Hukum Sholat Menghadap Kuburan



Larangan sholat Menghadap Kuburan

Dari Abu Martsad radhiallahu ‘anhu Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا

Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. (H.R. Muslim (II/668 no. 972) )



Imam Nawawi rahimahullah berkata:, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk sampai kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.” Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
Al-‘Allâmah al-Munawy rahimahullah) menambahkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan; dalam rangka mengingatkan umatnya semoga tidak mengagungkan kuburannya, atau kuburan para wali selain ia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, sanggup jadi mereka akan hiperbola sampai menyembahnya.” [Faidh al-Qadîr (VI/318).]
Imam ash-Shan’any rahimahullah menegaskan: “Berdasarkan aturan asal, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menyampaikan bahwa perbuatan yang dihentikan hukumnya yaitu haram.”. [Subul as-Salâm (I/403).]

Mengapa shalat menghadap di kuburan dilarang?

Ulama’ bersepakat (ijma') bahwa shalat di kuburan yaitu terlarang  dan  Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam memilih ‘illah (sebab) terlarangnya perbuatan tersebut
Pendapat pertama:  bahwa sebabnya yaitu lantaran kuburan identik dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan abses bangkai manusia.
Pendapat ke dua:  bahwa sebabnya yaitu lantaran kekhawatiran akan terjerumusnya umat ini ke dalam kesyirikan.
Imam as-Suyuthy mengatakan, “Inilah (kekhawatiran akan terjerumusnya umat ini ke dalam kesyirikan) alasannya yaitu mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar atau di bawahnya.
Rujukan: Al-Hâwiy al-Kabîr karya al-Mawardy (III/60),  Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190
Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com