Kebijakan Kabinet Kerja Jokowi-Jk Banyak Ngawurnya

JAKARTA “Kebijakan Kabinet Kerja banyak yang ngawur dan Nawacita Jokowi makin kabur. Khususnya kebijakan pertanian dan pangan, olahraga dan pembenahan aparatur negara,” ujar Juru Bicara Jaringan ’98 Ricky Tamba, Minggu (7/6).


Pemerintah, papar Ricky, harus memberdayakan kaum tani dengan intensifikasi dan diversifikasi. Luas lahan pertanian yang mengecil dimaksimalkan dengan penyuluhan dan bimbingan cara bertani modern yang efektif serta jaminan ketersediaan pupuk, benih dan pengairan teknis yang tidak tergantung alam.


Bila ada derma modal dan teknologi pertanian harus eksklusif ke petani. Diversifikasi berupa monitoring dan pengaturan jenis dan areal tanam sehingga hasil produksi tidak bertumpuk di beberapa jenis, berakibat jatuhnya nilai jual. Di hilir, pemerintah harus perlindungan jalur penjualan produk pertanian melalui Bulog atau KUD, eksklusif ke basis terkecil di desa. Semua harus bebas manipulasi dan korupsi sehingga timbul kepercayaan dan gairah petani.

Lebay banget Menteri Pertanian bilang akan mengontrol stok dan harga sembako khususnya jelang Ramadhan. Gak mungkin mampu melawan prosedur pasar neoliberalisme.


“Lebay banget Menteri Pertanian bilang akan mengontrol stok dan harga sembako khususnya jelang Ramadhan. Gak mungkin mampu melawan prosedur pasar neoliberalisme. Bereskan dulu hulunya, bukan hanya lakukan aktivitas selebratikal rawan pencitraan ibarat operasi pasar, sidak dan bagi-bagi traktor. Itu hanya berdampak sesaat ibarat peredam kejut, buang-buang energi dan anggaran. Presiden Jokowi harus pimpin eksklusif perencanaan komprehensif dan pelaksanaan seni administrasi Swasembada Pangan dengan keterlibatan serius dari Mentan, Mendag, Menpupera, KaBulog, kepala tempat dan jajaran terkait lainnya,” saran Ricky.


Di bidang lain, Ricky menyesalkan polemik Menpora-PSSI yang berkepanjangan hancurkan semangat kemajuan olahraga. Dalam hal pembenahan aparatur sipil negara, perubahan paradigma dan sistem kerja yang seharusnya melayani rakyat belum terjadi.


Mayoritas aparatur sipil negara tetap bekerja semaunya dan masih jumawa, hanya takut dengan bupati/wali kota di masa otonomi daerah. Berbagai pernyataan dan kebijakan MenPAN- RB dianggap angin lalu.