Hukum Zakat Fitrah

Di bulan Ramadlan ini, ada satu amalan lagi yang bisanya dilakukan oleh umat Islam di dunia yaitu zakat fitrah, yakni zakat kebutuhan pokok masing-masing muslim yang bisa yang diberikan kepada mustahiq zakat.  Biasanya umat muslim di Indonesia, dalam pertolongan zakat fitrah, ada yang dikolektifkan oleh panitia zakat fitrah, ada juga yang sendiri eksklusif diberikan kepada mustahiqnya. Itu, tak jadi soal, yang penting ada niat dari pemberi zakat fitrah.

Para Imam yang empat sepakat bahwa hukum zakat fitrah yaitu wajib bagi setiap umat  Islam yang mampu. Begitu pula, bagi yang terkenai kewajiban zakat fitrah, wajib juga untuk menzakatkan anak anaknya, istrinya, orang tuanya yang tidak bisa  dan abid/hamba sahaya. Menurut dominan ulama, batasan bisa di sini yaitu mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkahinya,  pada malam dan siang hari 'ied. Makara apabila keadaan seseorang ibarat ini, berarti dia dikatakan bisa dan wajib mengeluarkan zakat fitrah, kalau sebaliknya maka dia tidak diwajibkan membayar zakat fitrah.

Adapun jumlah zakat yang dibayarkan tiap individu yaitu 1 sho dari makanan pokok sehari-hari, yakni sekitar 2,4 - 2,7 kg beras. Ini menurut pendapat 3 Imam mazhab, terkecuali Imam Hanafi yang mencukupkan 0,5 sho saja. (Lihat perhitungannya 1 sho' di  http://pesantren.or.id/satu-sho/)

Lalu kapan waktunya kita membayar zakat fitrah ? Dalam mazhab Imam Syafi'i, batasan waktu mengeluarkan zakat yaitu semenjak tanggal 1 Ramadhan hingga dengan 1 Syawal. Tidak boleh keluar dari waktu tersebut, kalau keluar dari waktu tersebut,  maka termasuk sedekah biasa. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Hambali, zakat fitrah hanya diberikan pada waktu wajib yakni antara setelah terbenamnya matahari malam ied hingga sebelum terbenamnya matahari pada hari ied. Berbeda lagi menurut pandangan Abu Hanifah/mazhab Hanafi, dia memperbolehkan membayar zakat fitrah  sebelum Ramadlan/akhir Sya'ban.

Salah satu nasihat diwajibkannya zakat fitrah, terutama bagi mereka yang berpuasa yaitu untuk membersihkan/menambal amaliah puasanya  dari amaliah yang dianggap kurang baik, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja yang dilakukan selama bulan Ramadlan.

Sumber : Mizan Alkubro 2 : 10-13.