Sering kali seorang istri sebagai pengatur keuangan keluarga mengeluarkan uang atau barang ibarat makanan meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu besar ketika tidak ada suami. Apakah istri itu mendapat pahala atau justru dosa atas kebaikan menginfakkan harta keluarganya?
Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رسولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ كَانَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِزَوْجِهَا أَجْرُهُ بِمَا كَسَبَ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ لَا يَنْقُصُبَعْضُهُمْ أَجْرَ بَعْضٍ شَيْئًا
Dari 'Aisyah ra berkata; Rasulullah Saw bersabda: "Jika seorang perempuan bershadaqah dari makanan yang ada di rumah (suami) nya bukan bermaksud menimbulkan kerusakan maka baginya pahala atas apa yang diinfaqkan dan bagi suaminya pahala atas apa yang diusahakannya. Demikian juga bagi seorang penjaga harta benda (akan mendapat pahala) dengan tidak dikurangi sedikitpun pahala masing-masing dari mereka." (HR. Bukhari Muslim)
Imam Nawawi menjelaskan dalam syarh Muslim (3/473) sebagai berikut:
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا بُدّ لِلْعَامِلِ - وَهُوَ الْخَازِن - وَلِلزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوك مِنْ إِذْن الْمَالِك فِي ذَلِكَ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إِذْنٌ أَصْلًا فَلَا أَجْر لِأَحَدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَة ، بَلْ عَلَيْهِمْ وِزْر بِتَصَرُّفِهِمْ فِي مَال غَيْرهمْ بِغَيْرِ إِذْنه .
Ketahuilah bahwa bila seorang pekerja -yaitu penjaga harta majikannya-, atau seorang istri dan budak ingin menginfakkan harta tuan atau suaminya, dia harus mendapat izin dari si pemilik harta atau suami terlebih dahulu. Bila sama sekali tidak ada izinnya maka tidak ada pahala yang didapatkan oleh ketiga golongan tersebut. Bahkan ketiganya berdosa lantaran memakai harta orang lain tanpa seizin pemiliknya.
وَالْإِذْن ضَرْبَانِ : أَحَدهمَا : الْإِذْن الصَّرِيح فِي النَّفَقَة وَالصَّدَقَة ، وَالثَّانِي : الْإِذْن الْمَفْهُوم مِنْ اِطِّرَاد الْعُرْف وَالْعَادَة كَإِعْطَاءِ السَّائِل كِسْرَة وَنَحْوهَا مِمَّا جَرَتْ الْعَادَة بِهِ وَاطَّرَدَ الْعُرْف فِيهِ ، وَعُلِمَ بِالْعُرْفِ رِضَاء الزَّوْج وَالْمَالِك بِهِ ، فَإِذْنه فِي ذَلِكَ حَاصِل وَإِنْ لَمْ يَتَكَلَّم ،
Yang dimaksud izin itu ada 2 macam:
Pertama: izin yang sharih (jelas) dalam nafkah dan sedekah.
Kedua: izin yang dipahami dari kebiasaan, ibarat memberi sepotong roti kepada peminta-minta dan semisalnya dari kebiasaan yang biasa berlangsung.
Dan diketahui berdasarkan kebiasaan bahwa suami dan pemilik harta rela atau ridha. Dengan begitu diperoleh izinnya walaupun dia tidak mengucapkannya.
وَهَذَا إِذَا عَلِمَ رِضَاهُ لِاطِّرَادِ الْعُرْف وَعَلِمَ أَنَّ نَفْسه كَنُفُوسِ غَالِب النَّاس فِي السَّمَاحَة بِذَلِكَ وَالرِّضَا بِهِ ، فَإِنْ اِضْطَرَبَ الْعُرْف وَشَكَّ فِي رِضَاهُ أَوْ كَانَ شَخْصًا يَشُحّ بِذَلِكَ وَعَلِمَ مِنْ حَاله ذَلِكَ أَوْ شَكَّ فِيهِ لَمْ يَجُزْ لِلْمَرْأَةِ وَغَيْرهَا التَّصَدُّق مِنْ مَاله إِلَّا بِصَرِيحِ إِذْنه .
Hal ini tentunya bila diketahui keridhaannya berdasarkan kebiasaan serta diketahui bahwa jiwanya sebagaimana jiwa kedermawaan dan keridhaan sebagaimana keumuman orang-orang. Bila kebiasaannya tidak tetap dan diragukan keridhaannya atau si pemilik harta suami itu seorang yang pelit, dan itu diketahui atau diragukan dari keadaannya, maka dilarang seorang istri dan selainnya memakai hartanya (untuk diinfakkan kepada yang membutuhkan) kecuali mendapat izin yang sharih (jelas) darinya.
Dari klarifikasi tersebut kurang lebih sanggup disimpulkan, kedermawaan seorang istri juga harus diimbangi dengan pemurahnya suami. Jika memiliki suami yang pelit atau tidak suka membantu terhadap orang lain secara tulus berdasarkan umumnya, maka kedermawanan dan kebaikan istri dengan menginfakkan harta suaminya ketika tanpa izin bukan malah menjadikan pahala, tapi sanggup menjadikan dosa bagi istri tersebut alasannya yakni bakhilnya suami. Wallaahu a'lam bish showab
Semoga kita diberikan pasangan dan keluarga yang mahir pemberi dan suka menolong terhadap sesama. Aamiin