Sikap Isteri Terhadap Suami Fasik.



Sikap Isteri terhadap  Suami Fasik.

Oleh Abu Riyadl Nurcholis Majid

Setiap perempuan yang sholihah pasti mendambakan pasangan hidup dari laki laki yang  sholih, sehingga ia menerima pemimpin yang menuntunnya menuju nirwana Yang Mahakuasa azza wajalla. Karena suami yaitu imam bagi rumah tangga,  jikalau ia baik pasti kondisi rumah tangga akan baik, namun jikalau ia  fasik pasti akan terjadi ketimpangan agama dan budpekerti pada keluarga tersebut,  kesyirikan menjadi keyakinan dan maksiat menjadi kebiasaan. Wanita yang sholihah tidak layak menerima pemimpin yang ibarat itu. 
 Allah Ta’ala dalam al Qur’an telah memerintahkan  kita untuk menentukan pasangan hidup sesuai keadaan agama kita, baik itu laki-laki maupun wanita, sebagaimana Firman-Nya:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Wanita-wanita yang keji yaitu untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji yaitu buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik yaitu untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik yaitu untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu higienis dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). [QS. An Nur : 26]

Rosulullah juga memerintahkan kepada mereka yang ingin mencari pasangan hidup hendaknya ia  memilihnya lantaran Agama. Sebagaimana sabda dia dalam sebuah hadits:

عن أبي هريرة ، رضي الله عنه ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك . رواه البخاري و مسلم

Dari Abu hurairoh –Semoga Yang Mahakuasa meridhoinya- dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wasalam, dia bersabda: “ Seorang perempuan dinikahi lantaran empat perkara ; lantaran hartanya, kedudukannya, dan kecantikannya atau karena  agamanya, maka pilihlah (nikahilah) perempuan lantaran Agamanya, jikalau tidak engkau akan binasa. [ HR. Bukhori, No.5090 dan Muslim, No.3708]
Demikian juga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam memerintahkan kepada wali perempuan untuk menikahkan putrinya kepada orang yang baik agamanya.

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ

Jika tiba kepada kalian seorang (pelamar) yang kalian ridhoi agamanya serta akhlaknya maka nikahkanlah ia(dengan putri kalian) jikalau tidak kalian lakukan maka akan terjadi Fitnah(cobaan) di muka bumi dan kerusakan yang luas. [ HR. At Tirmidzi , berdasarkan syaikh Al Albani hadits ini Hasan lighoirihi ]
Namun bagimana jikalau semua perjuangan telah dilakukan untuk menerima pasangan hidup yang baik, akan tetapi ternyata sang suami berubah dikemudian hari, ia menjadi andal maksiat – Naudzubillhi min dzalik- , lantaran tidak menutup kemungkinan hal yang demikian  bisa terjadi, sebagaimana keyakinan andal sunnah wal jamah bahwa kepercayaan seseorang akan naik dan turun sesuai amalannya. Atau bisa jadi dahulu kala ketika berjodah keduanya sama sama dari kalangan pelaku maksiat, tetapi ditengah perjalanan , ternyata sang istri lebih dahulu menerima hidayah ke jalan yang lurus.. bagaimana solusinya? Apa yang hendak dilakukan perempuan tersebut semoga sesuai dengan syariat Islam? Apakah minta cerai? Atau bagaimana? Mari kita simak ulasan berikut ini.

Jenis kemaksiatan yang dilakukan suami
Sebelum mengambil tindakan terhadap suami hendaknya kita tinjau dahulu jenis perbuatan dosa yang  gemar dilakukan suami. Karena dosa ada beberapa jenis yaitu:
1.       Dosa kecil: semua dosa yang belum hingga pada derajat dosa besar.
2.       Dosa besar: Perbuatan dosa yang diancam pelakunya dalam Alqura’an maupun hadits dengan api neraka, laknat , kemurkaan Allah  atau siksaNya.
3.       Dosa kesyirikan atau kekufuran: Dosa semacam ini pelakunya akan kekal dineraka jikalau belum taubat sebelum mati.

Sikap istri terhadap perbuatan suami
Jika suami melaksanakan dosa kecil atau malas dalam melaksanakan kebaikan maka hendaknya ia bersabar dengan menasehatinya sesuai kemampuan, dan selalu berdo’a kepada Yang Mahakuasa Ta’ala semoga memberinya hidayah. Dan dihentikan baginya untuk mengadukan duduk perkara ini kepada orang lain, lantaran ini merupakan diam-diam yang suami.
Apabila maksiat yang ia gemari yaitu dosa besar maka hendaknya ia mengambil langkah2 berikut ini:
1.       Menasehatinya dengan cara yang bijak. Samentara itu ia selalu berdo’a semoga suaminya sanggup kembali kejalan yang lurus. Dan cara ini hendaknya ditempuh dengan sabar(tidak terburu-buru), lantaran bagaimanapun diam-diam keluarga hendaknya tidak bocor kepada pihak ketiga. Kecuali jikalau perbuatan dosa ini merupakan perbuatan fakhisyah (perbuatan keji  yang menjijikkan). Seperti zina, mendatangi istri lewat duburnya, dan semacamnya. Maka ia mengambil langkah kedua.
2.       Langkah kedua, Jika dengan cara pertama tidak mempan, atau bahkan terjadi keributan, atau perbuatan suami yaitu dosa yang sangat keji, maka ia meminta derma pihak ketiga, yaitu orang bau tanah suami atau saudaranya yang ia segani. Diharapkan dengan ini akan berubah dengan nasehat dari keluarga dan kerabat sendiri tanpa melibatkan orang jauh. Namun jikalau ia tidak mendapatkannya pada keluarga, maka si istri boleh melibatkan orang lain yang dihormati suami dalam urusan agama.
3.       Apabila suami tetap tidak berubah maka jalan yang terakhir yaitu meminta cerai (khulu’); yakni apabila dosa besar yang dilakukannya yaitu dosa yang sangat kuat pada agama istri. Namun jikalau dosa itu hanya kembali pengaruhnya kepada suami saja maka hendaknya istri bersabar dan terus berusaha semampunya untuk menasehati, walaupun boleh baginya meminta cerai.  Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
عَنْ ثَوْبَانَ رضي الله عنه  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ ».
Dari Tsauban semoga Yang Mahakuasa meridhoinya berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waslam bersabda:  perempuan mana saja yang meminta cerai kepada suaminya  tanpa alasan syar’i maka haram baginya anyir surga [ HR. Abu Dawud no. 2228, At Tirmidzi No. 1187. Hadis ini dishohihkan oleh Al Albani dalam ta’liqnya]

4.       Apabila dosa tersebut merupakan perbuatan syirik akbar atau kekufuran dan suami tidak mau tobat dari perbuatan tersebut dan telah iqomatul hujah, maka wajib bagi istri bercerai dengan suami. Hal ini sebagaimana firman Yang Mahakuasa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَاتُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila tiba berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kau uji (keimanan) mereka. Yang Mahakuasa lebih mengetahui ihwal keimanan mereka;maka jikalau kau telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kau kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kau bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kau tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kau minta mahar yang telah kau bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah aturan Yang Mahakuasa yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Yang Mahakuasa Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [QS. Al Mumtahanah: 10 ]

Kesimpulan yang sanggup kita petik adalah:
1.       Suami yaitu pemimpin keluarga maka hendaknya ia mengemban amanah ini dengan baik, lantaran ia akan ditanya ihwal kepemimpinannya dihari qiamat. Dalam sebuah hadis disebutkan sabda nabi Shalallahu alaihi wasalam:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
Dari Ibnu Umar - semoga Yang Mahakuasa Meridhoinya - berkata: saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Setiap kalian pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab ihwal apa yang  ia pimpin, dan imam (umaro’) yaitu pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab ihwal rakyatnya, dan seorang laki laki yaitu pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai tanggung jawab tentang  apa yang ia pimpin, dan seoarang perempuan di rumah suaminya yaitu pemimpin dan ia akan dimintai tanggung jawab ihwal apa yang  ia pimpin...” [ HR. Bukhori No. 2751. Muslim No. 4828]

2.       Istri yang sholihah yaitu istri yang sanggup menyimpan diam-diam suaminya. Kecuali jikalau keadaan memaksanya untuk menceritakan kepada orang lain. Hal ini ibarat yang dilakukan oleh shohabiyah hindun yang mengadukan kebakhilan suaminya kepada Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi wasalam.
3.       Seoarang istri hendaknya banyak beritrospeksi diri ihwal kondisi agamanya seta ketaatannya kepada suami, sehingga kenapa suami sanggup berbuat demikian, lantaran bisa jadi kesalahan yang sama terjadi pada istri, maka akan sangat sulit perubahan dalam rumah tangga menuju kearah positif.
4.       Permintaan cerai yaitu jalan terakhir yang ditempuh seorang istri dalam menghadapi suami yang tidak sanggup dijadikan imam oleh lantaran kedurhakaannya kepada Yang Mahakuasa Ta’ala.

Semoga ulasan sederhana ini sanggup menjadi  pertimbangan dalam memecahkan duduk perkara yang serupa disaat mengguncang keutuhan rumah tangga. Wallahu A’lam Bissowab



Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com