Dhoman
(Jaminan)
Jika hutang menjadi solusi terakhir
Oleh : Abu Riyadl Nurcholis bin Mursidi, Lc
Disaat kondisi terjepit mungkin seseorang membutuhkan dana dari hutangan, akan tetapi lantaran ulah sebagian oknum yang absen dari hutangnya, maka pemilik dana banyak yang enggan meminjamkan hartanya kepada saudaranya seiman, hal ini dikarenakan kehawatiran mereka dari penipuan.
Dalam masalah ini Islam memperlihatkan solusi dalam bentuk gadai atau disebut Ar Rahn untuk menjadi jaminan dalam berhutang, namun bagaimana jikalau ia tidak mempunyai barang yang sanggup digadaikan, lalu bagaimana solusinya?
Dalam masalah ini Islam memperlihatkan solusi dalam bentuk gadai atau disebut Ar Rahn untuk menjadi jaminan dalam berhutang, namun bagaimana jikalau ia tidak mempunyai barang yang sanggup digadaikan, lalu bagaimana solusinya?
Dalam dunia ekonomi islam ada suatu jaminan yang disebut dengan istilah dhoman, aqad ini merupakan fasilitas yang Tuhan berikan kepada hambanya dalam bermuamalah. Dhoman oleh sebagian ulama’ disebut dengan istilah Kafalah, walaupun ada juga dikalangan ulama’ yang membedakan antara definisi dhoman dan kafalah.
Yang mana kafalah sering dipakai dalam urusan jiwa, adapun dhoman untuk urusan harta[1].
Definisi Dhoman dalam istilah Fiqh
Beragam definisi dhoman dalam Fiqih diantanya adalah:
“ penjaminan yang dilakukan oleh seorang yang boleh melaksanakan Aqad pada beban kewajiban orang lain yang bekerjasama dengan harta”.[2] (Misalkan menjamin pelunasan hutang dll.)
Dalam pengertian lain berdasarkan ibnu Qudamah: “ Menggabungkan beban tanggungan penjamin maupun yang dijamin dalam menunaikan hak(pelunasan hutang), dengan demikian hutang tersebut menjadi tanggungan mereka berdua”. [3]
Syaikh Sholeh Fauzan mendefinisikan dhoman yakni : “menjamin beban kewajiban (hutang)orang lain, tanpa mengakibatkan orang lain tadi bebas dari tanggung jawab hutang.[4]
Dalil pensyariatannya
Diperbolehkannya dhoman dalam islam dengan dalil dalil dari Alqur’an, Sunah, dan Ijma’ ulama’
Firman Tuhan Ta’ala:
وَلِمَن جَاء بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَاْ بِهِ زَعِيمٌ
“dan siapa yang sanggup mengembalikannya akan memperoleh materi makanan (seberat) beban unta, dan saya menjamin terhadapnya". [5]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Al Bahily dan anas bin malik serta ibnu abbas rodhiallahu ‘anhum Ajma’in :
الزعيم غارم
“Penjamin itu yakni penanggung hutang”[6]
Dalm hadis lain ketika ada seorang sahabat dari kalangan anshor meninggal, waktu itu Rosulullah SAW diminta untuk mensholatkannya maka dia bertanya:
هل ترك شيئا ؟ قالوا : لا ، قال : فهل عليه دين ؟ قالوا : ثلاثة دنانير ، قال : صلوا على صاحبكم ، قال أبو قتادة : صل عليه يا رسول الله ، وعلي دينه ، فصلى عليه.
Apakah Mayit ini meninggalkan warisan? Para shahabat menjawab: “Tidak !” dia bersabda: Apakah ia mempunyai hutang? Mereka menjawab: “ Tiga Dinar” , dia bersabda: “ Sholatilah mitra kalian ini”!. Berkata Abu Qotadah: “ kumohon sholatilah dia ya Rasulullah, adapun hutangnya supaya saya yang tanggung” , maka Rasulullah mensholatinya.[7]
Adapun dalam ijma’[8], maka ulama’ telah bersepakat ihwal mubahnya aturan asal pada dhoman ini, yang demikian dikarenakan kebutuhan insan akan jenis transaksi ini, dan juga maslahat yang akan didapat lantaran dengan dhoman akan terwujud fasilitas dalam transaksi bagi orang yang tidak mempunyai jaminan dalam berhutang, dan ini merupakan masalah baik dan tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
Dari dalil dalil diatas sanggup kita simpulkan bahwa aqad dhoman yakni mubah. Adapun aturan mainnya telah dirumuskan dalam Fiqh Islam yang diambil dari sari dalil dalil Al Qur’an Maupun Sunnah serta Ijma’ Ulama’ sebagai berikut:
Syarat sahnya Dhoman
Syarat syah dhoman harus ada pada penjamin , orang yang di jamin dan juga bentuk jaminan
Syarat penjamin:
1. Penjamin yakni seorang yang berhak melaksanakan Aqad Jual beli sesuai syarat syariah, maka dihentikan penjamin itu yakni anak kecil, atau orang yang ediot, atau mahjur alaihi. Dll.
2. Penjamin tidak terpaksa dalam memperlihatkan jaminan, dikarenakan penjaminan ini bersifat tabarru’ (perbuatan baik belaka, tidak ada unsur bisnis) maka ridho dari penjamin merupakan syarat mutlak
3. Penjamin yakni orang merdeka lantaran budak tidak mempunyai sesuatu. Melainkan semua yang ia miliki yakni milik majikannya[9]
Syarat orang yang dijamin:
1. Orang yang dijamin yakni orang yang dikenal oleh penjamin. Dalam hal ini ada perselisihan dikalangan ulama. Mereka yang mensyaratknya yaitu dari kalangan Hanafiyah dan sebagian besar syafiiyyah, hujah mereka yakni ; jikalau orang yang dijamin itu tidak dikenal oleh penjamin maka tujuan utama dari penjaminan ini tidak terealisasikan, lantaran tujuan dhoman yakni penguat kepercayaan orang lain dalam hutang piutang. Dan juga dikarenakan sebagian insan berbeda beda dalam perhatian mereka untuk melunasi hutang[10]. Adapun berdasarkan pendapat malikiyah dan hanabilah, maka hal ini bukan merupakan syarat, mereka mengambil dalil dari pemahaman ayat yang terdapat pada surat yusuf: 72. Yang mana orang yang akan menanggung materi makanan pokok seberat bawaan onta yakni bukan raja, akan tetapi wakil dari yusuf yang menanggung hliangnya dosis sang raja, padahal wakil tadi hanya mengenal yusuf dan tidak mengenal sang raja[11].
2. Orang yang dijamin harus ada dalam majlis aqad, dan syarat inipun diperselisihkan juga oleh ulama’. Syarat ini yakni pendapat hanafiyyah. Dan pendapat ini lemah serta menyelisihi jumhur ulama yang membolehkan orang yang dijamin tidak ada dimajlis, dalil mereka yakni ; dhoman ini merupakan pemwajiban (penjamin) atas diri sendiri sehingga tidak ada syarat pada kehadiran orang yang dijamin dalam majlis tersebut[12].
3. Orang yang dijamin yakni orang yang berakal, hal ini dikarenakan akan mempengaruhi sahnya aqad, ini merupakan pendapat bubuk hanifah, beda halnya dengan jumhur yang tidak menjadikannya sebagai syarat, lantaran berdasarkan mereka bahwa dhoman yakni pemwajiban atas diri sendiri, sehingga tidak mengakibatkan pihak kedua besar lengan berkuasa pada keabsahan aqad.
Syarat pada bentuk penjaminan ( almadhmun bihi)
Bentuk jaminan harus diketahui jumlahnya (misalkan satu juta, dsb) atau sanggup diperkirakan jumlahnya jikalau ia tidak ada kejelasan nominal(majhulul adad). Karena jikalau ia majhulul adad dan tidak sanggup diperkirakan jumlahnya maka akan bermadhorot bagi dhomin(penjamin), salah satu contoh, tersebut dalam surat yusuf ayat 72 bahwa penyebutan jaminan disebutkan secara global saja ( tidak niscaya nominalnya), yaitu berupa makan pokok yang sanggup dipikul onta.[13] Maka hal yg demikian boleh hukumnya
Shighoh (lafadzl) aqad Dhoman
Dalam aqad dhoman tidak mempunyai lafdz tertentu, maka dari itu lafadznya diubahsuaikan dengan kebiasaan tempat atau masyarakat (‘urf) yang mnunjukkan arti penjaminan. Hal ini dikarenakan syariah tidak memperlihatkan batasan maupun ketentuan ihwal lafadz dhoman. Sehingga jikalau penjamin menyampaikan kalimat yang berarti penjaminan maka telah sah aqad tersebut.[14]
Berka syikhul islam Ibnu Taymiyyah:” berdasarkan qiyas madhab kami bahwa dhoman menjadi sah dengan semua lafal yang sanggup dipahami jikalau memperlihatkan makna dhoman(jaminan)[15]
Hukum aturan yang berkaitan dengan dhoman
1. Kepada siapa tagihan hutang itu di arahkan?
Jika hutang telah ditanggung oleh penjamin (dhomin), maka tidak berarti orang yang berhutang bebas tanggung jawab hutang tersebut, akan tetapi ia tetap bertanggung jawab bersama penjamin dalam pelunasannya, maka disini pemilik piutang berhak mengih kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik itu penjamin atau orang yang dijamin.[16] Namun sebagian ulama’ menyatakan hendaknya tagihan itu diarahkan kepada yang berhutang, ibarat yang dinyatakan oleh imam ibnul Qoyyim[17]
2. Hukum mengambil upah atas jaminan(dhoman) .
Mengambil laba dari penjaminan hukumnya yakni haram dikarenakan aqad ini yakni aqad yang bersifat menolong, bukan untuk property atau mencari laba belaka, sehingga ia dimasukkan dalam kategori perbuatan ikhsan(kebajikan) maka hukumnya ibarat aqad utang piutang, sehingga jikalau aqad ini di gunakan sebagai ladang bisnis maka ia yakni RIBA, dalam sebuah qaidah fiqh disebutkan
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً ، فَهُوَ رِبًا
“ Setiap piutang yang disitu mengambil laba maka ia yakni riba”
Dalam hal ini Imam syafi’iberkata[18] : penjaminan (dhoman) merupakan ladang amal, bukan sebagi alat mencari rizqi”.
Hal ini belaku juga dalam aturan kartu kredit, yang mana bank menjadi penjamin dalam berhutang bagi nasabah, akan tetapi pihak bank mengambil laba berupa bunga dari penjaminan/ derma tersebut[19]. Wallahu A’lam.
3. Kapan tanggung jawab penjamin dianggap selesai?
Tanggung jawab penjamin akan berakhir jikalau telah lunas, baik itu oleh orang yang dijamin atau apabila telah dianggap lunas oleh pemilik piutang. Dikarenakan penjamin mngikuti aturan orang yang dijamin tersebut, maka ketika belum lunas hutang tersebut, mereka berdua masih tetap mempunyai tanggungan[20].
4. Diperbolehkan untuk jumlah dhomin (penjamin) dua orang atau lebih, dan boleh juga mereka mengambil penjaminan tersebut pada seluruh hutang atau sebagiannya saja.
Kemudian tanggung jawab penjamin-penjamin tersebut tidak akan bebas kecuali telah selesai urusan yang dijamin, hal ini dikarenakan tanggung jawab dhoman dipikul gotong royong oleh para penjamin tersebut.
Akhir kata, semoga ulasan singkat ini sanggup menambah wawasan kita ihwal aturan islam, terutama jikalau seorang sedang terpepet kondisinya yang ahirnya harus menghutang. wallahu A’lam bissowab.
Maroji’:
1. Al Qur’anul Karim
2. Al Jami’ As Sohih, Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail Al Bukhori, percetakan Dar As Sa’ab, Kairo, cetakan pertama 1407 H
3. Sunan Abu Dawud, Karya Abu dawud sulaiman As Sijistani, tahqiq : Muhammad Nasiruddin Al Albani, cetakan kedua, tahun 1427 H/ 2007 M, penerbit Maktabah Al Maarif, Riyadl- KSASunan At Tirmidzy
4. Sunan Ibnu Majah, Edisi Revisi/ Tahqiq Muhammad Nashirudin Al-Albany, Maktabah Ma’arif, Riyadl, Cet kedua 1427H / 2007M )Al-Fiqhu Al-Islamy wa Adillatuhu, DR. Wahbah Az-Zuhaily, percetakan : Dar Fikr cet. Kedua Th.1405 H / 1985 M Syarh Mumti’ 9/182
5. Al Um, Abu Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’y, percetakan dar Al Ma’rifah –Bairut, cetakan ke dua tahun: 1393H
6. Al-Mughni, Al- Muwaffaq Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah Al-Maqdisy Al-Jama'ily, percetakan Dar Alimil Kutub KSA, cet. Ke tiga, Th. 1417 H /1997 M Al Mulakhos Al Fiqhy 2/74
7. Mugni Al Muhtaj Ila Ma’rifati Maani Alfadz Al Minhaj, Al khotib As Syarbiini, penerbit Al Baaby Al Halaby, Mesir
8. I’lamul Muwaqi’in ‘an rabbil Alamin, Muhammad bin Abi Bakr Ayub Az Zar’i ibnul Qoyyim Al jauziyah, percetakan Daruljail – bairut tahun 1973 M
9. Al-Mulakhos al-Fiqhy, DR. Sholeh bin Fauzan al-Fauzan, percetakan Dar 'Ashimah cet. Pertama, th 1423 H
10. Taudhihul ahkam Min Bulughil marom, Abdullah bin Abdurrohman Al Bassam, percetakan : Maktabah Al Asady cetakanke 5. Tahun: 1423H / 2003M Makah Mukarromah - KSA
11. Mausuah Alqodhoya Al Fiqhiyyah Al Mu’ashiroh wal iqtishod Al Islamy, Prof. DR. Ali As Salusi, percetakan Maktabah Darul Qur’an, cetakan ke 7 tahun 2002M Mesir
[1] Al Fiqhu Al Islamy wa Adillatuhu : 6/130
[2] Syarh Mumti’ 9/182
[3] Al Mugni : 4/ 534
[4] Al Mulakhos Al Fiqhy 2/74
[5] QS. Yusuf : 72
[6] HR. Abu Dawud: 3565, At Tirmidzi : 2125, Ibnu Majah: 2405
[7] HR. Bukhori 2289
[8] Al Mughni 4/534, Subulu salam 3/ 62
[9] Al Fiqhu Al Islamy wa Adillatuhu : 6/141
[10] Mugni Muhtaj 2/200
[11] Al Mugni 5/535
[12] Al Al Islamy wa Adillatuhu : 6/142
[13] Al Mulakhos Al Fiqhi 2/75
[14] ibid
[15] Taudhihul ahkam Min Bulughil marom 4/519
[16] Lihat pengertian dhoman berdasarkan ibnu Qudamah dalam Al Mugni : 4/ 534,
[17] Lihat I’lamul Muwaqi’in 3/411
[18] Al Um 3/205
[19] Mausuah Alqodhoya Al Fiqhiyyah hlm. 635-636
[20] Al Mulakhos Al Fiqhi 2/76
Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com