Harta Yang Wajib Dizakati

Secara umum zakat terbagi kepada dua macam, yaitu:
a. Zakat Fitrah
Zakat fitrah ialah zakat yang beerhubungan dengan tubuh yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang memiliki kelebihan dai nafkah yang masuk akal yang dikeluarkan seusai bulan Ramadhan sebelum shalat’id. Yang dijadikan zakat fitrah ialah materi kuliner pokok menyerupai bera, jagung, tepung sagu dan sebagainya. berfungsi untuk mesucibersihkan dari dosa-dosa kecil yang mungkin ada dikala melakukan puasa Ramadhan.

b. Zakat harta/ zakat maal
Menurut Al-Jaziri, ulama madzhab yang empat sependapat menyampaikan bahwa jenis harta yang wajib dizzakatkan ada lima macam, yaitu: binatang ternak (unta, sapi, kerbau, kambing/domba), emas dan perak, perdagangan, pertambangan dan harta temuan, pertanian (gandum, korma, anggur).

Sementara itu mnurut Yuuf Al-Qardhawi, jenis-jenis hata yang wajib dizakati ialah binatang ternak, emas dan perak, hasil perdagangan, hasil pertanian, hasil sewa tanah, barang tambang dan hasil laut, hasil investasi, pabrik dan gudang, hhasil pencaian dan profesi, hasil saham dan obligasi.

Dengan memperhatikan pendapat diatas, maka jenis harta yang wajib dizakati sanggup mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada perkembangan dan kemajuan ekonomi. Seperti halnya Didin Hafidhuddin mengemukan jenis harta yang wajib dizakati sesuai dengan perkembangan prekonomian modern meliputi: zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat berharga, zakat perdagangan mata uang, zakat binatang ternak yang diperdagangkan, zakat madu dan produk hewani, zakat investasi proferty, zakat aurani syariah, zakat perjuangan flora anggrek, sarang burung walet, ikan hias, dan sektor modern lainnya yang sejenis, zakat sektor rumah tangga modern.[1]
Secara umum zakat terbagi kepada dua macam Harta yang Wajib Dizakati

Sedangkan dalam Undang-Undang ihwal pengelolaan zakat, disebutkan beberapa jenis harta yang wajib dizakati, yaitu: emas, perak, uang, perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil perikanan, hasil pertambangan, hasil peternakan, hasil pendapatan, dan jasa, rikaz.

Harta-harta tersebut wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishab, kadar dan waktu/haul yang telah ditetapkan berdasarkan syariat Islam.

Adapun syarat-syarat harta yang wajib dizakati, yaitu:

  1. Kepemilikan Sempurna, yaitu aset kekayaan tersebut haus berada di bawah kekuaaan seseorang secara total tanpa ada hak orang lain di dalamnya. Secara hukum, pemiliknya sanggup membelanjakan kekayaan terssebut sesuai dengan keinginannya, dan yang dihailkannya dari pemanfaatan kekayaan tersebut akan menjadi miliknya.
  2. Aset Produktif atau Berpotensi untuk Produktif (mengalami perkembangan nilai aset). Para fuqaha menyaratkan “berkembang/produktifitas nilai aset” atau memiliki potensi untuk produkti bagi aset yang wajib dizakati. Yang dimaksu produktivitas aset disini ialah bahwa dalam proses pemutarannya sanggup mendatangkan hasil atau pendapatan tertentu sehingga tidak terjadi pengurangan nilai atas kapital aset.
  3. Harus Mencapai Nisab. Nisab ialah syarat jumlah minimum aset yang sanggup dikategorrikan sebagai aset wajib zakat. Sebagian besar pendapat ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nisab ialah sejumlah makanan, emas, dan lain sebagainya yang sanggup mencukupi kebutuhan dan belanja keluarga kelas menengah selama satu tahun. Karakteritik nisab berbeda-beda sesuai dengan jenis harta yang wajib dizakati.
  4. Aset Surplus Nonkebutuhan Primer, yaitu aset kepemilikan yang melebihi pemenuhan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan).
  5. Tidak Ada Tanggungan Utang. Hal ini berdaarkan asas yang menyatakan bahwa hak oang yang meminjamkan utang harus didahulukan daripada hak golongan oang yang mendapatkan zakat. 
  6. Kepemilikan Satu Tahun Penuh (Haul).satu tahun penuh dalam artian berdasarkan perhitungan kalender hijriyah, umumnya dimulai pada bulan Ramadhan.[2]

DAFTAR PUSTAKA

[1] Didin Hafidhuddin, zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h.91-92.
[2] M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 19-24.