Hewan Kurban

HUKUM SEPUTAR PENYEMBELIHAN HEWAN KURBAN

Disusun oleh : Nurwan Darmawan.

  PENGERTIAN UDH-HIYAH
        Udh-hiyah yakni nama bagi binatang ternak baik onta, sapi, domba, atau kambing yang disembelih pada hari raya idul adha dan hari-hari tasyriq untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Ta’aladisebabkan lantaran datangnya hari raya idul adha.
         Penamaan udhiyah diambil dari kata dhohwah (waktu dhuha), karena  awal waktu dalam penyembelihan binatang kurban yakni waktu dhuha pada hari raya idul adha.



   DALIL DISYARIATKANNYA UDH-HIYAH
         Penyembelihan binatang kurban (udh-hiyah) disyariatkan menurut Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’. Adapun dalil dari Al Qur’an, Ta’alaberfirman :
﴿  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ  ﴾  (الكوثر: 2)

 “Maka dirikanlah shalat lantaran Tuhanmu dan berkurbanlah.”   (QS Al Kautsar : 2)

Ibnu Abbas رضي الله عنهما  dikala menafsirkan ayat ini dia berkata : “Yaitu sembelihlah binatang kurban pada hari nahr (tanggal 10 Dzulhijah)”.   ( At Tafsir Al Mukhtashor As Shohih : 637)

Adapun dalil dari As Sunnah, diantaranya yakni hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : ضَحَّى النَّبِيُّ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ, ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ , وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا.  (رواه البخاي ومسلم)
Dari Anas  radhiallahu’anhu  ia berkata : “Nabi Shalallhu ‘alaihi wasalam menyembelih dua ekor domba yang putih (yang terdapat warna hitam disekitar matanya) dan bertanduk. Beliau menyembelih keduanya dengan tangan dia sendiri, dengan menyebut nama Yang Mahakuasa dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau  pada sisi badan  kedua domba  tersebut. “   (HR Bukhori Muslim)

         Adapun dalil dari ijma’, maka kaum muslimin semenjak zaman Nabi Shalallhu ‘alaihi wasalam hingga kini telah bersepakat wacana disyari’atkannya penyembelihan binatang kurban tersebut.
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi رحمه الله berkata : “Kaum muslimin telah bersepakat wacana disyari’atkannya udhiyah.”   (Al Mughni : 8/617)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani رحمه الله berkata : “Tidak ada khilaf wacana keberadaan udhiyah termasuk dalam syari’at agama”   (Fat-hul Bari : 10/3)

  HUKUM UDHIYAH
         Para ulama’ berbeda pendapat wacana aturan menyembelih binatang kurban (udh-hiyah). Di antara mereka ada yang beropini bahwa hukumnya sunnah muakkadah. Ini yakni pendapat jumhur ahlul ‘ilmi. Ada pula yang menyatakan bahwa hukumnya wajib bagi setiap orang muslim yang mempunyai kemampuan untuk menyembelih.
         Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan حفظه الله  berkata : “Para ulama’ telah berbeda pendapat wacana aturan udhiyah, apakah  wajib ataukah sunnah? Kebanyakan ulama’ beropini bahwa hukumnya sunnah muakkadah bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menyembelih, dan sebagian ahlul ilmi beropini bahwa hukumnya wajib. Dan masing-masing mempunyai dalil yang  tidak bisa ditentukan secara niscaya mana yang lebih rojih antara kedua pendapat tersebut oleh orang yang mencermati dalil-dalil tersebut. Adapun perilaku yang lebih hati-hati bagi seseorang dalam permasalah semacam ini yakni seyogyanya untuk tidak meninggalkan penyembelihan binatang kurban sedangkan ia bisa untuk mengerjakannya, lantaran dengan mengerjakannya maka memastikan lepasnya tanggung jawab darinya, dan keluar dari  lingkup tuntutan yakni perilaku yang lebih berhati-hati.”  (Majalis ‘Asyri Dzil Hijjah Wa Ayyamist Tasyriq : 71)


  WAKTU PENYEMBELIHAN
         Waktu penyembelihan binatang kurban dimulai semenjak selesainya shalat Idul Adh-ha hingga terbenamnya matahari pada hari terakhir dari hari-hari tasyriq. Maka waktu penyembelihan binatang kurban yakni empat hari, yaitu hari raya idul adha (tanggal 10 Dzulhijah) dan tiga hari setelahnya (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijah).  Oleh lantaran itu, orang yang menyembelih binatang kurban sebelum dilaksanakannya shalat idul adh-ha atau menyembelih sesudah terbenamnya matahari pada tanggal 13 Dzulhijah, maka sembelihannya tersebut tidak sah sebagai udh-hiyah. Berdasarkan riwayat dari shahabat Jundab Al Bajaliy t sesungguhnya ia berkata :   
 شَهِدْتُ رَسُوْلَ اللهِ Shalallhu ‘alaihi wasalam صَلَّى يَوْمَ أَضْحًى , ثُمَّ خَطَبَ , فَقَالَ : ((  مَنْ كَانَ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ , فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا , وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ , فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللهِ  ))   (رواه مسلم)
“Aku mengikuti Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wasalam shalat pada hari idul adh-ha, kemudian dia berkhutbah, maka dia bersabda : “Barangsiapa yang telah menyembelih sebelum dilaksanakannya shalat (idul adh-ha) maka hendaklah ia menyembelih (hewan lain) sebagai gantinya. Dan barangsiapa yang belum menyembelih maka hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah. “  (HR Muslim)
 
  TEMPAT PENYEMBELIHAN
         Disunnahkan untuk menyembelih binatang kurban di mushalla (tanah lapang daerah dilaksanakannya sholat idul adh-ha) dalam rangka menampakkan syiar islam, dan diperbolehkan disemua daerah selama tidak ada kesyirikan didalamnya.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَذْبَحُ وَ يَنْحَرُ بِالْمُصَلَّى   (رواه البخاري)
Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما ia berkata : “Sesungguhnya Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wasalam dahulu melaksanakan penyembelihan di tanah lapang.”   (HR Bukhari)
Imam Muhammad bin ‘Ali As-Syaukani رحمه الله berkata : “Dan melaksanakan penyembelihan di mushalla (tanah lapang) yakni lebih utama.”  (Ad Durorul Bahiyyah : 109)

  YANG MENCUKUPI DALAM UDH-HIYAH
         Satu sembelihan berupa kambing telah mencukupi untuk satu orang beserta keluarganya. Berdasarkan hadits dari shahabat Abu Ayyub Al Anshari  radhiallahu’anhu  dikala ditanya wacana penyembelihan binatang kurban pada masa Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wasalam, maka ia berkata :
كَانَ الرَّجُُل فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ يُضَحِّيْ بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُوْنَ وَيُطْعِمُوْنَ  (رواه الترمذي وصححه)
“Dahulu seorang pria dizaman  Nabi menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya. Kemudian  mereka makan dan memperlihatkan kepada orang lain (dari daging binatang kurban tersebut).”  (HR Tirmidzi dan dia menshahihkan hadits ini)
         Satu ekor unta atau sapi cukup untuk kurban tujuh orang yang berserikat. Oleh lantaran itu, bila seorang  muslim menyembelih onta atau sapi dengan berserikat dengan enam orang lainnya dan masing-masing meniatkan untuk dirinya dan keluarganya maka hal ini diperbolehkan. Berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah  radhiallahu’anhu  bahwasannya ia berkata :
نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ الْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ     (رواه مسلم)
“Kami menyembelih bersama Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wasalam pada tahun Hudaibiyah, satu ekor unta untuk tujuh orang dan satu ekor sapi untuk tujuh orang.”   (HR Muslim)

  SYARAT-SYARAT UDHIYAH
         Disyaratkan bagi binatang yang akan disembelih terpenuhinya beberapa syarat. Tidak sah suatu sembelihan  sebagai udh-hiyah kecuali dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut, di antaranya adalah:
A.     Hewan tersebut termasuk binatang ternak, yaitu onta, sapi, domba, atau kambing.

B.  Telah memasuki umur minimal yang ditentukan syari’at, dan dilarang kurang darinya. Yaitu :
1.      Unta yang telah memasuki usia lima tahun
2.      Sapi yang telah memasuki usia dua tahun
3.      Kambing yang telah memasuki usia satu tahun
4.      Domba (biri-biri) yang telah memasuki usia setengah tahun

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: ((  لاَ تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ , فَتَذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ  ))   (رواه مسلم)
Dari Jabir ia berkata : Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wasalam bersabda : “Janganlah kalian menyembelih binatang kurban selain musinnah, kecuali bila kalian sulit untuk mendapatkannya, (jika demikian) maka kalian boleh  menyembelih domba jadza’ah.”   (HR Muslim)
Yang dimaksud dengan musinnah  pada hadits ini yakni jenis binatang kurban yang telah memenuhi persyaratan umur sebagaimana empat perincian di atas. Dan yang dimaksud dengan jadza’ah adalah  domba yang telah berumur enam bulan. (Majalis ‘Asyri Dzil Hijjah Wa Ayyamit Tasyriq : 78-79)
C.  Tidak terdapat padanya kekurangan yang mencegah dari sahnya binatang tersebut dijadikan udhiyah. Di antaranya yakni :
1.      Matanya juling (buta sebelah matanya)
2.      Sakit yang nampak benar sakitnya
3.      Pincang yang terang pincangnya
4.      Terlalu kurus yang menyebabkan tulangnya tidak bersungsum
5.      Telinga atau tanduknya terpotong setengahnya atau lebih
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِ َقَالَ : (( أَرْبَعٌ لاَ تَجُوْزُ فِي اْلأَضَاحِي – وَفِي رِوَايَةٍ : ((  لاَ تُجْزِؤُ  )) -  العَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا , وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا , وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلَعُهَا , وَالْكَسِيْرَةُ الَّتِي لاَ تُنْقِيْ  ))   (رواه أبو داود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود رقم 2431)
 Dari Al Baro’ bin ‘Azib radhiallahu’anhu  ia berkata : Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wasalam bangkit di hadapan kami kemudian dia bersabda : “Empat macam binatang yang dilarang dijadikan sebagai udhiyah –dalam riwayat lain dia bersabda : “Tidak sah (jika dijadikan udhiyah)” –  : Hewan yang juling yang terang julingnya, binatang yang sakit yang nampak sakitnya, binatang yang pincang yang terang pincangnya, dan binatang yang kurus yang tidak mempunyai sumsum.”   (HR Abu Dawud dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud No. 2431)
Termasuk dalam hal ini juga yakni kekurangan-kekurangan lain semisalnya atau yang lebih parah darinya. Maka, tidak sah  bila seseorang menyembelih binatang yang buta kedua matanya, atau kakinya terpotong, atau binatang yang berjalannya menyapu tanah lantaran terlalu lemah,  atau semisalnya.

D.  Hewan tersebut yakni milik orang yang akan menyembelih itu sendiri atau milik orang lain namun ia telah diizinkan untuk menyembelihnya. Maka, tidak sah sembelihan dari hasil mencuri atau dari binatang yang dimilikinya bersama orang lain tanpa izin orang lain tersebut.

E.  Hewan tersebut tidak berafiliasi dengan hak orang lain. Oleh lantaran itu, tidak sah sembelihan dari binatang yang masih dalam status gadai, demikian pula warisan yang belum dibagi untuk hebat warisnya.


  YANG AFDHOL DALAM UDHIYAH DAN YANG MAKRUH DARINYA
         Urutan keutamaan dalam penyembelihan binatang kurban dari yang paling utama kemudian yang keutamaannya lebih rendah darinya yakni sebagai berikut :
1.      Unta bila disembelih tanpa diserikatkan dengan orang lain
2.      Sapi bila disembelih tanpa diserikatkan dengan orang lain
3.      Domba
4.      Kambing
5.      Unta yang diserikatkan oleh tujuh orang
6.      Sapi yang diserikatkan oleh tujuh orang
         Yang afdhol pada binatang sembelihan kurban yakni yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan untuk binatang ternak. Di antaranya yakni yang gemuk, dagingnya banyak, bentuknya bagus, dan tinggi harganya.
         Adapun binatang ternak yang makruh untuk dijadikan udhiyah di antaranya yakni :
1.      Unta, sapi, atau kambing yang terpotong ekornya. Adapun domba yang terpotong ekornya maka tidak sah untuk dijadikan sebagai udhiyah lantaran termasuk  cacat yang terang pada cuilan pokok yang dimaksudkan dari binatang tersebut.
2.      Hewan yang  telinganya robek, baik robek secara memanjang ataupun melebar. Demikian pula binatang yang daun telinganya terlubangi.
3.      Hewan yang sebagian giginya telah rontok.

  TATA CARA PENYEMBELIHAN HEWAN KURBAN
      Dalam penyembelihan binatang kurban hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Berbuat ihsan (baik) terhadap binatang kurban. Di antaranya yakni dengan memakai pisau yang tajam dikala menyembelih, tidak memperlihatkan penyembelihan salah satu binatang kurban dihadapan binatang yang lain, serta tidak memperlihatkan pengasahan pisau dihadapan binatang kurban.
2.      Jika binatang kurban tersebut seekor onta, maka disembelih dalam keadaan berdiri, dengan diikat kaki depannya yang sebelah kiri. Adapun bila binatang kurban tersebut selain onta maka disembelih dalam keadaan dibaringkan pada sisi badannya yang sebelah kiri.  Lalu, orang yang menyembelih menginjakkan kakinya pada leher binatang tersebut biar tidak banyak bergerak.
3.      Menghadapkan binatang tersebut ke arah kiblat..
4.  Wajib membaca basmalah dikala hendak menyembelih, yaitu dengan mengucapkan    ((   ((  بِسْمِ اللهِ
5.  Disunnahkan juga untuk membaca takbir sesudah membaca basmalah. Yaitu dengan membaca        ((  اللهُ أَكْبَرُ  ))
6.   Disunnahkan untuk menyebutkan nama orang yang berkurban dan berdo’a biar ibadah kurban tersebut diterima oleh  Ta’ala
Misalnya, bila seseorang menyembelih sendiri binatang kurbannya ia berdo’a :
اَللَّهُمَّ هَذِهِ أُضْحِيَةٌ عَنْ ...... فَتَقَبَّلْ مِنِّي
“Ya Yang Mahakuasa ini yakni sembelihan dari……(menyebutkan namanya sendiri) maka  terimalah sembelihan ini dariku.”
Dan bila menyembelihkan binatang kurban orang lain, maka ia berdo’a :
اَللَّهُمَّ هَذِهِ أُضْحِيَةٌ عَنْ ...... فَتَقَبَّلْ مِنْهُ
 “Ya Yang Mahakuasa ini yakni sembelihan dari……(menyebutkan nama orang yang berkurban) maka  terimalah sembelihan ini darinya.”
7. Dalam menyembelih diharuskan untuk mengalirkan darah, yaitu dengan memutuskan tiga cuilan dari binatang kurban  :
-      Wadajain, yaitu dua urat leher (pembuluh darah) binatang tersebut
-      Hulqum, yaitu batang tenggorokan daerah mengalirnya udara
-      Marii’, yaitu kerongkongan daerah lewatnya makanan
8. Tidak diperbolehkan menguliti binatang kurban tersebut atau memotong sebagiannya sebelum ruhnya benar-benar keluar. Oleh lantaran itu, bila akan memulai menguliti kemudian binatang itu bergerak, maka dinantikan hingga benar-benar yakin bahwa binatang tersebut telah mati.

  PEMBAGIAN HEWAN KURBAN
         Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk makan dari binatang sembelihannya itu, menyedekahkannya, dan memperlihatkan hadiah darinya. Adapun kadarnya, maka terdapat keluasan dalam hal ini. Namun demikian, dahulu kaum salaf beropini bahwa orang yang berkurban (dan keluarganya) memakan sepertiga dari binatang kurban tersebut, menyedekahkan sepertiga kepada fakir miskin, dan menghadiahkan sepertiga kepada karib kerabat dan tetangganya.
         Tidak diperbolehkan bagi orang yang berkurban untuk menjual sedikitpun dari binatang kurbannya, baik daging, kulit, ataupun bulunya. Tidak diperbolehkan pula memperlihatkan upah kepada orang yang menyembelihkan binatang kurbannya dengan sebagian binatang kurban tersebut lantaran ini bermakna jual beli.

  YANG DITUNTUT DARI ORANG YANG BERKURBAN
         Jika seorang muslim telah berniat untuk berkurban, maka tidak diperbolehkan baginya untuk memotong sedikitpun dari kuku, rambut serta kulitnya semenjak memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah hingga disembelih binatang kurbannya tersebut. Hal ini menurut riwayat dari Ummu Salamah رضي الله عنها , bahwasannya Nabi Shalallhu ‘alaihi wasalam bersabda :
((  إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ  )) وفي رواية :  (( فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرَتِهِ شَيْئًا  ))  (رواه مسلم)
“Jika salah seorang dari kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah  sedangkan ia telah berniat untuk menyembelih binatang kurban maka janganlah ia mengambil sedikitpun dari rambut dan kukunya hingga ia menyembelih (hewan kurbannya tersebut).”   Dan dalam riwayat yang lain : “Janganlah mengambil sedikitpun dari rambut dan kulitnya.” (HR Muslim)
            Demikian pembahasan wacana udhiyah dan beberapa aturan yang berkaitan dengannya. Semoga Ta’alamemberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat, membimbing kita untuk mengamalkan ilmu tersebut, mendakwahkannya, serta bersabar di dalamnya. Amiin Ya Robbal ‘Alamin.
Wallohu a’lam bis showab. Wa akhiru da’wana anil hamdu lillahi Rabbil ‘Alamin.



Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com