Syair Yang Pengaruhi Hidup Gus Dur

Dalam salah satu wawancara dengan Jaya Suprana, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebutkan sebuah syair indah. Tak hanya dalam wawancara itu, di kesempatan lain pun Gus Dur sering mengutip syair ini. Termasuk diantaranya ngobrol santai KH. Maman Imanulhaq  bersama Gus Dur yang terekam dalam salah satu CD berjudul ”Tawa dan Canda Gus Dur”.

Syair berbahasa Arab ini dikarang oleh seorang pujangga Arab kenamaan pra Islam, yaitu Al-Nabighah al-Dzubyani. Bagi Gus Dur Syair inilah yang mempengaruhi hidupnya. Bahkan dari syair ini pula kemudian Gus Dur bisa merubah dirinya sebagai sosok pemberani dan tokoh pluralisme (PLUR: peace, love, unity and Respect). Sehingga di kemudian hari ia melahirkan jargonnya ”Gitu aja kok repot”  yang disesuaikan dari syair ini dengan Kaidah fiqhiyyah berbunyi ”Al-masyaqqah tajlib al-taisîr” (Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan), Hadtis Nabi ”Yassirû wa lâ tuassirû” (Permudahlah sesuatu dan jangan mempersulit) serta firman Yang Mahakuasa dalam Al-Baqarah: 185, “Allah menghendaki akomodasi bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” 

Berikut kutipan terjemahan bait syair yang dimaksud:

“Kamu menyerupai matahari, sedangkan raja yang lain yaitu bintang. Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak bisa memberikan diri. Kamu mustahil menemukan saudara yang tidak kau cela alasannya yaitu kesalahan kecil. Apakah mungkin ada orang yang tanpa cela? Jika saya dikhianati maka saya yaitu hanya seorang hamba yang kau khianti. Jika Kamu orang yang menyalahkan perbuatanku, maka sosok sepertimu sungguh rela.”

Siapa Al-Nabighah Al-Dzibyani?
Ia berjulukan orisinil Abu Umamah Ziyad bin Muawiyah Dhabab bin Jabir bin Yarbu’ bin Ghaidz bin Marrah bin ‘Auf bin Sa’d bin Dzibyan. Karena semenjak muda pintar berpuisi ia lebih populer dengan panggilan ”Al-Nabighah” yang berarti seorang yang pintar berpuisi. Ibnu Qutaibah berpendapat, dinamai demikian alasannya yaitu salah satu puisi pernah menyebut kalimat “Nabightu”.Ia merupakan salah seorang tokoh penyair terkemuka Arab Jahiliyyah  dan juga menjabat sebagai dewan hakim dalam perlombaan puisi yang diadakan di pasar Ukadz.

Sebagian besar jago sastra Arab mendudukan puisi Al-Nabighah pada formasi ketiga setelah Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma.  Ketika perlombaan deklamasi dan berpuisi  para penyair berdatangan dari segala penjuru tanah Arab semuanya berkumpul di pasar Ukadz, Daumat al-Jandal, dan Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka mendirikan panggung untuk dewan juri, dan salah seorang dari dewan juri itu yaitu Al-Nabighah sendiri, alasannya yaitu dia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam menilai puisi. Dan apabila ada puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan ditulis dalam lembaran khusus dengan menggunakan tinta emas, kemudian digantungkan pada dinding Ka’bah sebagai penghormatan bagi penyairnya.

Penyair ini selalu berusaha mendekatkan dirinya kepada para pembesar dan menyebabkan puisinya sebagai alat yang paling ampuh untuk mendapat kedudukan dan kekayaan. Oleh alasannya yaitu itulah ia kerapkali dihasut oleh lawannya.

Al-Nabighah termasuk salah seorang pemimpin para darah biru kabilah Dzubyan, hanya saja alasannya yaitu usahanya mendapat harta melalui puisi, mengurangi kemuliaannya. Hampir seluruh umurnya, ia habiskan di kalangan keluarga raja Hira, sehingga raja Hira yang berjulukan Nu'man bin Mundzir sangat cinta kepadanya, sehingga dalam suatu riwayat dikatakan bahwa penyair ini di kalangan raja Hira selalu menggunakan baskom dari emas dan perak, dan hal itu memberikan kedudukannya yang tinggi di sisi raja Hira. Ini berlangsung cukup lama, hingga salah seorang saingannya memfitnahnya dan menghasut Nu'man, sehingga ia murka dan merencanakan untuk membunuh Al-Nabighah. Salah seorang pengawal Nu'man secara belakang layar memberikan isu tersebut, sehingga Al-Nabighah pun segera melarikan diri dan meminta pemberian kepada raja-raja Ghossan yang menjadi tentangan raja-raja Manadzirah dalam memperebutkan penguasaan atas bangsa Arab.  Namun, alasannya yaitu lamanya persahabatan yang ia jalin dengan Nu'man bin Mundzir, Al-Nabighah berusaha untuk membersikan diri atas fitnah yang ditujukan kepadanya dan meminta maaf kepadanya dengan puisi-puisinya untuk melenyapkan kebencian Nu'man dan meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali posisinya semula di sisi raja Nu'man bin Mundzir. Hal tersebut sanggup dilihat dalam puisi i'tidzariyat (apologi)-nya berjudul Lawm wa’tidzar sebanyak 12 bait menyerupai yang dikutip diatas. 

Keistimewaan puisi Al-Nabighah jikalau dibandingkan dengan puisi Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma, lebih indah dan kata-katanya lebih berbobot, bahasanya sederhana sehingga gampang dimengerti oleh semua orang. Dan para penyair lain pun tidak jarang yang menjiplak gaya Al-Nabighah dalam berpuisi, sehingga orang yang suka akan kelembutannya puisinya, menyerupai Jarir, menganggap bahwa ia merupakan penyair Jahiliyyah yang paling piawai. Ketergiurannya untuk mencari penghidupan dengan puisi, justru membuka teknik gres dalam jenis puisi madah (pujian) serta melaksanakan ekspansi dan pendalaman dalam jenis puisi itu, sehingga dia bisa memuji sesuatu yang kontradiktif.

Hingga sekarang pun kumpulan puisinya masih banyak digemari. Diantaranya dikomentari oleh Batholius, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh Monsiur Dierenburg pada tahun 1868. Al-Nabighah berusia panjang dan meninggal pada 18 SH / 605 M, menjelang keutusan Nabi Muhammad Saw.

Gus Dur dan Sastra Arab
Secara sosiologis, sastra merupakan refleksi lingkungan budaya dan satu teks dialektis antara pengarang dan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan klarifikasi suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Sehubungan dengan ini sering dikatakan bahwa syair merupakan Diwan al-`Arab yaitu antologi kehidupan masyarakat Arab (Khafajy, 1973:195).  Artinya, semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu tercatat dan terekam dalam sebuah karya sastra menyerupai syair atau puisi.

Dalam sejarahnya, semenjak kecil Gus Dur amat mengandrungi sastra. Ketika usainya masih terbilang muda bacaanya sudah serius, dari filsafat, dongeng silat, sejarah, hingga sastra. Di antara karya Sastra yang dibacanya ialah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca hingga tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Yang paling berat karya Faulkner,” kenang Gus Dur menyerupai yang dikutip Hernadi Tanzil.

Persentuhannya dengan dunia sastra Arab dimulai ketia ia menempuh pendidikan pesantren di Tegalrejo Magelang di bawah asuhan Kiai Chudhori. Di sana bersama seluruh santri ia diwajibkan menghapal teks-teks klasik yang merupakan pelajaran inti pesantren. Teks tersebut lebih banyak berupa puisi berbahasa Arab menyerupai al-Imrithy, alfiyah, Uqud al-Juman dan sebagainya.

Jiwa sastranya semakin menggebu ketika Gus Dur meneruskan rihlah ilmiahnya ke Al-Azhar Cairo Mesir. Ia menghabiskan waktu di salah satu perpustakaan yang terlengkap di Kairo, termasuk American University Library, serta toko-toko buku. Lalu pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang mempunyai peradaban Islam yang cukup maju. Di universitas ini pula ia banyak bertemu guru-guru luar biasa. Ada salah satu data menarik yang penulis temukan yaitu catatan Gus Dur pada tahun 1389 H atau 1969 M di salah satu cover buku kuliah di Baghdad yang dikarang oleh dosennya itu sendiri:

"Ust. Rasyid Abdurrahman al-Ubaidi yaitu seorang guru yang pertama kali mempengaruhi perhatianku dalam bidang gramatika Arab. Oleh karenanya, saya ingin lebih mengenal dia selama mengajariku, supaya saya bisa mencapai derajat sebagaimana yang telah dia capai."

Di kampus ini pula ia diwajibkan menghapal lebih banyak syair sebagai syarat ujian simpulan semester. Selama empat tahun wajib menghapal sebanyak 2500 syair atau 625 bait syair setiap tahunnya. Dari sinilah ia banyak mengenal, hapal dan terpikat oleh pujangga-pujangga Arab klasik, Al-Nabighah Al-Dzibyani salah satuya. Hingga tak heran tiga bait di atas menjadi pegangan hidupnya.

KH. Husein Muhammad menuturkan, melalui syair ini Gus Dur termotivasi besar lengan berkuasa untuk senantiasa sabar menghadapi segala cobaan. ”Bila engkau mencacimaki orang lain, maka orang lain akan mencacimu,” demikian sedikit yang tersirat dari syair tersebut. Irwan Masduqi menambahkan bahwa syair ini dikutip Gus Dur diantaranya ketika dia mencicipi tekanan psikologis ketika sedang menghadapi hujatan dari lawan-lawan politiknya. Kaprikornus relevan dengan suasana hati dan sosial-politiknya. Gus Dur juga tak takut orde gres dan politikus-politikus ketika itu alasannya yaitu Yang Mahakuasa laksana matahari yg lebih pantas ditakuti.

KH. Maman Imanulhaq yang mewawancarai Gus Dur wacana syair ini menyimpulkan bahwa konflik di antara saudara bukanlah hal baru. Kepentingan dan kekuasaan jadi faktor utama persaingan itu. Sehinga, jangan heran jikalau kita dicaci maki oleh saudara sendiri. Kerendah hatian, kecerdasaan dan kecerdikan yg akan menyelamatkan kita. Hingga kita bisa keluar jadi pemenang di tengah kepungan orang-orang yang punya ambisi akan kekuasaan.


Fathurrahman Karyadi; Penulis yaitu Mahasiswa Ma’had Aly Pesantren Tebuireng. Makalah ini disarikan dari banyak sekali sumber dan disampaikan dalam Halaqah Intelektual Muda Pesantren Bersama Tokoh Lintas Agama, Peringatan 1000 Hari Wafatnya Gus Dur di Tebuireng 28 September 2012.
Sumber: gusdurianmalang.net