Mimbar Nabi



 MIMBAR NABI Shalallhu alaihi wasalam

Kata “mimbar” (الِمنبَرُ) berasal dari kata ungkapan نَبَرَ الشَّيئَ  yang artinya mengangkat atau meninggikan sesuatu.
Ia dinamakan “mimbar” alasannya letaknya yang tinggi.
Sebelum memakai mimbar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dengan bersandar kepada batang pohon.
 Dalam  Shahih Bukhari diceritakan bahwa dahulu ada batang pohon yang digunakan bangun Rasulullah dikala sedang berkhutbah Tatkala sudah ada mimbar sebagai pengganti batang pohon tersebut terdengarlah bunyi tangisan dari batang pohon tesebut, hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan diatasnya. (Shahih Bukhari no.918)
 

KAPAN PERTAMA KALI DIBUATNYA MIMBAR?

Berdasarkan perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mimbar tersebut dibentuk oleh seorang budak milik salah seorang shahabiyyat, dari kayu jenis thorfa dari kawasan Ghabat (pinggiran Madinah).

Hal ini disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hazim bin Dinar:
“Beberapa orang mendatangi Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, sehabis sebelumnya mereka berdebat perihal mimbar, dari kayu apa ia dibuat. Mereka tiba menanyakan kepadanya perihal hal itu. 
Sahl bin Sa’ad berkata,”Demi Allah, saya tahu benar dari kayu apa ia dibuat. Dan saya melihat pertama kali ia diletakkan dan pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk diatasnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang kepada seorang perempuan -dari kalangan Anshar yang telah disebutkan namanya oleh Sahl bin Sa’ad- : “Suruhlah budakmu yang jago pertukangan untuk menyebarkan kayu untukku supaya saya duduk diatasnya dikala berbicara kepada orang-orang”. Lalu perempuan itu menyuruh budaknya. Budak itu pun membuatnya dari kayu thorfa dari Ghabat (pinggiran Madinah), kemudian ia membawanya. Kemudian perempuan itu mengirimnya (mimbar tesebut) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh meletakkannya disini.
Setelah itu saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sholat diatasnya; dia bertakbir dan ruku’ diatasnya. Lalu dia turun mundur dan sujud didasar mimbar (diatas tanah), kemudian dia kembali. Setelah final dia Shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap jama’ahnya seraya berkata,” Wahai sekalian manusia, saya berbuat menyerupai ini supaya kalian sanggup mengikuti dan mengetahui (cara) sholatku”. (HR Bukhari no.917 dan Muslim no.544).
Ciri-ciri mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terdiri dari 3 tingkat. Beliau khutbah pada tingkat yang kedua dan duduk pada tingkat yang ketiga. Hal ini didasarkan pada hadits yang panjang dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhum, dalam riwayat itu disebutkan: “Maka dibuatkanlah untuk dia sebuah mimbar dengan 2 (dua) anak tangga. Beliau duduk pada anak tangga ketiga…” (HR. Ad-Darimi dalam Sunannya (I/19) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya(I/19).

Ibnu An-Najjar menyebutkan bahwa panjang mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ialah 2 (dua) hasta, 1 (satu) jengkal dan 3 (tiga) jari, lebarnya 1 hasta”. (Akhbaar madiinatir Rasuul,82)

Penyimpangan- Penyimpangan dalam pembuatan mimbar.
Seperti itulah bentuk ciri-ciri mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pembuatan mimbar tersebut tidak ada unsur memaksakan diri dan berlebih-lebihan. Namun kondisi kini ini banyak dari kaum muslimin yang sangat bertolak belakang dengan ciri-ciri mimbar yang disunnahkan (dicontohkan) oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ada mimbar yang tinggi dengan susunan anak tangga yang banyak sehingga menyulitkan jama’ah yang ingin mernerapkan sunnah, yaitu menghadapkan wajah kearah khatib sebagaimana yang dilakukan oleh para sobat berasama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ada juga mimbar yang dibentuk memanjang sehingga tetapkan shaf-shaf terdepan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Barangsiapa yang menyambung shaf maka Tuhan akan sambungkan ia (kepada rahmat-Nya). Dan barangsiapa yang tetapkan shaf maka Tuhan akan putuskan ia”. (Hadits Sahih Riwayat An-Nasa’i no.818).
Maka hendaknya kaum muslimin kembali kepada apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan seburuk-buruk perkara ialah yang diada-adakan dalam agama. وَاللهُ اَعْلَمُ


(Sumber dari buku “Petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Khutbah Jum’at, DR. Anis bin Ahmad bin Thahir, Pustaka Imam Asy-Syafi’I,2009)

Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com