Kekejaman Pki

Lembaran sejarah Indonesia tergores pengalaman yang amat mengerikan dengan komunisme melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi keji PKI membuat genangan darah umat Islam di Indonesia.


Sabtu Pon, 18 September 1948, pukul 03.00 dini hari, tiga letusan pistol ditandai sebagai arahan dimulainya pemberontakan bersenjata PKI yang dikenal dengan Madiun Affair.[1] Inilah perebutan kekuasaan secara terang-terangan terhadap Indonesia yang gres berusia tiga tahun merdeka dan gres juga menderita gara-gara serangan militer Belanda di tahun sebelumnya. Betapa lemahnya Indonesia kala itu.


"Kejadian itu terasa begitu mengerikan beribu-ribu insan dengan kelawang dan aneka macam senjata memekik-mekik bagai serigala haus darah mereka berduyun-duyun tak ada habisnya sambil terus memekik dan memaki-maki kemudian menerjang dengan beringas dan penuh kebencian "


Itulah citra yang rata-rata muncul dari kesaksian orang-orang yang mengalami detik-detik insiden 18 September 1948 tatkala perebutan kekuasaan PKI diproklamasikan di Madiun.[2] Ketika itu beribu-ribu insan dengan membawa senapan, kelewang, arit, pentungan, dan senjata lainnya menyerupai air bah. Tanpa babibu lagi, mereka bergerak cepat dan tak terduga dari aneka macam arah ke segala arah menerjang segala apa yang mereka jumpai.


Musuh utama PKI yakni umat Islam khususnya para kiai dan santri. Hal ini sangat dimengerti lantaran Islam yakni agama secara umum dikuasai penduduk Indonesia yang sangat menentang PKI. Selain itu, para kiai merasa berkewajiban menjaga dan membela agamanya.

 Lembaran sejarah Indonesia tergores pengalaman yang amat mengerikan dengan komunisme mela Kekejaman PKI


Setelah itu, perlawanan pun terjadi. Bantuan dari luar berdatangan. Umat Islam yang menjadi target PKI tentu tidak tinggal membisu dan tunduk ketika agamanya diberangus. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri pada tahun 1947 di Yogyakarta, telah membentuk Brigade yang aktif dalam revolusi. Surjosugito, siswa Madrasah Menengah Tinggi Djamsaren , Solo, sebagai komanden Brigade PII syahid bersama delapan orang anggotanya yang berasal dari aneka macam sekolah dan pesantren, dalam pertempuran melawan pemberontak PKI di Madiun.


Magetan sebagai daerah paling bersahabat dengan ibu kota Keresidenan Madiun, dalam tempo beberapa hari telah jatuh ke tangan PKI. Pembersihan dilakukan dimana-mana untuk mendongkel yang bukan merah dan diganti dengan yang merah. Maka sejarah pun mencatat praktik-praktik mengerikan yang dilangsungkan oleh PKI, tak kalah biadabnya dari agresi Khmer Merah di Kamboja. Apa yang mereka lakukan itu yakni cuilan dari teror mereka untuk meruntuhkan moral lawan-lawan mereka.


Sekalipun insiden itu dikenal dengan sebutan Pemberontakan Madiun, di antara sekian daerah yang menjadi korban keganasan kaum merah tersebut, masyarakat di daerah Kabupaten Magetanlah yang paling parah mendapatkan akibatnya.


Korban keganasan kaum merah tersebut tak sanggup diketahui secara pasti. Tetapi adanya sumur-sumur renta dan lubang-lubang pembantaian yang digunakan PKI untuk menghabisi lawan-lawan mereka yang tersebar di aneka macam tempat di Kabupaten Magetan, menjadi saksi sejarah dari sebuah kebiadaban yang sulit dipercaya kala itu. Sulit dipercaya lantaran ketika itu Republik Indonesia justru gres saja berdiri, dan yang mereka bunuh yakni saudara setanah air. Padahal saling bunuh yang selama ini dikenal yakni saling bunuh antara kaum repubik dan penjajah. Hal itu terlihat dari kebiadaban PKI dalam agresi mereka di daerah Kabupaten Magetan.


Kasus Pesantren Takeran
Bersamaan dengan perebutan kekuasaan terhadap pemerintah, pendukung PKI mengincar tokoh-tokoh dari Pesantren Takeran atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) yang dianggap sebagai musuh utama mereka. Sebab, Pesantren Takeran pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berusia 28 tahun itu yakni pesantren yang paling berwibawa di daerah Magetan..


Pada 17 September 1948, tepatnya hari Jumat Pon, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo berpamitan kepada Kiai Imam Mursjid. Kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Burikan itu ternyata untuk yang terakhir kalinya. Sebab pada hari Sabtu Wage, 18 September 1948, Pesantren Burikan diserbu oleh PKI, dan tokoh-tokoh pesantren serta para santri, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren tersebut, diseret ke Desa Batokan yang letaknya hanya 500 meter dari Pesantren Burikan. Kiai Hamzah dan Kiai Nurun termasuk diantara para korban yang dibantai oleh PKI di lubang pembantaian Batokan.


Seusai shalat Jumat tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Muhammad Kamil kenal dengan beberapa orang di antara tokoh PK yang tiba itu, menyerupai Suhud dan Ilyas alias Sipit. "Sipit bahu-membahu santri Mas Imam Mursjid. Tapi entah mengapa dia sanggup menjadi PKI," ujar Kamil,salah seorang saksi mata.


Sipit sendiri, berdasarkan Kamil, ketika itu dikenal sebagai kepala Takeran yang kemana-mana selalu membawa senapan. Tetapi semenjak jauh hari, Kiai Imam Mursjid sudah mulai mewaspadai kesetiaan Sipit. Hal itu terungkap dari pernyataan Kiai Imam Mursjid kepada Kamil wacana keyakinan baik Sipit. "Waktu itu saya sudah menyampaikan bahwa Sipit tak sanggup dipercaya lagi, lantaran Sipit sudah tak sembahyang lagi," ujar Kamil mengingat-ingat.


Waktu didatangi oleh tokoh-tokoh PKI, Kiai Imam Mursjid diajak keluar dari mushalla kecil di sisi rumah Kamil. Menurut Kamil, Kiai Imam Mursjid akan diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia dengan PKI-nya. Keberangkatan Kiai Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga pesantren, lantaran warga pesantren tak menduga bahwa Kiai Imam Mursjid akan berdasarkan begitu saja diajak berunding oleh PKI.


Tetapi Suhud, salah seorang pimpinan gerombolan PKI, ketika itu melontarkan dalil-dalil dari Al-Quran untuk meyakinkan warga pesantren bahwa keyakinan mereka baik kepada Kiai Imam Mursjid. "Suhud waktu itu malah mendalilkan innalaha laa yughayyiru bi qaumin, hatta yughaiyyiru maa bi anfusihim (Sesungguhnya Yang Mahakuasa tak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mengubah nasib mereka sendiri)," kenang Kamil.


Waktu itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap rencana kepergian kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana dngan dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke mobil. Tetapi sebelum kendaraan beroda empat berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam Mursjid sekaligus santri yang setia, meminta kepada PKI supaya diperkenankan ikut naik kendaraan beroda empat mendampingi pemimpinnya. Permohonan Imam Faham itu dikabulkan oleh PKI dan mereka pun meluncur keluar daerah pesantren.


Iskan, salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa Pesantren Takeran sudah dikepung oleh ratusan orang PKI. "Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan menggunakan ikat kepala merah dan bersenjata," ujar Iskan sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang sangat dipatuhi itu.


Menurut Iskan, sebelum itu pihak PKI memang sudah mengancam, kalau Kiai Imam Mursjid tak mau mengalah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan. Mungkin, berdasarkan Iskan, apabila Jumat itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa PKI, sanggup dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan demikian korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut PKI untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar di antara para pengikutnya.


Pada hari Minggu Kliwon, 19 September 1948, kurir PKI yang lain tiba lagi memberikan pesan bahwa Kiai Imam Mursjid belum sanggup pulang. Malah mereka menyampaikan negosiasi tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer, sepupu Kiai Imam Mursjid yang selama itu ikut memimpin Pesantren Takeran. "Waktu itu mereka menyampaikan bahwa Mas Imam Nursjid gres sanggup pulang kalau Kiai Muhammad Noer tiba menjemput," kata Kamil.
Kiai Muhammad Noer, begitu mendengar pesan dari kurir tersebut, belakang layar mendatangi markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran. Tapi di tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di Takeran. Kurir PKI berulang kali tiba lagi ke pesantren sehabis Kiai Muhammad Noer dibawa ke Gorang Gareng. Dia menyampaikan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer gres sanggup kembali sehabis Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, tiba menjemput ke Gorang Gareng.


PKI menyampaikan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer gres sanggup kembali sehabis Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, tiba menjemput ke Gorang Gareng.


Mendapat gosip menyerupai itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri. Apalagi dia juga diberi tahu bahwa dialah yang menerima giliran dicari PKI. Meskipun tak menemukan Tarmudji, PKI terus menangkapi tokoh-tokoh pesantren menyerupai Ustadz Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofii, Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba. Yang terakhir ini yakni guru pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo (Mesir). Saat itu, Pesantren Takeran memang sangat populer dan muridnya tiba dari aneka macam daerah termasuk dari luar Jawa.


Mereka itu akhirnya memang tak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayit di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di aneka macam tempat di Magetan. Bahkan hingga tahun 1990, mayit Kiai Imam Mursjid tak kunjung ditemukan. Dari daftar korban yang dibentuk PKI sendiri -daftar ini ditemukan oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid tak ada.[4]


K.H. Imam Sofwan Adzan di Dalam Sumur

Di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur renta yang digunakan PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur renta Cigrok ini terletak di belakang rumah To Teruno, seorang warga yang bahu-membahu bukan orang PKI. Justru dialah yang melaporkan acara PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya. Di bersahabat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang menjadi saksi kebiadaban PKI dalam melaksanakan pembantaian di sumur renta itu tahun 1948.


Muslim menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani keluar rumah. Malam itu, dia mendengar bunyi bentakan Surat, pimpinan PKI yang berasal dari Desa Petungredjo. Dia juga mendengar bunyi orang menjerit histeris lantaran dianiaya. Muslim, yang belakang layar mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim sanggup mengenali salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam sumur. Suara itu, menurutnya yakni bunyi K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.


Achmad Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI, menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia sangat mengenal bunyi adzan K.H. Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur itu, lantaran Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian K.H. Imam Sofwan.


Menurut Idris, pembantaian oleh PKI di sumur Cigrok itu tak dilakukan dengan senapan atau Klewang, akan tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke cuilan belakang tiap tawanan tersebut.


Waktu itu, Idris mengenang, ada tawanan yang segera sehabis dihantam pribadi menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang sehabis dihantam, masih berpengaruh merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka menggapai-gapai mencari pegangan. Melihat para korban merangkak menyerupai itu, orang-orang PKI kemudian menyeret begitu saja dan memasukkan mereka hidup-hidup ke dalam sumur. K.H. Imam Sofwan, berdasarkan Idris, termasuk yang tak meninggal sehabis dihantam. Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau, yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani, yang dibantai di sumur renta Desa Kepuh Rejo, tak jauh dari sumur Cigrok.


Orang-orang PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di dalam sumur, sama sekali tak peduli. Mereka lantas pribadi menimbuni sumur tersebut dengan jerami, batu, dan tanah. Karena itu, ada pernyataan yang menyebutkan bahwa korban pemberontakan PKI tahun 1948 bahu-membahu dikubur hidup-hidup. Muslim mengatakan, pada pagi hari seusai pembantaian dia mendapati lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah habis. "Rupanya orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur," tutur Muslim yang diancam oleh PKI supaya tutup mulut.


Yang dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di antara para korban itu, ada K.H. Imam Sofwan, Hadi Addaba dan Imam Faham. Hadi Addaba sendiri yakni guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Pesantren Takeran. Sementara Imam Faham yakni santrinya K.H. Imam Mursjid yang ikut mengiringi K.H. Imam Mursjid ketika dibawa kendaraan beroda empat PKI. Tetapi rupanya di tengah jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok.[5]


K.H. Rokib Digebuki Habis-habisan
Di sebuah kampung di Kota Magetan yang dihuni oleh umat Islam, Kampung Kauman namanya, terdapat seorang pedagang keliling yang juga guru ngaji berjulukan K.H. Rokib. Dia mengaku pernah didatangi oleh 12 orang anggota PKI, pada 19 September 1948, sekitar pukul 03.00 dini hari. Dalam keadaan langit masih gelap, Rokib digiring ke Desa Wringin Agung.


"Setiba di Wringin Agung, saya dimasukkan ke dalam rumah yang gelap sekali. Dari bisik-bisik mereka, saya tahu bahwa Asrori, guru madrasah di Kauman itu sudah dibunuh di Dadapan," kenang Rokib. Setelah seharian dikurung, Rokib kemudian digiring oleh orang-orang yang berpakaian tentara ke arah selatan.


Setiba di Dusun Dadapan, Desa Bangsri, Rokib sekonyong-konyong diseret ke lubang pembantaian di tepi tegalan yang ditanami ketela pohon. Di lubang pembantaian tersebut, kedua tangan Rokib ditarik berlawanan arah oleh orang-orang PKI dan kakinya ditekan supaya terduduk. Dalam keadaan menyerupai itu, Rokib sadar bahwa dia akan disembelih oleh FDR/PKI menyerupai mayat-mayat yang bergelimpangan dalam lubang di depannya.


"Waktu itulah saya mendadak ingat pelajaran pencak yang pernah saya peroleh dari pesantren," tutur Rokib yang mengaku pernah menjadi santri di Pesantren Mambaul Ulum, Walikukun itu. Maka dengan gerak reflek, Rokib menghentakkan tangan kirinya sambil menendangkan kaki ke samping hingga berhasil melepaskan tangannya dari pegangan orang PKI. Kemudian dengan sekuat tenaga, Rokib lari menghindari kepungan orang-orang PKI.


"Hooii tawanane ucul! (Hooii tawanannya lepas!)," teriak orang-orang PKI menyerupai yang ditirukan Rokib, ketika mereka mengejarnya di antara flora ketela pohon dan semak yang lain. Tetapi pelarian Rokib itu hanya bebberapa jam saja. Sebab menjelang siang hari, dia tertangkap lagi oleh PKI di tengah tegalan. Setelah tertangkap, Rokib mengungkapkan dirinya digebuki habis-habisan oleh PKI.[6] Hampir sepekan Rokib diikat dengan erat dan disatukan dengan sekitar 300-an orang tawanan yang lain. Kemudian dia digiring ke timur menuju Gorang Gareng.[7]


Kampung Kauman Dibakar
Pada hari Senin Legi, 20 September 1948, tiba-tiba tiba sebuah truk yang berisi orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang wanita sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia menyampaikan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman.


"Di atas truk memang ada mayit yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya saja," kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel makanan di Kauman. Dia menceritakan bahwa wanita yang berteriak tadi menginginkan ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang anggota PKI. Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya lantaran mereka memang tak merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi meninggalkan bahaya akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini yakni seni administrasi licik mencari pembunuh ala PKI, lantaran sebenarnya, ingin menjebak lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.


Pada hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI menyerupai kerumunan lebah yang menyerbu Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar dari persembunyiannya. "Waktu itu seluruh warga pria Kauman ditawan dan digiring ke Masopati sehabis tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali bambu," tutur Parto Mandojo.


Dalam agresi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah terbakar, dan sekitar 149 pria digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik pabrik gula ke daerah Glodok. "Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng dan Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara Siliwangi," ujar Parto Mandojo wacana insiden mencekam itu.


Pembakaran Kampung Kauman intinya merupakan cuilan dari agresi PKI untuk memberangus imbas agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum agresi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa ketika sehabis Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren menyerupai Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI yakni keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.


Achmad Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno, menceritakan bahwa ayahnya yakni putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan. Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani. "Jadi sehabis pemberontakan itu meletus, pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan," simpul Daenuri.[8] Setelah Magetan, agresi keganasan PKI berlanjut di Trenggalek, Surabaya, dan Kediri.


Di Trenggalek, PKI juga melancarkan terornya. Mereka menyiapkan belasan jurigen materi bakar serta telah menempatkan dinamit di bawah seluruh tiang Masjid Agung Trenggalek yang siap diledakkan. Namun Imam Masjid tersebut, K.H. Yunus tak beranjak dari mihrab tempat suci itu. Tepat jam 12 malam, dia diseret keluar masjid dan dicampakkan ke halaman oleh PKI. Setelah itu, masjid bersejarah nan megah itu dibakar dan diledakkan hingga musnah rata dengan tanah.[9]


Aksi PKI Pasca Pemilu 1955
Pemberontakan Madiun akhirnya sanggup dipadamkan. PKI ditumpas oleh pemerintahan Sukarno Hatta. Namun PKI kemudian mendapatkan kembali nafasnya, dan mulai bangkit. Bahkan semenjak Pemilu 1955 posisi PKI semakin menguat. Kedekatan PKI dengan Sukarno membuat mereka di atas angin. Umat Islam ketika memasuki rezim orde usang semakin tertekan.Berada dalam posisi yang kuat, kesempatan itu digunakan untuk menghantam kmebali lawan-lawan politiknya, termasuk para ulama dan santri. Mereka acapkali melaksanakan teror untuk melemahkan mental umat Islam.


Termasuk ketika para pendukung PKI menyerbu Masjid Agung Kembangkuning, Surabaya, peninggalan Sunan Ampel. Pada tahun 1962, gerombolan Pemuda Rakyat didukung kawanan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) tanpa ampun menyerbu masjid tersebut. Parahnya lagi, Al-Quran dan kitab lainnya dinjak-injak dan dibakar.[10] Mereka juga menari-nari dan menyanyikan lagu Genjer-Genjer di tempat suci tersebut. Masjid dijadikan panggung orkes oleh mereka. Bahkan mereka bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani.[11]


Aksi Sepihak Menyerobot tanah milik warga Nahdlatul Ulama (NU)
Memasuki tahun 1964, PKI gencar menduduki aneka macam tanah termasuk tanah milik Nahdiyin. Karena didukung oleh beberapa oknum pemerintah, langkah tersebut berjalan lancar. Dalam waktu singkat, 900 hektar tanah sanggup dikuasai. PKI juga berani mematok tanah milik warga NU, H.Saimur. Selain dipatok, tanah itu juga ditanami flora oleh PKI, seolah tanah itu yakni miliknya. Melihat kenekatan PKI itu, H.Saimur meminta pinjaman Gerakan Pemuda (GP) Ansor, kemudian oleh GP Ansor, tanah itu ditancapi bendera NU dengan sesumbar kalau PKI berani mencabut bendera NU, maka GP Ansor akan menghadapi PKI. Mendengar itu, PKI tidak berani lagi menjarah tanah H. Saimur.[12]


Selanjutnya, PKI bersama Badan Tani Indonesia (BTI) menebang flora tebu seluas tiga hektar milik H.Abu Sudjak, Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Kediri. Setelah ditebang, PKI pribadi menjualnya ke Pabrik Gula Ngadireja. Namun lantaran Abu Sudjak sudah kenal dengan pimpinan pabrik, uang hasil penjualan tebu PKI dan BTI tadi, diambil oleh Abu Sudjak. Tentu saja PKI sangat marah. PKI tak kehabisan akal, mereka kemudian memagari flora tebu yang masih tersisa dan menganggap sebagai lahan BTI.


Melihat hal itu, Pimpinan GP Ansor dan para pahlawan lantas merobohkan dan mencabuti pagar lahan yang dibentuk oleh BTI, kemudian ditancapi bendera GP Ansor.[13] Segerombolan Pemuda Rakyat BTI dan Gerwani juga pernah menduduki tanah milik muslimat NU yang terletak di tengah kota Surabaya. Tanah itu pribadi dipagari dan dipasang bendera PKI dan Gerwani.[14]


Itulah sebagian agresi teror keji ala PKI. Umat Islam yang sudah berkorban banyak demi bangsa ini, bersimbah darah melayani keganasan PKI. Permusuhan PKI utamanya kepada para kiyai dan santri, membuat darah para syuhada tergenang. Terorisme ala PKI menjadi salah satu babak memilukan dalam lembaran sejarah Indonesia. Dengan demikian, tak hiperbola bila semua pihak yang ketika ini menginginkan TAP MPRS No XXV/ 1966 berisi Ketetapan Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dicabut, kita sebut sebagai pendulang bibit-bibit teroris. Dan menjadi kiprah pemerintah serta seluruh rakyat Indonesia untuk mencegah terorisme ala PKI terulang kembali.


Sumber 
[1] Dikutip oleh Taufiq Ismail, Katastrofi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maioisma Narkoba, Yayasan Titik Infinitum:Jakarta, 2004, hlm.172 dari Arnold C. Brackman, Indonesian Communism-A History, Frederick A Praeger Publisher: New York, 1963
[2] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun, Pustaka Utama Grafiti: Jakarta, 1990, hlm. 15
[3] Taufiq Ismail, Katastrofi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maioisma Narkoba, Yayasan Titik Infinitum:Jakarta, 2004, hlm.174
[4] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 16-21
[5] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 55-58
[6] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 40-41
[7] Dikutip oleh Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 42 dari Jawapos, 18 September 1989
[8] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm. 42-43
[9] H. Abdul Munim DZ, Benturan NU PKI 1948-1965, Depok: PBNU&Langgar Swadaya Nusantara, 2014, hlm.67-68
[10] H. Abdul Munim DZ, Benturan NU PKI 1948-1965, Depok: PBNU&Langgar Swadaya Nusantara, 2014, hlm.11
[11] H. Abdul Munim DZ, Ibid, hlm.96
[12] H. Abdul Munim DZ, Ibid, hlm.105
[13] H. Abdul Munim DZ, Ibid, hlm.106
[14] H. Abdul Munim DZ, Ibi