Fiqih Kontemporer | Aturan Memakan Sembelihan Jago Kitab

Kita tahu bagaimana Islam memperkeras masalah penyembelihan dan menganggap penting masalah ini. Hal ini yakni justru lantaran orang-orang musyrik Arab dan pengikut-pengikut agama lain telah menjadikan penyembelihan termasuk masalah ibadah, bahkan masuk masalah keyakinan dan pokok kepercayaan agama. Oleh lantaran itu menyembelih, mereka jadikan sebagai sesuatu cara untuk berbakti kepada tuhannya, maka disembelihnya hewan untuk berhala atau dengan menyebut nama tuhannya. Kemudian datanglah Islam menghapus cara-cara ini dan mewajibkan untuk tidak menyebut kecuali asma' Allah, serta mengharamkan hewan yang disembelih untuk berhala dan dengan menyebut nama berhala.

Kemudian sesudah mahir kitab yang semula yakni bertauhid itu telah banyak dipengaruhi oleh perasaan-perasaan syirik dan samasekali tidak melepaskan dari kesyirikanriya yang dulu-dulu, sehingga sementara orang Islam menganggap, bahwa mereka tidak sanggup lagi bergaul dan bertemu dengan mereka sebagaimana halnya terhadap orang-orang musyrik lainnya, maka Yang Mahakuasa memperlihatkan perkenan (rukhsah) kepada mereka untuk makan masakan mahir kitab sebagaimana halnya dalam persoalan-persoalan perkawinan. Hal ini ditegaskan Yang Mahakuasa dalam firmanNya yang merupakan ayat terakhir, yaitu:

"Hari ini dihalalkan yang baik-baik buat kau dan begitu juga masakan orang-orang yang pernah diberi kitab (ahli kitab) yakni halal buat kamu, dan sebaliknya makananmu halal buat mereka." (al-Maidah: 5)

Maksud ayat di atas secara ringkas: bahwa hari ini semua yang baik, halal buat kamu, lantaran itu tidak ada lagi apa yang disebut: Bahirah, saibah, washilah dan ham. Dan masakan mahir kitab pun halal buat kau sesuai dengan aturan asal dimana samasekali Yang Mahakuasa tidak mengharamkannya, dan sebaliknya makananmu pun halal buat mereka. Kaprikornus kau boleh makan hewan yang disembelih dan diburu oleh mahir kitab, dan sebaliknya kau boleh memberi makan mahir kitab dengan hewan yang kau sembelih atau yang kau buru.
 Kita tahu bagaimana Islam memperkeras masalah penyembelihan dan menganggap penting pers Fiqih Kontemporer | Hukum Memakan Sembelihan Ahli Kitab

Islam bersifat keras terhadap orang musyrik tetapi terhadap mahir kitab sangat lunak dan mempermudah, lantaran mereka ini lebih bersahabat kepada orang mu'min, alasannya sama-sama mengakui wahyu Allah, mengakui kenabian dan pokok-pokok agama secara global. Justru itu pula kita dianjurkan untuk menaruh mawaddah terhadap mereka, boleh makan masakan mereka, boleh kawin dengan perempuan-perempuan mereka dan bergaul dengan baik bersama mereka. Sebab jikalau mereka itu sudah bergaul dengan kita dan memeluk Islam dengan penuh keyakinan dan kesadaran, mereka pun akan tahu bahwa agama kita itu justru agama mereka juga dalam pengertian yang lebih tinggi, lebih tepat bentuk-bentuknya dan lebih higienis lembaran-lembarannya dari segala macam bid'ah, kebatilan dan persekutuan.

Perkataan masakan mahir kitab yakni suatu ungkapan yang bersifat umum, mencakup seluruh macam makanan: sembelihannya, biji-bijiannya dan sebagainya. Semua ini halal buat kita, selama barang-barang tersebut tidak termasuk kategori haram, lantaran zatnya ibarat darah, bangkai dan daging babi. Semua ini dihentikan kita makan dengan ijma' ulama, baik barang-barang tersebut masakan mahir kitab ataupun milik orang muslim.

Sampai di sini selesailah pembicaraan kita wacana masalah hewan yang halal dan haram. Sekarang tinggal yang perlu untuk diterangkan kepada orang-orang Islam beberapa masalah yang sangat urgen, yaitu:

Binatang yang Disembelih Untuk Gereja dan Hari-Hari Besar

1. Masalah pertama: Apabila tidak terdengar bunyi dari mahir kitab itu sebutan nama selain Allah, misalnya: Nama al-Masih dan Uzair dikala menyembelih, maka makanannya tersebut tetap halal buat orang Islam. Tetapi jikalau hingga terdengar bunyi penyebutan nama selain Allah, maka dari kalangan mahir fiqih ada yang mengharamkannya lantaran termasuk apa yang disebut uhilla lighairillah (yang disembelih bukan lantaran Allah). Tetapi sementara ada juga yang beropini halal.

Abu Darda' pernah ditanya wacana kambing yang disembelih untuk suatu gereja yang disebut jurjas, hewan itu mereka hadiahkan buat gereja tersebut, apakah boleh kita makan? Maka jawab Abu Darda': "Boleh." Sebab mereka itu yakni mahir kitab yang makanannya sudah terperinci halal buat kita, dan sebaliknya masakan kita pun halal buat mereka. Kemudian dia suruh memakannya.

Imam Malik pernah ditanya wacana sembelihan mahir kitab untuk hari-hari besar dan gereja mereka, maka kata Imam Malik: Aku memakruhkannya dan saya tidak menganggapnya haram.

Imam Malik memakruhkannya, lantaran termasuk dalam kategori wara' (berhati-hati agar tidak jatuh ke dalam maksiat) lantaran kawatir kalau-kalau dia itu termasuk ke dalam apa yang disebut hewan yang disembelih bukan lantaran Allah. Dan ia tidak mengharamkan, lantaran arti dan maksud apa yang disembelih bukan lantaran Yang Mahakuasa itu berdasarkan pendapatnya, sepanjang yang dinisbatkan kepada mahir kitab, yaitu yang disembelih untuk bertaqarrub kepada Tuhan sedang mereka (ahli kitab) itu sendiri tidak memakannya. Dan apa yang disembelih dan dimakan yakni termasuk masakan mereka, sedang dalam hal ini Yang Mahakuasa telah menegaskan: "Bahwa masakan mahir kitab itu halal buat kamu."

Sembelihan yang Dilakukan Oleh Ahli Kitab dengan Tenaga Listrik dan Sebagainya

2. Masalah kedua: Apakah penyembelihan mereka itu dipersyaratkan ibarat penyembelihan kita juga, yaitu dengan pisau yang tajam dan dilakukan pada leher binatang?

Kebanyakan para ulama beropini demikian. Tetapi berdasarkan aliran pengikut-pengikut madzhab Imam Malik, bahwa yang demikian itu tidak termasuk persyaratan.

Al-Qadhi Ibnu Arabi berkata dikala menafsiri ayat 5 surah al-Maidah itu sebagai berikut: Ini suatu dalil yang tegas, bahwa hewan buruan dan masakan mahir kitab itu yakni termasuk makan yang baik-baik (thayyibaat) yang telah dihalalkan Yang Mahakuasa dengan mutlak. Yang Mahakuasa mengulang-ulanginya itu hanyalah bermaksud untuk menghilangkan keragu-raguan pertentangan-pertentangan yang timbul dari perasaan-perasaan yang salah, yang memang sering menyebabkan suatu kontradiksi dan memperpanjang omongan.

Saya pernah ditanya wacana seorang Katolik yang membelit leher ayam kemudian dimasaknya, apakah itu boleh dimakan atau diambil sebagian daripadanya sebagai makanan? Maka jawab saya: Boleh dimakan, lantaran dia itu termasuk makanannya dan masakan pendeta dan pastor, sekalipun ini berdasarkan kita tidak termasuk penyembelihan, namun Yang Mahakuasa telah menghalalkan masakan mereka itu secara mutlak. Makanan apapun yang dibenarkan oleh agama mereka berarti halal buat kita, kecuali yang memang oleh Yang Mahakuasa telah didustakan.

Ulama-ulama kita pernah berkata: Mereka telah menyerahkan perempuan-perempuan mereka kepada kita untuk dikawin dan halal kita setubuhi, mengapa penyembelihannya dihentikan kita makan, sedang makan tidak sama dengan setubuh, halal dan haramnya.

Demikian pendapat Ibnul-Arabi.

Kemudian di kawasan lain ia berkata lagi: Mereka tidak makan yang bukan lantaran disembelih, contohnya dengan dicekik dan dipukul kepalanya (dengan tidak bermaksud menyembelih, lantaran itu hewan tersebut termasuk bangkai yang haram).

Kedua pendapat ia ini tidak bertentangan, alasannya yang dimaksud ialah: Apa yang mereka anggap sebagai penyembelihan, berarti halal buat kita sekalipun berdasarkan kita sembelihannya itu tidak benar. Dan apa yang mereka anggap itu bukan sembelihan, tidaklah halal buat kita.

Dengan demikian, berdasarkan mafhum musytarak apa yang disebut penyembelihan, yaitu bermaksud menyabung nyawa hewan dengan niat untuk halalnya memakan hewan tersebut.

Ini yakni pendapat ulama-ulama Malikiyah.

Dengan bercermin kepada apa yang telah kami sebutkan di atas, maka kita sanggup mengetahui hukumnya daging-daging yang diimport dari negara-negara yang penduduknya majoritas mahir kitab, ibarat ayam, corned sapi, yang semua itu kadang kala disembelih dengan memakai tenaga elektronik dan sebagainya. Selama binatang-binatang tersebut oleh mereka dianggapnya sebagai sembelihan, maka terperinci halal buat kita, sesuai dengan umumnya ayat.

Adapun daging-daging yang diimport dari negara-negara Komunis, dihentikan kita makan. Sebab mereka itu bukan mahir kitab, bahkan mereka yakni kufur dan anti kepada semua agama dan menentang Yang Mahakuasa serta seluruh risalahnya.

Penyembelihan Orang Majusi dan Sebagainya

Para ulama berbeda pendapat wacana penyembelihan orang Majusi. Kebanyakan mereka beropini dihentikan memakannya lantaran mereka termasuk orang musyrik.

Sedang yang lain beropini halal lantaran Nabi s.a.w. pernah bersabda:

"Perlakukanlah mereka itu ibarat perlakuan terhadap mahir kitab." (Riwayat Malik dan Syafi'i)

Dan Nabi sendiri pernah mendapatkan upeti dari Majusi Hajar. (Riwayat Bukhari).

Oleh lantaran itu, Ibnu Hazim berkata di belahan penyembelihan dalam kitabnya Muhalla: "Mereka itu yakni mahir kitab, oleh lantaran itu mereka dihukumi ibarat aturan yang berlaku untuk mahir kitab dalam segala hal." (Lihat juz 7: 456).7

Dan shabiun (penyembah binatang) oleh Abu Hanifah dianggap sebagai mahir kitab juga.8

Kaidah: "Apa Yang Ghaib Bagi Kita, Jangan Kita Tanyakan"

Tidak menjadi kewajiban seorang muslim untuk menanyakan hal-hal yang tidak disaksikan, misalnya: Bagaimana cara penyembelihannya? Terpenuhi syaratnya atau tidak? Disebut asma' Yang Mahakuasa atau tidak? Bahkan apapun yang tidak kita saksikan sendiri wacana penyembelihannya baik dilakukan oleh seorang muslim, walaupun dia ndeso dan fasik, ataupun oleh mahir kitab, semuanya yakni halal buat kita.

Sebab, ibarat apa yang telah kita sebutkan di atas, yaitu ada suatu kaum yang bertanya kepada Nabi: "Bahwa ada satu kaum yang memberinya daging, tetapi kita tidak tahu apakah disebut asma' Yang Mahakuasa atau tidak. Maka jawab Nabi: Sebutlah asma' Yang Mahakuasa atasnya dan makanlah," (Riwayat Bukhari).

Berdasar hadis ini para ulama berpendapat, bahwa semua perbuatan dan pengeluaran selalu dihukumi sah dan baik, kecuali ada dalil (bukti) yang memperlihatkan rusakan batalnya perbuatan tersebut.