahwa nilai-nilai agama sanggup dipakai untuk menciptakan politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga memperlihatkan imbas penting pada kultur politik dan mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke arah pola-pola tertentu kehidupan politik. Karena itu dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya perumusan sistem politik yang tetap memiliki etika politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami, namun tidak muncul secara formal: memahami pluralisme.

Penafsiran kembali konsepsi Islam ihwal politik dan kenegaraan muncul contohnya di Mesir dengan tokohnya Ali Abdul Raziq. Melalui buku al-Islam wa Ushul al-Hukm, konsepsi Raziq kemudian menjadi model alternatif bagi pemikiran politik Islam kontemporer. Secara garis besar pemikiran Raziq bertolak dari definisinya ihwal ''Khalifah''. Bagi Raziq, khalifah tidak wajib didirikan, baik berdasarkan kebijaksanaan maupun berdasarkan syara'. Yang wajib bagi umat ialah menegakkan aturan syara'. Jika umat sudah berjalan di atas keadilan dan hukum-hukum Yang Mahakuasa telah dilaksanakan, maka tidak perlu ada imam atau khalifah. Baik Quran maupun sunnah tidak pernah menyebutkan term khalifah dalam pengertian kepemimpinan negara.

Kedua, bahwa risalah (kerasulan Muhammad SAW) itu bukanlah kerajaan. Risalah ialah suatu status kultural dan kerajaan ialah status struktural. Banyak raja yang bukan rasul, sebagaimana kebanyakan rasul ialah bukan raja. Penafsiran Raziq ihwal risalah Nabi hanya mengandung nilai yang mirip pemerintahan politik. Raziq yakin bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul dan memberikan usul agama, tidak pernah mendirikan negara dalam pengertian yang selama ini berlaku dalam ilmu politik.
Dari interpretasinya terhadap dua hal tersebut, Raziq menciptakan kesimpulan selesai yang sangat luwes. Khalifah tidak ada kaitannya dengan agama. Agama tidak mengenalnya, tidak mengingkari, tidak memerintahkan, dan tidak melarangnya. Semua dikembalikan kepada kebijaksanaan pengalaman insan dan pendapat orang.

Dalam term mutakhir, solusi Raziq itu merupakan ''de-ideologi'' dan ''de-politisasi'' Islam dan bersamaan dengan itu terjadi ekspansi wawasan keislaman. Politik hanya merupakan salah satu komponen, dan bukan determinan, di dalam proses sejarah kehidupan umat Islam.

Pada periode ini, proses de-ideologisasi Islam (meminjam Kuntowijoyo), justru mengantarkan Islam pada periode ilmu. Politik bisa jatuh bangun, tetapi wangsit tidak terpengaruh perkembangan politik. Pada periode ini, Islam lebih terbuka, dan diharapkan bisa lebih terasa "rahmatan lil 'alamin", bukan hanya sekadar ideologi yang hanya dinikmati umat Islam.

Pada realitas empiris, perkembangan politik Islam di Indonesia sanggup dibicarakan melalui dua manifestasinya yang nyata: sebagai ideologi dan sebagai perilaku-perilaku kultural (yang imbas dan kekuatannya tetap memiliki muatan politik). Dua bentuk manifestasi politik Islam ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai eksternal dan pemahaman terhadap sesuatu yang kadang kala pragmatis (seperti ekonomi). Perubahan manifestasi politik dari satu bentuk ke bentuk yang lain mungkin saja sanggup dikonseptualisasikan sebagai, misalnya, proses sekularisasi politik Indonesia atau merosotnya tugas ideologis Islam. Tetapi dengan mencoba mencari pemahaman gres terhadap realitas politik Islam di Indonesia, konseptualisasi sekularisasi politik sebagaimana dikemukakan Donald E Smith ditinjau kembali.

Smith, mengambil Islam sebagai pola kasus dan menciptakan suatu skema dengan memperlihatkan perkembangan Islam bermula dari corak tradisional ke Islam modern, Islam sosialis, sosialisme, dan akibatnya ke pragmatisme humanisme sekular, sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.

Yang terjadi bersama-sama di dalam negara-negara gres ialah bukan sekularisasi politik sampai menjadi benar-benar pragmatis sekular, tetapi menciutnya imbas politik pemimpin agama sesudah beberapa waktu elite agama ini sangat kuat dalam proses politik. Dengan demikian, berkurangnya imbas itu berarti sistem politik di Indonesia tidak ada penguasa yang terang-terangan anti-Islam atau terang-terangan sekular.

Dengan memahami perkembangan politik di Indonesia mirip itu, maka tidak akan terjadi upaya memitologikan "partai politik Islam" atau bahkan "negara Islam", dan pemahaman arti politik menjadi lebih luas, tidak sekadar partai politik misalnya. Dan romantisme mirip itu sanggup ditekan untuk kemudian mencoba mengembangkan acara "politik baru" yang lebih bermakna.

Periode awal
Pada periode awal, Islam di Indonesia menjelmakan sebagai kekuatan rakyat yang teguh melalui keikutsertaan umat Islam dalam Sarekat Dagang Islam dan kemudian di Sarekat Islam. SI dianggap sebagai penjelmaan Islam di dalam organisasi modern pertama, tetapi di dalamnya tidak ada tabiat ideologis, bahkan yang terlihat ialah tabiat kultural tahap awal. Di satu pihak, SI mengembangkan rasionalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, di pihak lain SI menampakkan sebagai mitos. SI menjadi rujukan masyarakat sebagai 'Ratu Adil' yang merupakan harapan pemberontakan jawaban penjajahan dan kemiskinan dalam masa itu. Umat waktu itu menginginkan lahirnya satu kerajaan utopis, tetapi mereka tidak tahu bagaimana menuju ke sana dan tidak tahu persis apa yang harus mereka lakukan.

Watak kultural ini sama sekali belum memiliki muatan ideologis, meski kecerdasan akan kesatuan sebagai bangsa telah muncul. Wawasan kebangsaan yang dimiliki SI semenjak dini usaha merupakan benang merah yang senantiasa ada dalam usaha organisasi masyarakat dan partai politik yang muncul dengan bendera Islam sampai kini.
Pada kenyataannya, muatan wawasan kebangsaan memang lebih dahulu muncul daripada aspirasi ideologis Islam. Kelahiran organisasi Islam mirip Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dan lain-lain pada mulanya merupakan gerakan kultural. Politik masih memiliki arti yang luas sebagai upaya bersama untuk mencerdaskan umat, membangun kesejahteraan mereka, dan mengupayakan pemasyarakatan ajaran-ajaran Islam, dan alasannya ialah itu keterlibatan mereka dalam suatu kerangka kebangsaan semata-mata ingin menghilangkan penjajahan.

Pemikiran ideologis Islam gres muncul kemudian sesudah banyak sekali komponen bangsa ini mendirikan organisasi-organisasi politik di sekitar tahun 1930-an. Munculnya MIAI, GAPI, dan lain-lain dalam Majelis Rakyat Indonesia (MRI) misalnya, telah memunculkan ide-ide masa depan Indonesia, yaitu tuntutan Indonesia berparlemen. Pemikiran ideologis itu contohnya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana. Seorang juru bicara MIAI, Wiondoamiseno, mendukung Indonesia berparlemen dengan catatan bahwa DPR itu harus "berlandaskan Isam" tanpa menjelaskan apa maksudnya, apalagi mekanismenya. Menurut Deliar Noer, pernyataan itu hanya mencerminkan kecurigaan, khawatir kalau-kalau pemikiran dan harapan kalangan masing-masing akan diabaikan oleh kelompok lain.

Artikulasi pemikiran ideologis ini muncul lebih sistematik dikala GAPI menyusun suatu memorandum mengenai konstitusi Indonesia masa depan, MIAI menyampaikan bahwa ia mendukung rencana GAPI dengan mengharapkan semoga kepala negara Indonesia ialah beragama Islam, suatu dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang-orang Islam, suatu departemen agama haruslah didirikan, sedangkan bendera merah putih harus disertai lambang bulan sabit dan bintang. Meskipun masih terkesan vulgar, formal dan dangkal, tetapi perkembangan pemikiran ideologis Islam telah muncul dan perkembangan itu akan memilih corak politik Islam selanjutnya.

Menjelang kemerdekaan Indonesia, perdebatan dalam Badan Penyelidik melibatkan pemimpin Islam pada perdebatan sengit ihwal konstitusi negara. Kompromi yang membawa kepada kemenangan Islam hampir saja diraih bila saja tidak ada upaya-upaya lobbyingI yang dilakukan Muhammad Hatta dengan pemimpin Islam untuk merelakan pembatalan "tujuh kata" dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945. Penghapusan tujuh kata yang penting dan diperdebatkan secara mendalam itu hanya dihadapi dengan "kepentingan keutuhan nasional". Dan dari sana sanggup diyakini bahwa corak idologis Islam di Indonesia lain sama sekali, dengan konsepsi ideologi Islam berdasarkan Maududi, misalnya. Sejak semula, muatan nasionalisme yang diberi warna pluralisme mengakibatkan Islam tampil secara low profile dalam bentuknya yang paling keras sekalipun.

Pada perkembangan berikutnya, kekuatan ideologis Islam menempatkan posisinya pada kedudukan partai politik Islam yang ternyata tidak membawa perubahan kualitatif apapun dalam perkembangan Indonesia modern. Kehadiran partai politik Islam di masa sesudah kemerdekaan selalu ditandai dengan beragamnya aspirasi politik dari "partai-partai Islam", sehingga pada gilirannya partai politik Islam itu berjalan sendiri-sendiri. Karena itu bersama-sama tidak sanggup dilakukan penjumlahan dari perolehan bunyi dalam pemilihan umum sebagai "kekuatan Islam". Itulah yang terjadi pada pemilu 1955, juga sesudah masa Orde Baru 1971.

PPP yang merupakan bentukan pemerintah Orde Baru untuk fungsinya banyak sekali organisasi politik Islam yang mudah telah mengalami penciutan peran, mungkin pernah menikmati "persatuan" kumulatif dari segi wangsit dan kebijaksanaan politik pada tahun 1977, dikala PPP dianggap sebagai kekuatan oposisi yang potensial bagi pemerintahan Soeharto. Tetapi sejarah politik Islam mencatat, bahwa lagi-lagi perubahan kualitatif tidak pernah dicapai. Bahkan dengan adanya partai-partai politik Islam itu menempatkan umat Islam dalam posisi oposan dan menjadi kekuatan minoritas dalam mayoritas. Keluarnya NU dari PPP merupakan wangsit cemerlang untuk keluar dari bulat setan dan mencoba mengalihkan persepsi politik Islam sebagai tidak sekadar partai politik. Upaya NU memperoleh momentum dengan ditetapkannya UU Orpol/Ormas gres yang mengharuskan setiap partai politik dan organisasi kemasyarakatan memakai asas tunggal Pancasila.

Pasang surut partai politik Islam sanggup dibaca dalam kerangka yang dipakai Hudson sebagai pasang surut imbas politik pemimpin agama. Tetapi sebagaimana dikemukakan Burhan D Magenda, ada perubahan format politik yang dibawakan oleh pemimpin agama yang justru memperlihatkan perkembangan yang tak terduga sebelumnya.
Format gres Inklusifnya tugas ulama dalam banyak sekali kekuatan politik dan tugas kemasyarakatan merupakan fenomena gres sesudah era partai Islam memudar. Dan pemikiran selanjutnya diarahkan pada pertanyaan: bagaimana membentuk format gres politik Islam di Indonesia.

Ada dua hal yang mempengaruhi pemikiran Islam di Indonesia untuk mencari format gres politik Islam. Pertama, rekayasa politik terhadap seluruh kekuatan komponen bangsa untuk membangun politik integrasif berwawasan kebangsaan. Rekayasa ini merupakan konsekuensi historis dari banyak sekali perkembangan yang ada di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dalam kerangka Robert L Hellbroner, upaya rekayasa politik yang dilakukan rezim Orde Baru itu merupakan ikhtiar pembangunan nasional yang harus lebih dahulu dilakukan sebelum pembangunan ekonomi. Kedua, adanya perubahan wawasan keagamaan dari umat Islam sendiri, terutama dalam hubungannya dengan konsepsi kenegaraan dan kebangsaan. Bagi umat Islam, kehidupan bernegara ialah janji bersama untuk hidup berdampingan, setara dan tenang dengan kelompok-kelompok dan golongan-golongan di luar Islam. Kesepakatan itu contohnya dirumuskan dengan pernyataan bahwa negara Indonesia ialah bentuk final dari upaya usaha umat Islam di Indonesia.

Format gres yang dikembangkan umat Islam, terutama oleh pemimpin agama terlihat tampil secara tenang dan tanpa pretensi mengangkat Islam sebagai ideologi. Dalam sebuah artikel pendek, Burhan Magenda mendeskripsikan perubahan profil ulama dalam pergaulan politik di Indonesia. Kalau disepakati (menurut kerangka Hudson), bahwa yang terjadi kini ini ialah penyusutan politik ulama berkenaan dengan asas tunggal, dan kemudian tidak adanya partai politik Islam, maka peluang justru terbuka jikalau tujuan diarahkan pada tujuan-tujuan gres dengan memandang bahwa ulama ialah sebagian dari pejuang-pejuangnya. Karena itu persoalannya kurang lebih berbunyi: "Bagaimana memanfaatkan peluang yang ada sekarang". Karena sejauh ini partai politik Islam semenjak awal di Indonesia ditandai oleh kecurigaan yang tidak mudah diretas antara ulama dan kekuasaan. Terbukti pula bahwa kecurigaan itu tidak menghasilkan perbaikan kualitatif antara kedua belah pihak. Bahkan di antara sesama umat Islam terjadi kecurigaan yang tidak kunjung berakhir, bahwa mereka memandang sesama ulama yang ada di partai (Islam) lain sebagai orang lain. Dan kesenjangan itu terdapat antara umat Islam simpatisan partai dan mereka yang tidak, antara lain alasannya ialah berada di jajaran birokrasi pemerintah. Keadaan demikian tentu sangat merugikan Islam. 

Karena itu berdasarkan Magenda, partai politik Islam tidak diharapkan lagi. Dengan demikian diharapkan tidak ada kendala psikologis untuk membuatkan diri secara inklusif dalam aneka wadah politik, bahkan tidak terbatas pada wadah politik yang ada, tetapi juga jalur-jalur lain yang ada di dalam sistem politik di Indonesia, baik dalam suprastruktur maupun infrastruktur.

Perubahan suasana aman bagi perkembangan politik (baca: aspirasi) Islam itu, tidak berhenti di situ. Ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi sebagai upaya memilih format gres politik Islam di Indonesia.

Pertama, perumusan terhadap corak kebangsaan di Indonesia. Tuntutan ekspansi wawasan kebangsaan itu mengandung konsekuensi perumusan ulang terhadap tujuan-tujuan politik Islam. Dalam hal ini secara simplistik terhadap rumusan yang dijadikan rumusan baku tujuan Islam di Indonesia, yaitu: "cita-cita Islam ialah inheren dengan harapan Indonesia." Corak kebangsaan itu juga menuntut perubahan sikap dan sikap politik terbebas dari sektarianisme, mendapatkan pluralisme dan alasannya ialah itu menghilangkan kecurigaan yang berdasarkan sentimen-sentimen keagamaan, ras dan kesukuan.

Kedua, perlunya lapisan profesional dalam segala lapangan kehidupan, yang ini merupakan tanggung jawab orgasasi-organisasi Islam untuk memberi arah, memberi peluang bagi terciptanya lapisan elit itu. Bila boleh dikatakan bahwa kelelahan umat Islam masa kemudian banyak ditentukan oleh tersedianya lapisan profesional yang tidak sanggup diisi atau tidak sanggup dipenuhi.

Kedua prasyarat itu minimal perlu dipertimbangkan sebelum diproklamasikan "Islam tanpa partai politik". Dan itulah proposal tertinggi umat Islam Indonesia, kecuali bila umat Islam memiliki proposal alternatif lain yang lebih inheren dengan harapan Islam dan sekaligus dengan harapan Indonesia.