Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Bagi pengunjung setia yang belum membaca ihwal dahsyatnya sebuah doa apalagi yang berkaitan dengan Surat Al Waqiah silahkan baca ihwal Doa Surat Al Waqiah Lengkap dan Shalawat Penarik Rezeki. Jangan cuma dibaca. Di-a-mal-kan! Ya, diamalkan kemudian share kepada yang lain. Insya Yang Mahakuasa efeknya akan lebih dahsyat! Apalagi jikalau sebelumnya Anda sudah bersedekah. Makin berlipat-lipat deh. Ladang amalnya makin besar.
Baiklah...
Hari ini, urifhidayat.com akan lebih banyak membahas ihwal kalimat yang satu ini:
Sebuah kalimat yang kadang membuat saya 'gerah' mendengarnya. Gerah sebab kalimat itu tidak pantas kita ucapkan. Apalagi, jikalau kita termasuk ummat yang taat beragama. Terlebih lagi, jikalau kita sudah mengamalkan rentetan amalan riyadhoh 40 hari.
Kan adakala ya, dalam sebuah obrolan kita mendengar kata-kata itu yang seperti 'alim' untuk didengarkan. Seolah-olah itu ialah kalimat bijak. Kalimat yang menyejukkan.
Sebenarnya, Apa yang salah dengan kalimat tersebut? Lalu, bolehkah kita ngomong menyerupai itu?
Menurut ilmu tauhid dan ilmu aqidah akhlaq, kalimat tersebut terang salah jikalau yang dimaksud "Yang di Atas" ialah Yang Mahakuasa SWT. Mengapa?
Yang Mahakuasa SWT itu bukan Di Atas. Yang Mahakuasa SWT tidak terkait dengan daerah dan waktu. Sementara, daerah ialah makhluk Allah. Waktu juga ialah makhluk Allah. Semua yang ada di alam ini ialah makhluk Yang Mahakuasa SWT.
Jika Yang Mahakuasa SWT disandarkan dengan waktu dan tempat, maka Yang Mahakuasa sama dengan makhluknya. Ini bertolak belakang dengan Sifat 20, di mana salah satu siftanya ialah mukholafatu lil hawaditsi (berbeda dengan makhluknya).
Kita sebagai makhluknya, terang sekali terikat dengan daerah dan waktu. Seperti: kita bekerja di kantor, kita berada di atas, kita bekerja di lapangan, kita shalat di masjid. (fokus pada unsur kalimat keterangan tempat). Contoh lain: Istri tidur di malam hari, anak berguru di siang hari, kita berkunjung ke rumah orang renta kemarin. (fokus pada unsur keterangan waktu).
Semua itu (unsur waktu dan tempat) hanya boleh disandarkan kepada selain Yang Mahakuasa SWT.
Tidak ada kalimat yang membenarkan bahwa Yang Mahakuasa ada di atas. Jika yang dimaksud "Di Atas" ialah langit, itu pun tidak sepenuhnya benar. Karena Yang Mahakuasa bukan ada di langit. Allah-lah Yang Mencipatkan Langit.
Jadi, sebaiknya bagaimana? Ya, kalau Anda muslim beriman katakan saja langsung:
Kalimatnya lugas dan semoga tidak menjadikan kalimat yang ambigu.
Itu saja dulu ya.
Wassalamu 'alaikum.
Bagi pengunjung setia yang belum membaca ihwal dahsyatnya sebuah doa apalagi yang berkaitan dengan Surat Al Waqiah silahkan baca ihwal Doa Surat Al Waqiah Lengkap dan Shalawat Penarik Rezeki. Jangan cuma dibaca. Di-a-mal-kan! Ya, diamalkan kemudian share kepada yang lain. Insya Yang Mahakuasa efeknya akan lebih dahsyat! Apalagi jikalau sebelumnya Anda sudah bersedekah. Makin berlipat-lipat deh. Ladang amalnya makin besar.
Baiklah...
Hari ini, urifhidayat.com akan lebih banyak membahas ihwal kalimat yang satu ini:
Serahkan Segalanya Kepada Yang Di Atas!
Sebuah kalimat yang kadang membuat saya 'gerah' mendengarnya. Gerah sebab kalimat itu tidak pantas kita ucapkan. Apalagi, jikalau kita termasuk ummat yang taat beragama. Terlebih lagi, jikalau kita sudah mengamalkan rentetan amalan riyadhoh 40 hari.
Kan adakala ya, dalam sebuah obrolan kita mendengar kata-kata itu yang seperti 'alim' untuk didengarkan. Seolah-olah itu ialah kalimat bijak. Kalimat yang menyejukkan.
Sebenarnya, Apa yang salah dengan kalimat tersebut? Lalu, bolehkah kita ngomong menyerupai itu?
Menurut ilmu tauhid dan ilmu aqidah akhlaq, kalimat tersebut terang salah jikalau yang dimaksud "Yang di Atas" ialah Yang Mahakuasa SWT. Mengapa?
Yang Mahakuasa SWT itu bukan Di Atas. Yang Mahakuasa SWT tidak terkait dengan daerah dan waktu. Sementara, daerah ialah makhluk Allah. Waktu juga ialah makhluk Allah. Semua yang ada di alam ini ialah makhluk Yang Mahakuasa SWT.
Jika Yang Mahakuasa SWT disandarkan dengan waktu dan tempat, maka Yang Mahakuasa sama dengan makhluknya. Ini bertolak belakang dengan Sifat 20, di mana salah satu siftanya ialah mukholafatu lil hawaditsi (berbeda dengan makhluknya).
Kita sebagai makhluknya, terang sekali terikat dengan daerah dan waktu. Seperti: kita bekerja di kantor, kita berada di atas, kita bekerja di lapangan, kita shalat di masjid. (fokus pada unsur kalimat keterangan tempat). Contoh lain: Istri tidur di malam hari, anak berguru di siang hari, kita berkunjung ke rumah orang renta kemarin. (fokus pada unsur keterangan waktu).
Semua itu (unsur waktu dan tempat) hanya boleh disandarkan kepada selain Yang Mahakuasa SWT.
Tidak ada kalimat yang membenarkan bahwa Yang Mahakuasa ada di atas. Jika yang dimaksud "Di Atas" ialah langit, itu pun tidak sepenuhnya benar. Karena Yang Mahakuasa bukan ada di langit. Allah-lah Yang Mencipatkan Langit.
Jadi, sebaiknya bagaimana? Ya, kalau Anda muslim beriman katakan saja langsung:
"Kita serahkan semuanya kepada Yang Mahakuasa Subhaanahu Wa Ta'ala"
Kalimatnya lugas dan semoga tidak menjadikan kalimat yang ambigu.
Itu saja dulu ya.
Wassalamu 'alaikum.