Konsep Permodalan Syariah
Bebas RIBA
Nurcholis Majid Ahmad, Lc
Dewasa ini terjadi persaingan yang cukup ketat pada dunia bisnis yang mana itu semua ternyata akan sanggup diatasi dengan modal yang cukup serta trik trik yang jitu dari seorang bisnisman, padahal banyak diantara pengusaha muslim yang tidak mempunyai modal yang cukup untuk pembiayaan perniagaan mereka, maka tentunya mereka membutuhkan dana biar perniagaan sanggup berjalan lancar.
Seorang muslim tentunya tidak akan memakai modal Ribawi untuk menutupi kekurangan tersebut, sehingga ia membutuhkan dana yang halal. Islam menjawab hal tersebut dengan adanya konsep permodalan yang syar`i jauh dari riba. Disisi lain disana banyak penyandang dana yang kebingungan untuk menyebarkan hartanya tanpa harus terjerumus dalam lubang riba.
Kedudukan Harta dalam Syariah
Harta (mal) merupakan suatu hal yang berharga dimata manusia, sebab dengannya roda kehidupan sanggup berjalan. Islam mengatur harta ini biar sanggup dipakai oleh insan sebagai mana mestinya, Tuhan SWT juga melarang menawarkan harta tersebut kepada orang yang kurang arif ( Syafih) sebab dikhawatirkan mafsadah yang akan ditimbulakan, dalam Quran Tuhan SAW berfirman :
وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ قِيَاماً
" Dan janganlah kau serahkan kepada orang-orang (sufaha') yang belum/ tidak tepat akalnya , harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Tuhan sebagai pokok kehidupan." An Nisa' : 5.
Makna yang tersirat dari ayat tersebut diatas bahwa harta yaitu pokok kehidupan, sehingga Islam melarang kepengurusannya diserahkan kepada orang yang tidak faham wacana kedudukannya, walaupun ia yaitu pemilik harta yang sah, sebab perbutan ini akan menyebabkan kerusakan pada harta tersebut[1].
Dalam fiqh islam juga disebutkan bahwa harta dihentikan dianggurkan begitu saja, yaitu tanpa perputaran yang berfaedah dan syar'i. Hal yang demikian menyerupai yang dicontohkan pada pembahasan Ikhya'ul mawat (mengolah tanah tak bertuan). Yang mana dengannya harta sanggup berkembang. Syaikh ibnu utsaimin menyebutkan dalam penggalan pergadaian, yaitu apabila sebuah barang yang tergadai (misalnya : mobil) maka boleh dipakai oleh pemberi hutang dengan konsekuensi bahwa si pengguna barang tersebut membayar upah sewa kepada pemiliknya sehabis dipotong perawatan. Beliau menegaskan bahwa setiap harta dihentikan dibiarkan begitu saja tanpa faedah, sebab hal yang demikian termasuk perbuatan tabdzir.[2]
Permodalan atau Pemerasan ?
Islam menghargai kedudukan harta yang mana ia mempunyai hak sebagai aset untuk mendapat keuntungan. Oleh sebab itu pada dunia permodalan, Islam mempunyai pembahasan tersendiridalam kitabul Buyu'. yaitu Syirkatul Uqud pada jenis Syirkah Mudhorobah (bagi hasil)[3].
Bila kita tinjau pada metode bisnis ini maka akan kita dapati bahwa salah satu dari dua orang yang berniaga hanya sebagai investor dan yang lain sebagai pekerja. Hal yang demikian menjukkan bahwa Islam mengakui eksistensi harta sebagai modal untuk mendapat keuntungan, maka dari itu Tuhan Ta'ala menyebut diriNya sebagai pihak ketiga(penolong) orang yang bersyerikat, menyerupai disebutkan dalam Hadits Qudsi :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله يقول :" أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما"
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menuturkan : Bersabda Rasulullah SAW: bekerjsama Tuhan SWT berkata: " Aku yaitu yang ketiga (penolong) dari dua orang yang bersyarikat, selama salah satunya tidak menghianati kawannya, apabila ia berhianat maka saya keluar dari persyerikatan dua orang itu".[4]
Pengakuan Islam wacana modal bukanlah suatu hal yang menjadikan ia segala galanya, yakni penentu semua kebijakan, menyerupai yang dilakukan kaum kapitalis, mereka memilih kebijakan berdasarkan kemauan hawa nafsu pemilik modal. Sehingga timbul ketimpangan ekonomi, antara si miskin dan kaya, si pekerja dan pemilik modal. Konsep yang menyerupai ini sebagaimana yang mereka terapkan pada sumbangan ribawi, yang mana pemilik modal tidak beresiko menaggung kerugian apapun dalam setiap situasi dan kondisi dalam persyerikatan mereka, walaupun setiap perdagangan mempunyai dua kemungkianan yaitu antara untung atau rugi. Berbeda halnya dengan konsep Islam, yang senantiasa berlaku adil dalam setiap hal, antara sifat hiperbola atau sebaliknya. Islam mengecam keras metode ribawi ini dan pelakunya serta menyampaikan dengan tegas bahwa Riba berbeda dengan perdagangan, Firman Tuhan SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ(278) فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ(279)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) bila kau orang-orang yang beriman. Maka bila kau tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Tuhan dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan bila kau bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kau tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [5]
Kecaman keras ini oleh islam disertai dengan salusi yang menjawab kebutuhan insan dengan cara melegalkan harta sebagai pengganti tenaga untuk mendapat keuntungan, sehingga dengan demikian orang yang mempunyai modal tidak harus banting tulang akan tetapi ia tetap sanggup menikmati hasilnya, dan ia sama sekali tidak mendzalimi orang lain. Dikarenakan apabila perniagaan itu rugi maka ia akan menaggung kerugiannya sebagai pemilik modal. dan pekerja akan menaggung tenaga yang ia telah kerahkan. Itulah keadilan Islam sebagai konsep yang tidak dimiliki oleh hebat ekonomi manapun.
Wallahu a’lam Bissowab
[1] Tafsir ibnu Katsir, jilid 2. Hlm. 214
[2] Fathu dzul jalali wal ikrom syrh Bulugul Marom, ibnu utsaimin, Bab Pergadaian
[3] Taudhihul ahkam min Bulughil Marom, Abdullah bin Abdurrohman Albassam. Bab As Syirkah, jilid4 hlm.602
[4] HR. Abu Dawud No.3383
[5] QS. Al Baqoroh : 278 -279
Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com