Hindari Perceraian Sebisa Mungkin!!

Hindari Perceraian Sebisa Mungkin!!

Oleh : Abu Riyadl Nurcholis Majid Ahmad bin Mursidi

Sering kita mendengar bahwa perceraian ialah salah satu solusi... tapi tahukah anda? Ia bukanlah satu satunya solusi, namun ia ialah adalah solusi terahir.
Hukumnya pun beragam, diadaptasi dengan kondisi, bisa menjadi mubah,sunnah, makruh,  haram, atau malah wajib, itu tergantung situasi..

Tapi pada dasarnya  perceraian ialah kepingan dari aktivitas besar iblis. musuh insan ini sangat besar hati dan senang ketika ada anak buahnya yang bisa memisahkan antara suami-istri.

Munculnya dilema dalam sebuah rumah tangga merupakan suatu kemestian. Tak satu pun rumah tangga yang luput darinya. Rumah tangga orang khusus atau orang umum, orang yang berilmu agama ataupun tidak mengerti agama, niscaya menemui yang namanya masalah. Karena demikianlah kenyataan yang harus dihadapi dalam kehidupan dunia.

Dalam menghadapi perselisihan tersebut diharapkan perilaku arif, sabar, dan pikiran jernih. Bila yang muncul ialah perilaku sebaliknya, perselisihan bisa semakin besar, bahkan tak jarang muncul bahaya dari salah satu pihak atau kedua pihak untuk bercerai. Padahal perceraian merupakan kasus yang menimbulkan banyak kejelekan, dan tidak semua perselisihan mesti diakhiri dengan perceraian.

Namun sangat disayangkan, ada di antara pasangan suami istri yang begitu cepat menentukan “berpisah” ketika problem itu tiba seakan tak ada jalan keluar dari permasalahan kecuali dengan perceraian (talak). Mereka begitu terburu-buru memutuskan bercerai tanpa peduli dengan akhir yang akan terjadi. Seakan forum ijab kabul tidak mempunyai nilai yang agung di sisi mereka, sehingga sebagaimana mereka terlalu cepat menjatuhkan pilihan teman hidup, tanpa banyak mempertimbangkan sisi agama, akhlak, kepribadian dan kebaikannya, mereka pun terlalu cepat memutuskan kekerabatan yang terjalin lewat ijab kabul tersebut.

Asy-Syaikh Shalih As-Sadlan hafizhahullah mengatakan: “Dalam kenyataannya, jarang didapatkan satu masa dari umur kebersamaan sepasang suami istri yang terlepas dari dilema dan perselisihan. Karena itulah kita mesti mendapatkan perselisihan itu, akan tetapi kita tidak mengalah kepadanya atau tidak karam di dalamnya. Perselisihan itu buruk, sanggup mengeruhkan jiwa dan memadamkan cahaya keindahan hidup berumah tangga. Semestinya kita lari darinya dengan segala jalan. Akan tetapi tidak sepantasnya kita menyangka malapetaka telah menimpa ketika terjadi perselisihan apapun bentuknya, lantaran setiap penyakit ada obatnya dan setiap luka ada penyembuhnya. Dengan menyepakati kaidah ini, akan berjalanlah kemudi kehidupan menuju daratan senang dan keselamatan. Makna dari semua ini ialah tidak sempurna bertameng dengan perceraian lantaran suatu alasannya ialah yang masih mungkin untuk diperbaiki, atau lantaran kasus yang mungkin akan berubah di waktu mendatang.” (An-Nusyuz, hal. 34)

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazt berkata: “Allah mensyariatkan untuk memperbaiki kekerabatan antara suami istri dan menempuh cara-cara yang sanggup mengum-pulkan keutuhan keduanya dan menjauhi perceraian. Di antara cara penyelesaian (masalah) tersebut1 yaitu nasehat, hajr2, dan pukulan yang ringan bila dua cara pertama tidak bermanfaat3. Sebagaimana firman Yang Mahakuasa Ta’ala:

وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً

“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuz4nya maka hendaklah kalian menasehati mereka, meninggalkan mereka di daerah tidur (hajr) dan memukul mereka. Kemudian kalau mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)

Termasuk upaya penyelesaian ketika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak ialah mengirim dua hakim, dari pihak suami dan dari pihak istri5, dengan tujuan untuk meng-ishlah (memperbaiki hubungan) keduanya sebagaimana firman Yang Mahakuasa Ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ

“Dan bila kalian khawatir perselisihan di antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…”. (An-Nisa`: 35) (Al-Fatawa – Kitabud Da`wah, 2/237: 239)
Apabila cara-cara ini tidak bermanfaat dan tidak gampang memperbaiki keadaan dan perselisihan terus berlanjut, sementara bila ijab kabul tetap dipertahankan yang timbul hanyalah permusuhan, kebencian dan maksiat kepada Yang Mahakuasa Ta’ala, barulah memutuskan untuk bercerai.

Bercerai berarti hancurnya keutuhan keluarga, sementara kehancuran keluarga merupakan salah satu sasaran yang diincar oleh para setan. Mereka sangat bergembira bila suami berpisah dengan istrinya, belum dewasa terpisah dari ayah atau ibunya. Disebutkan dalam hadis dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda,

إن إبليس يضع عرشه على الماء ثم يبعث سراياه فأدناهم منه منزلة أعظمهم فتنة يجئ أحدهم فيقول فعلت كذا وكذا فيقول ما صنعت شيئا قال ثم يجئ أحدهم فيقول ما تركته حتى فرقت بينه وبين امرأته قال فيدنيه منه ويقول نعم أنت

Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling akrab kedudukannya ialah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melaksanakan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melaksanakan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menarik hati seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan ialah kamu.’ (HR. Muslim, no.2813).

Al-A’masy mengatakan, “Aku menyangka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Iblis merangkul setan itu’.”

Al-Imam An-Nawawirohimahullahmenjelaskan hadits di atas bahwa Iblis bermarkas di lautan, dari situlah ia mengirim tentara-tentaranya ke penjuru bumi. Iblis memuji anak buahnya yang berhasil memisahkan antara suami dengan istrinya tersebut lantaran kagum dengan apa yang dilakukannya dan ia sanggup mencapai puncak tujuan yang dikehendaki Iblis. (Syarh Shahih Muslim, 17/157)

Imam al-Munawi mengatakan, “Sesungguhnya hadis ini merupakan peringatan keras, perihal buruknya perceraian. Karena perceraian merupakan keinginan terbesar makhluk terlaknat, yaitu Iblis. Dengan perceraian akan ada dampak buruk yang sangat banyak, menyerupai terputusnya keturunan, peluang besar bagi insan untuk terjerumus ke dalam zina, yang merupakan dosa yang sangat besar kerusakannya dan menjadi skandal terbanyak.” (Faidhul Qadir, 2:408).

Sebegitu berpengaruh ambisi Iblis dan para setan sebagai tentaranya untuk menghancurkan kehidupan keluarga hingga mereka bersedia membantu setan dari kalangan insan untuk mengerjakan sihir yang sanggup memisahkan suami dengan istrinya.
disebutkan oleh Yang Mahakuasa dalam Quran ialah
Allah berfirman,

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه

Mereka mencar ilmu dari keduanya (Harut dan Marut) ilmu sihir yang bisa dipakai untuk memisahkan seseorang dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah:102)



Jangan Bermudah-mudahan dalam Bercerai!!!!

Sikap bermudah-mudah dalam memutuskan bercerai ini bisa tiba dari pihak suami, atau pihak istri, atau dari kedua belah pihak.
Suami yang bersikap terburu-buru ini, ketika mendapatkan istrinya tidak menyerupai yang didambakannya, vonis talak pun jatuh dari lisannya dengan tidak menaruh iba kepada istrinya yang bakal menyandang status janda dengan segala fitnah yang mungkin akan menghampiri. Semestinya ia merasa iba dengan seorang perempuan yang lemah, yang butuh dirinya sebagai pelindung dan pengayom hidup. Seharusnya ia bersabar terhadap kekurangan yang ada pada istrinya, selama bukan kasus yang syar’i dan prinsip, jangan dijadikannya sebagai sumber kebencian sehingga menjadi alasan untuk memutuskan hubungan. Bukankah RasulullahShalallahu alaihi wasalam pernah bersabda:

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia senang dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘dirohimahullahmenyatakan: “Sepantasnya bagi kalian –wahai para suami– untuk tetap menahan istri kalian dalam ikatan ijab kabul (tidak menceraikannya) walaupun kalian tidak suka pada mereka. Karena di balik semua itu ada kebaikan yang besar. Di antaranya ialah berpegang dengan perintah AllahTa’aladan mendapatkan wasiat-Nya yang di dalamnya terdapat kebaikan di dunia dan di akhirat. Kebaikan lainnya ialah dengan ia memaksa dirinya untuk tetap bersama istrinya, dalam keadaan ia tidak mencintainya, ada usaha jiwa dan memperlihatkan watak yang bagus. Bisa jadi ketidaksukaan itu akan hilang dan berganti dengan kecintaan sebagaimana sanggup disaksikan dari kenyataan yang ada. Dan bisa jadi ia menerima rizki berupa anak yang shalih dari istri tersebut, yang memberi manfaat kepada kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat. Tentunya semua ini dilakukan bila memungkinkan untuk tetap menahan istri dalam ijab kabul tersebut dan tidak timbul kasus yang dikhawatirkan. Bila memang harus berpisah dan mustahil untuk tetap seiring bersama maka si suami tidak sanggup dipaksakan untuk tetap menahan istrinya dalam pernikahan.” (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 173)
Tidak pantas selama-lamanya bagi seorang suami untuk berpikir cerai semata-mata lantaran perubahan perasaannya terhadap istrinya, atau kebencian yang tiba tiba-tiba, atau semata lantaran ketidaksukaan terhadap sebagian gerak gerik istrinya dan akhlaknya yang tidak berkaitan dengan kehormatan atau agama. Karena yang namanya perasaan itu sanggup berbolak balik dan watak itu sanggup berubah-ubah sehingga tidak sempurna perkara-perkara yang berkaitan dengan keberadaan keluarga dibangun di atasnya, demikian kata Asy-Syaikh Shalih As-Sadlan hafizhahullah. (An-Nusyuz, hal. 34)

Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi menghikayatkan satu dongeng dalam kitabnya Al-Kaba`ir yang mungkin bisa menjadi renungan dan pelajaran bagi para suami.

Disebutkan, ada seorang yang shalih mempunyai saudara fillah (seagama) dari kalangan orang shalih pula. Saudaranya ini menziarahinya setahun sekali. Suatu ketika saudaranya ini mengetuk pintu rumahnya. Berkatalah istri orang shalih tersebut: “Siapa?”
“Saudara suamimu fillah tiba untuk menziarahinya,” jawab si pengetuk pintu
“Dia pergi mencari kayu bakar, semoga Yang Mahakuasa tidak mengembalikannya (ke rumah ini), semoga dia tidak selamat,” kata istri orang shalih tersebut dan perempuan ini terus mencaci-maki suaminya.
Ketika saudara fillah ini tengah berdiri di depan pintu, tiba-tiba orang shalih itu tiba dari arah gunung dalam keadaan menuntun singa yang memikul kayu bakar di punggungnya. Orang shalih ini pun mengucapkan salam dan menyatakan selamat tiba (marhaban) kepada saudaranya fillah. Setelahnya ia masuk ke dalam rumah dan memasukkan pula kayu bakarnya. Lalu ia berkata kepada singa tersebut: “Pergilah, barakallahu fik (semoga Yang Mahakuasa memberkahimu).”
Lalu saudaranya dipersilahkan masuk ke rumahnya sementara istrinya masih terus mencaci-maki dirinya. Namun tak satu kata pun terucap darinya untuk membalas cercaan istrinya.
Pada tahun berikutnya, sebagaimana kebiasaannya saudara fillah ini kembali menziarahi orang shalih tersebut. Ia mengetuk pintu dan terdengar bunyi istri orang shalih tersebut: “Siapa di balik pintu?”
“Fulan, saudara suamimu fillah,” jawabnya.
“Marhaban, ahlan wa sahlan, tunggulah. Silakan duduk di daerah yang telah disediakan, suamiku akan tiba insya Yang Mahakuasa dengan kebaikan dan keselamatan,” kata istri orang shalih tersebut.
Saudara fillah ini pun kagum dengan kesantunan ucapan dan watak istri orang shalih tersebut. Tiba-tiba orang shalih tersebut tiba dengan memikul kayu bakar di atas punggungnya, saudara fillah ini pun heran dengan apa yang dilihatnya. Orang shalih itu mendatanginya seraya mengucapkan salam dan masuk ke rumahnya beserta tamu tahunannya. Istrinya kemudian menghidangkan makanan bagi keduanya dan dengan ucapan yang baik ia mempersilahkan keduanya menyantap hidangan yang tersedia.
Ketika saudara fillah ini hendak permisi pulang, ia berkata: “Wahai saudaraku, beritahulah kepadaku perihal apa yang akan kutanyakan kepadamu.”
“Apa itu wahai saudaraku?” tanya orang shalih tersebut.
Saudara fillah ini berkata: “Pada tahun yang awal ketika saya mendatangimu, saya mendengar ucapan seorang perempuan yang buruk lisannya, mengucapkan kata-kata yang tidak baik dan kurang adab. Wanita itu banyak melaknat. Dalam kesempatan itu juga saya melihatmu tiba dari arah gunung sementara kayu bakarmu berada di atas punggung seekor singa yang tunduk di hadapanmu. Pada tahun ini saya mendengar ucapan yang anggun dari istrimu, tanpa ada celaan dari lisannya, namun saya melihatmu memikul sendiri kayu bakar di atas punggungmu. Apakah sebabnya?”
Orang shalih ini berkata: “Wahai saudaraku, istriku yang buruk akhlaknya itu telah meninggal. Aku dulunya bersabar mendapatkan akhlaknya dan apa yang muncul darinya. Aku hidup bersamanya dalam kepayahan namun saya sabari. Karena kesabaranku menghadapi istriku, Yang Mahakuasa menundukkan untukku seekor singa yang engkau lihat ia memikulkan kayu bakarku. Ketika istriku itu meninggal, saya pun menikahi perempuan yang shalihah ini dan hidupku senang bersamanya. Maka singa itu tidak pernah tiba lagi membantuku hingga saya harus memikul sendiri kayu bakar di atas punggungku, lantaran saya sudah hidup senang bersama istriku yang diberkahi lagi taat ini.” (Al-Kaba`ir, hal. 195-196)

Di antara para istri ada pula yang tergesa-gesa minta cerai dari suaminya tanpa alasan yang dibolehkan syariat. Terkadang masalahnya sepele dan masih mungkin dicarikan jalan keluarnya. Namun tanpa berpikir panjang ke depan istri ini menuntut cerai dari suaminya.

RasulullahShalallahu alaihi wasalamsendiri telah bersabda:
“Wanita mana saja yang minta cerai kepada suaminya tanpa alasannya ialah (syar’i) maka diharamkan baginya mencium wanginya surga.” (HR. Ahmad 5/277. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 2703)

Adapun bila ada alasan syar‘i menyerupai suaminya meninggalkan shalat, kecanduan minuman keras dan obat-obat terlarang, atau si suami memaksanya melaksanakan kasus yang haram, atau menzaliminya dengan menyiksanya atau tidak menyampaikan haknya yang syar‘i, sementara nasehat tidak lagi bermanfaat bagi si suami dan istri tersebut tidak mendapatkan jalan untuk memperbaiki keadaan, maka ketika keadaannya menyerupai ini tidak disalahkan si istri minta cerai dari suaminya guna menyelamatkan agamanya dan jiwanya. (Al-Muharramat Istahana bihan Nas Yajibul Hadzru Minha, hal. 33)

Bila Seorang Istri Melihat Suaminya Tidak Suka Padanya
Apabila seorang istri melihat ketidaksukaan suami terhadapnya dan ia bisa menangkap isyarat-isyarat yang memperlihatkan suaminya ingin berpisah dengannya, sementara ia ingin tetap dalam ikatan ijab kabul dengan suaminya maka perceraian tidak selamanya menjadi pilihan final yang harus ditempuh. Syariat yang mulia ini menyampaikan jalan keluar yang lain sebagaimana termaktub dalam firman Yang Mahakuasa Ta’ala:

“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik.” (An-Nisa`: 128) [Al-Mukminat, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 144]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rohimahullah menyebutkan dongeng Saudah bintu Zam`ah, ketika usianya menua dan RasulullahShalallahu alaihi wasalamtelah berketetapan untuk menceraikannya. Saudah pun memperlihatkan perdamaian kepada beliauShalallahu alaihi wasalamagar ia tetap mempertahankannya sebagai istri dan ia merelakan hari gilirannya untuk Aisyah. Rasulullah n mendapatkan hal itu dari Saudah dan tidak jadi menceraikannya (Tafsir Ibnu Katsir, 1/314).

Sekali lagi, jangan hingga kita mengabulkan keinginan dan harapan iblis. Pikirkan ulang, dan ingat masa depan belum dewasa dan nilai keluarga Anda di mata masyarakat.

Wallahu a’lam bishowab
Semoga bermanfaat


Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com