Fiqih Kontemporer | Aturan Transplantasi Organ Insan Berdasarkan Islam

Transplantasi organ Manusia
Sebenarnya, kajian yang membahas aturan syariah ihwal praktek transplantasi jaringan maupun organ dalam khazanah intelektual dan keilmuan fikih Islam klasik relatif jarang dan hampir tidak pernah dikupas oleh para fukaha secara mendetail dan terang yang mungkin lantaran faktor barunya problem ini dan dimensi terkaitnya yang komplek yang mencakup masalah transplantasi.

Oleh lantaran itu tidak heran kalau hasil ijtihad dan klarifikasi syar’i ihwal problem ini banyak berasal dari pemikiran para hebat fikih kontemporer, keputusan forum dan institusi Islam serta simposium nasional maupun internasional Mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern, pada dasarnya secara global tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ. Dalam simposium Nasional II mengenai problem “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari banyak sekali kelompok agama di Indonesia.

Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang sanggup dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.) Meskipun demikian sangat perlu dan harus ada klarifikasi aturan syariah yang lebih detail dan tegas dalam problem ini dan tidak boleh ta’mim (generalisasi) aturan terlepas dari batas dan ketentuan serta syarat-syarat lebih lanjut supaya tidak keluar dari pesan tersirat kemanusiaan dan norma agama serta etika samawi sehingga menjadi praktek netralitas etis yang tidak sesuai dengan budaya manusiawi dan keagamaan. Masalah transplantasi dalam kajian aturan syariah Islam diuraikan menjadi dua cuilan besar pembahasan yaitu sebagai berikut :

Pertama : Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama.
Kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain yaitu sbb:
A. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang lain.
  1. a.1. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang hidup.
  2. a.2. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang mati. B. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu binatang.
  3. b.1. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari hewan tidak najis/halal.
  4. b.2. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari hewan najis/haram.
Masalah Pertama : Penanaman organ/jaringan yang diambil dari tubuh ke tempat lain pada tubuh tersebut. Seperti, praktek transplantasi kulit dari suatu cuilan tubuh ke cuilan lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam masalah transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada cuilan kaki. Masalah ini hukumnya ialah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong cuilan tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya lantaran suatu sebab. ( lihat, Dr. Al-Ghossal, Naql wa Zar’ul A’dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A’dha:126).

Masalah Kedua :

Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain.

A. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain.
A.1. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup. Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang sanggup menjadikan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya ialah tidak boleh.

Atas dasar firman Allah:

  (وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ(195

Artinya :"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kau menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, lantaran sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang yang berbuat baik. " (QS Al Baqarah:195.)

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya:"Dan janganlah kau membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Tuhan ialah Maha Penyayang kepadamu" (QS An-Nisa 29)

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya:"Dan tolong menolonglah kau dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ..." (QS Al-Maa-idah 2).

Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak menjadikan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit atau sanggup juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada dasarnya problem ini diperbolehkan hanya harus memenuhi syarat-syarat berikut dalam prakteknya yaitu :
  1. Tidak akan membahayakan kelangsungan hidup yang masuk akal bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah aturan islam menyatakan bahwa suatu ancaman tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan ancaman serupa/sebanding.
  2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan.
  3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat.
  4. Boleh dilakukan bila kemumgkinan keberhasilan transplantasi tersebut peluangnya optimis sangat besar. (Lihat hasil mudzakarah forum fiqh islam dari Liga Dunia Islam/Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985 M.)
Namun demikian, ada pengecualian dari semua masalah transplantasi yang diperbolehkan yaitu tidak dibolehkan transplantasi buah zakar meskipun organ ini ganda lantaran beberapa alasan sbb. :
  1. Merusak gambaran dan penampilan lahir ciptaan insan .
  2. Mengakibatkan terputusnya keturunan bagi donatur yang masih hidup.
  3. Dalam hal ini transplantasi tidak dinilai darurat dan kebutuhannya tidak mendesak.
  4. Dapat mengacaukan garis keturunan. Sebab berdasarkan hebat kedokteran, organ ini punya dampak dalam menitiskan sifat keturunan.(Ensiklopedi kedokteran modern edisi bahasa arab vol. III hal. 583, Dr. Albairum, Ensiklopedi Kedokteran Arab, hal 134.)
A.2. Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari orang mati. Dalam masalah ini penanaman jaringan/organ tubuh diambil dari orang yang kondisinya benar-benar telah mati (kematian otak dan jantungnya sekaligus). Organ/jaringan yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara khusus supaya sanggup difungsikan. ( Kajilah QS. 18:9-12, kaedah-kaedah aturan Islam al.: " Suatu hal yang telah yakin tidak sanggup dihilangkan dengan suatu keraguan/tidak yakin ", " Dasar pengambilan aturan ialah tetap berlangsungnya suatu kondisi yang usang hingga ada indikasi niscaya perubahannya." ).

Sesungguhnya telah banyak fatwa dan konsensus mufakat para ulama dari banyak sekali muktamar, lembaga, organisasi dan institusi internasional yang membolehkan praktek transplantasi ini diantaranya ialah sbb. :
  1. Konperensi OKI ( di Malaysia, April 1969 M ). dengan ketentuan kondisinya darurat dan tidak boleh diperjualbelikan.
  2. Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam ( dalam keputusan mudzakarohnya di Mekkah, Januari 1985 M.)
  3. Majlis Ulama Arab Saudi ( dalam keputusannya no. 99 tgl. 6/11/1402 H.)
  4. Panitia Tetap Fawa Ulama dari negara-negara Islam diantaranya menyerupai : * Kerajaan Yordania dengan ketentuan ( syarat-syarat ) sbb. :
  • Harus dengan persetujuan orang renta mayit / walinya atau wasiat mayit.
  • Hanya bila dirasa benar-benar memerlukan dan darurat.
  • Bila tidak darurat dan keperluannya tidak urgen atau mendesak, maka harus menyampaikan imbalan pantas kepada hebat waris donatur ( tanpa transaksi dan kontrak jual-beli ).
Negara Kuwait ( oleh Dirjen Fatwa Dept. Wakaf dan Urusan Islam keputusan no.97 tahun 1405 H. ) dengan ketentuan menyerupai di atas. * Rep. Mesir. ( dengan keputusan Panitia Tetap fatwa Al-Azhar no. 491 )
Rep. Al-Jazair ( Keputusan Panitia Tetap Fatwa Lembaga Tinggi Islam Aljazair, 20/4/1972).
  kajian yang membahas aturan syariah ihwal praktek transplantasi  jaringan maupun organ  Fiqih Kontemporer | Hukum Transplantasi organ Manusia Menurut Islam

Disamping itu banyak fatwa dari kalangan ulama bertaraf internasional yang membolehkan praktek tersebut diantaranya ialah :

1. Abdurrahman bin Sa'di ( 1307-1367H.),
2. Ibrahim Alyakubi ( dalam bukunya Syifa Alqobarih ),
3. Jadal Haq ( mufti Mesir dalam majalah Al-Azhar vol. 7 edisi Romadhon 1403),
4. DR. Yusuf Qordhowi ( dalam Fatawa Mu'ashiroh II/530)
5. DR. Ahmad Syarofuddin ( hal. 128 ),
6. DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq Ausath, edisi 3725, Rabu 8/2/1989 ),
7. DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.),
8. DR. Mahmud As-Sarthowi ( dalam bukunya Zar'ul A'dho, Yordania),
9. DR. Hasyim Jamil ( majalah Risalah Islamiyah, edisi 212 hal. 69).

Secara umum dan pada prinsipnya mereka membolehkannya dengan alasan dan dalil sebagai berikut:
  1. Ayat-ayat ihwal dibolehkannya mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-benar darurat. al. QS. 2:173, 5:3, 6:119,145.
  2. Firman Tuhan swt. yang artinya :" ...dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan insan semuanya." QS. Al-Maidah (5): 32.
  3. Ayat-ayat ihwal dispensasi dan fasilitas dalam Islam al.QS. 2:185, 4:28, 5:6, 22:78
  4. Hal itu sebagai amal jariyah bagi donatur yang telah mati dan sangat berkhasiat bagi kemanusiaan.
  5. Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang berlaku 'itsaar' tanpa pamrih dan dengan tidak sengaja membahayakan dirinya atau membinasakannya.QS. 95:9
  6. Kaedah-kaedah umum aturan Islam yang mengharuskan dihilangkannya segala bahaya. Sebenarnya hampir semua ulama mendukung praktek ini asalkan mengikuti ketentuan-ketentuan kaedah syari'ah kecuali sebagian kecil dari mereka yang keberatan dan tidak memperbolehkannya menyerupai : Syeikh As-Sya'rowi ( harian Alliwa edisi 226, 27/6/1407), Al-Ghomari ( dalam bukunya ttg. haramnya transplantasi ), Assumbuhli ( Qodhoya fiqhiyyah mu'ashiroh, hal.27), Hasan Assegaf ( dalam bukunya ttg transplantasi) dan DR. Abd. Salam Asssakri ( dalam bukunya ttg transplantasi) dan lainnya.
Alasan mereka secara umum ialah keberatan mereka terhadap praktek transplantasi lantaran sanggup berakibat dan menjurus kepada tindakan merubah dan merusak kehormatan jasad insan yang telah dimulyakan Allah. Semuanya itu bergotong-royong sanggup ditangkal dan diatasi atau ditanggulangi dengan mengikuti ketentuan-ketentuan medis dan syari'eh yang berlaku dengan penuh kehati-hatian dan amanah. ( lihat, QS. 17:70, 4:29. )

B. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang.

B1. Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, menyerupai hewan ternak (sapi, kerbau, kambing ). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan dan termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya bagi yang sakit. b.2. Kasus Kedua : Binatang tersebut najis/ haram seperti, babi atau bangkai hewan dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat dan tidak ada pilihan (alternatif organ) lain. (lihat; QS Al Baqarah:173, Al Maidah:3, Majma' Annahr : II/535, An-Nawawi dalam Al-Majmu' : III/138).


PENUTUP (CATATAN):

Mengingat kondisi darurat, kebutuhan dan kompleksitas dimensi problem serta keterbasan jaringan/organ transplan yang layak, maka berdasarkan ekonomis saya semua masalah yang diperbolehkan di ataspun dalam prakteknya harus dilakukan dengan ketentuan skala prioritas sebagai berikut :

Segi Resipien atau Reseptor harus diperhatikan hal-hal berikut untuk didahulukan antara lain:
1. Keyakinan agamanya (QS. Al Hujurat: 1, Ali Imran: 28, Al Mumtahanah: 8).
2. Peranan, Jasa atau perannya dalam kehidupan umat. (QS. Shaad: 28)
3. Kesholehan, ketaatan dan pengetahuannya ttg pedoman Islam. (Al Mujadalah: 11)
4. Hubungan korelasi dan tali silatur rahmi ( QS. Al Ahzab: 6)
5. Tingkatan kebutuhan dan kondisi gawat daruratnya dengan melihat persediaan.

Segi Donor juga harus diperhatikan ketentuan berikut dalam prioritas pengambilan:
  1. Menanam jaringan/organ imitasi buatan bila memungkinkan secara medis.
  2. Mengambil jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan lantaran sanggup tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya.
  3. Mengambil dari organ/jaringan hewan yang halal, adapun hewan lainnya dalam kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal. Dalam sebuah riwayat atsar disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat dengan barang haram.” Tetapi dalam kondisi ‘darurat syar’i’ sebagaimana dalam kaedah fiqh disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat” (darurat membolehkan pemanfaatan hal yang haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuzaal” (Bahaya harus dihilangkan) yang mengacu pada ayar dharurat menyerupai surat Al Maidah: 3 maka boleh memanfaatkan barang haram dengan sekedar kebutuhan dan tidak boleh hiperbola dan jadi kebiasaan lantaran dalam kaedah fiqh dijelaskan “Adh Dharurat Tuqaddar Biqadarihaa” (Peertimbangan Kondisi Darurat Harus Dibatasi Sekedarnya) sebagaimana mengacu pada batasan dalam ayat darurat tersebut diatas; fii makhmashah ghaira mutajanifin lill itsmi (karena kondisi ‘kelaparan’ tanpa sengaja berbuat dosa) atau dalam surat Al Baqarah: 173 dibatasi; famanidh dhuturra ghaira baaghin walaa ‘aadin falaa itsma ‘alaih (Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa/darurat sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya).
  4. Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan menyerupai klarifikasi di atas. 
  5. Mengambil dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan menyerupai diatas disamping orang tersebut ialah mukallaf ( baligh dan berakal ) dengan kesadaran, pengertian, suka rela atau tanpa paksaan. 
Wallahu A'lam Bissawab

Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami dalam qorornya no. 1 pada Muktamar ke empat tanggal 6-11 Pebruari 1988 di Jeddah menyatakan bahwa donor organ tubuh insan itu terbagi menjadi beberapa bentuk. Dari masing-masing bentuk itu ada hukumnya sendiri-sendiri sesuai dengan pembahasan para ulama dalam muktamar itu.

Secara umum bisa disimpulkan antara lain :
  1. Boleh memindahkan organ / cuilan insan hidup ke jasad insan hidup lainnya. Bila organ /bagian itu bisa diperbaharui secara otomatis menyerupai donor darah dan transplantasi kulit.
  2. Diharamkan mendonorkan cuilan organ tubuh yang vital (menentukan hidup mati) bagi nyawa dimana pendonor itu ialah insan yang masih hidup. Seperti donor hati, jantung dan lainnya.
  3. Begitu juga diharamkan mendonorkan cuilan organ tubuh yang akan mengurangi tugas pokok kehidupan pendonor sedangkan dia masih hidup. Meski tidak langusng berkaitan dengan nyawa pendonor. Seperti kornea kedua mata.
  4. Sedangkan donor organ dari tubuh insan yang telah mati kepada insan hidup yang nyawanya sangat tergantung dari cangkok itu atau pun yang menambah kemampuan pokok insan dibolehkan. Dengan syarat bahwa hal itu harus seizin jenazah itu semenjak masih hidup atau seizin dari para hebat warisnya atau izin dari wali muslimin bila jenazah itu tidak dikenal identitas dan hebat warisnya.
Perlu ditegaskan bahwa semua bentuk donor organ yang disebutkan di atas tersebut harus bukan merupakan jual-beli, lantaran jual beli organ itu diharamkan.

Namun pengeluaran jumlah tertentu dari peserta donor demi ungkapan rasa terma kasih dan syukur kepada pihak donor, masih menjadi materi perbedaan dan ijtihad para ulama.

Demikian Majma` Al-Fiqh Al-Islami dalam qorornya.

Sedangkan Dr Yusuf Al-Qaradhawi menuliskan dalam fatwa kontemporernya : BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA DIA MASIH HIDUP?

Ada yang menyampaikan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu mempunyai tubuhnya sendiri sehingga ia sanggup mempergunakannya sekehendak hatinya, contohnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan dari Tuhan yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya kalau sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.

Namun demikian, perlu diperhatikan disini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi insan diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Tuhan sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, contohnya dalam firman Allah:

"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Tuhan yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..." (an-Nur: 33)

Akan tetapi, Tuhan memberi wewenang kepada insan untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.

Sebagaimana insan boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.

Hanya perbedaannya ialah bahwa insan adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.

Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke maritim untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?

Pada zaman kini kita melihat adanya donor darah, yang merupakan cuilan dari tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya, bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai problem ini-- memperlihatkan bahwa donor darah sanggup diterima syara'.

Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.

Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan ancaman itu padahal dia bisa menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya berdasarkan kemampuannya.

Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia mencintai orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapat kasih sayang dari yang di langit.

Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, lantaran tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja memakai seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh lantaran Tuhan Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.

Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?

Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.

Oleh lantaran itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, contohnya hati atau jantung, lantaran dia mustahil sanggup hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."

Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.

Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh cuilan luar, menyerupai mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu ialah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar, lantaran dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan jelek rupanya.

Begitu pula halnya organ tubuh cuilan dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap menyerupai satu organ.

Hal itu merupakan pola bagi yang dharar-nya menimpa salah seorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor), menyerupai hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang (mengutangkan sesuatu kepadanya).

Pada suatu hari pernah ada seorang perempuan bertanya kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?

Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu sanggup menghalangi sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh lantaran itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.

Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang cukup umur dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, lantaran ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula halnya orang gila.

Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang dibawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih kalau ia mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal organ tubuh.

MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM

Mendonorkan organ tubuh itu menyerupai menyedekahkan harta. Hal ini boleh dilakukan terhadap orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, berdasarkan pendapat saya, orang kafir yang memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.

Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena berdasarkan pandangan Islam, orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dieksekusi bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang menyerupai ini untuk hidup?

Apabila ada dua orang yang membutuhkan proteksi donor, yang satu muslim dan satunya lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Tuhan berfirman:

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yanglain ..." (atTaubah: 71)

Bahkan seorang muslim yang saleh dan komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya melaksanakan ketaatan kepada Tuhan dan menyampaikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan hebat maksiat yang mempergunakan nikmat-nikmat Tuhan hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain.

Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada yang lain, lantaran tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi, sebagaimana firman Allah:

"... Orang-orang yang mempunyai korelasi kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Tuhan ..." (al-Anfal: 75)

Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada orang tertentu, sebagaimana ia juga boleh mendermakannya kepada suatu yayasan menyerupai bank yang khusus menangani problem ini (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang merawat dan memelihara organ tersebut dengan caranya sendiri, sehingga sewaktu-waktu sanggup dipergunakan apabila diperlukan.


TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH

Perlu saya ingatkan disini bahwa pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu --sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- ialah tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh insan itu bukan harta yang sanggup dipertukarkan dan ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh insan menjadi objek perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa tempat miskin, di sana terdapat pasar yang menyerupai dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk konsumsi orang-orang kaya-- yang tidak lepas dari campur tangan "mafia baru" yang bersaing dengan bandit dalam problem minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.

Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor --tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk adat yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang berutang saat mengembalikan pinjaman dengan menyampaikan pemanis yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara' dan terpuji, bahkan Rasulullah saw. pernah melakukannya saat dia mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:

"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kau ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?

Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah dia berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya itu sehabis dia meninggal dunia nanti?

Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan mendatangkan kemelaratan --meskipun kemungkinan itu kecil-- maka tidaklah terlarang dia mewasiatkannya sehabis meninggal dunia nanti. Sebab yang demikian itu akan menyampaikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya, lantaran organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berserakan dan dimakan tanah beberapa hari sehabis dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapat pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan aturan asal segala sesuatu ialah mubah, kecuali kalau ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam masalah ini dalil tersebut tidak dijumpai.

Umar r.a. pernah berkata kepada sebagian sahabat mengenai beberapa masalah, "Itu ialah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu dan tidak menyampaikan mudarat kepada dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang sanggup dikatakan kepada orang yang melarang problem mewasiatkan organ tubuh ini.

Ada yang menyampaikan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit yang sangat dipelihara oleh syariat Islam, yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:

"Mematahkan tulang mayit itu menyerupai mematahkan tulang orang yang hidup."1

Saya tekankan disini bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan menyerupai mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.

Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan problem mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.

Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan bisa melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali kasus yang kita lakukan kini ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf lantaran memang belum ada pada zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri sanggup berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, menyerupai ihwal kewajiban memandikannya, mengafaninya, menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan sebagainya.

Mendonorkan sebagian organ tubuh sama sekali tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan.

BOLEHKAH WALI DAN AHLI WARIS MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT?

Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka kalau ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi hebat waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?

Ada yang menyampaikan bahwa tubuh si mayit ialah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau hebat warisnya tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.

Namun begitu, bergotong-royong seseorang apabila telah meninggal dunia maka dia tidak dianggap layak mempunyai sesuatu. Sebagaimana kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada hebat warisnya, maka mungkin sanggup dikatakan bahwa tubuh si mayit menjadi hak wali atau hebat warisnya. Dan boleh jadi syara' melarang mematahkan tulang mayit atau merusak tubuhnya itu lantaran hendak memelihara hak orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati.

Disamping itu, Pembuat Syariat telah menyampaikan hak kepada wali untuk menuntut aturan qishash atau memaafkan si pembunuh saat terjadi pembunuhan dengan sengaja, sebagaimana difirmankan oleh Allah:

"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada hebat warisnya, tetapi janganlah hebat waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia ialah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)

Sebagaimana halnya hebat waris mempunyai hak melaksanakan aturan qishash kalau mereka menghendaki, atau melaksanakan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau banyak. Atau memaafkannya secara mutlak lantaran Allah, pemaafan yang bersifat menyeluruh atau sebagian, menyerupai yang disinyalir oleh Tuhan dalam firmanNya:

"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)

Maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka mempunyai hak mempergunakan sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya sanggup memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai kadar manfaat yang diperoleh orang sakit yang membutuhkannya meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat pahala lantaran tanamannya dimakan oleh orang lain, burung, atau hewan lain, atau lantaran ditimpa musibah, kesedihan, atau terkena gangguan, hingga terkena duri sekalipun ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat --setelah meninggal dunia-- dari doa anaknya khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka untuknya. Dan telah saya sebutkan bahwa sedekah dengan sebagian anggota tubuh itu lebih besar pahalanya daripada sedekah dengan harta.

Oleh lantaran itu, saya beropini tidak terlarang bagi hebat waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk mengobati mereka, menyerupai ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama si sakit masih memanfaatkan organ yang didonorkan itu.

Sebagian saudara di Qatar menanyakan kepada saya ihwal mendermakan sebagian organ tubuh belum dewasa mereka yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga mereka tidak sanggup bertahan hidup. Proses itu terjadi pada waktu mereka di rumah sakit, saat belum dewasa itu meninggal dunia. Sedangkan beberapa anak lain membutuhkan sebagian organ tubuh mereka yang sehat --misalnya ginjal-- untuk melanjutkan kehidupan mereka.

Saya jawab bahwa yang demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapat pahala, insya Allah. Karena yang demikian itu menjadi lantaran terselamatkannya kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan para orang renta untuk melaksanakan kebaikan yang akan mendapat pahala dari Allah. Mudah-mudahan Tuhan akan mengganti untuk mereka -- lantaran tragedi alam yang menimpa itu-- melalui belum dewasa mereka.

Hanya saja, para hebat waris tidak boleh mendonorkan organ tubuh si mayit kalau si mayit sewaktu hidupnya berpesan supaya organ tubuhnya tidak didonorkan, lantaran yang demikian itu merupakan haknya, dan wasiat atau pesannya itu wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.

BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH

Apabila kita memperbolehkan hebat waris dan para wali untuk mendonorkan sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah negara menciptakan undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang tidak diketahui identitasnya, dan tidak diketahui hebat waris dan walinya, untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang sakit dan yang terkena musibah?

Tidak jauh kemungkinannya, bahwa yang demikian itu diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau lantaran suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya dulu si mayit berwasiat supaya organ tubuhnya tidak didonorkan.

MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM

Adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, lantaran organ tubuh insan tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi insan yang dipergunakannya sesuai dengan kepercayaan dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi cuilan dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Tuhan Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.

Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu ialah muslim (tunduk dan mengalah kepada Allah), selalu bertasbih dan bersujud kepada Tuhan SWT, sesuai dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi itu bersujud menyucikan Tuhan Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.

Kalau begitu, maka yang benar ialah bahwa kekafiran atau keislaman seseorang tidak besar lengan berkuasa terhadap organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri, yang oleh Al-Qur'an ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud disini bukanlah organ yang sanggup diraba (ditangkap dengan indra) yang termasuk bidang garap dokter seorang hebat dan hebat anatomi, lantaran yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengannya ialah makna ruhiyahnya yang dengannyalah insan merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:

"... kemudian mereka mempunysi hati yang dengan itu mereka sanggup memahami ..." (al-Hajj: 46) "... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) ..." (al-A'raf: 179)

Dan firman Allah:

"... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis ..." (at-Taubah: 28)

Kata najis dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berafiliasi dengan badan, melainkan najis maknawi yang berafiliasi dengan hati dan nalar (pikiran).

Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.

PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM

Adapun pencangkokan organ hewan yang dihukumi najis menyerupai babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka intinya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu majemuk kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan lantaran darurat itu harus diukur berdasarkan kadar kedaruratannya," dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.

Mungkin juga ada yang menyampaikan disini bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur'an dalam empat ayat, sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh insan bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu kulitnya-- padahal bangkai itu diharamkan bahu-membahu dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.

Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw. pernah melewati bangkai seekor kambing, kemudian para sahabat berkata, "Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak Maimunah." Lalu dia bersabda:

"Mengapa tidak kau ambil kulitnya kemudian kau samak, lantas kau manfaatkan?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya itu ialah bangkai." Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."2

Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?

Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dihentikan syara' ialah mengenakan benda najis dari tubuh cuilan luar, adapun yang didalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab cuilan dalam tubuh insan itu justru merupakan tempat benda-benda najis, menyerupai darah, kencing, tinja, dan semua kotoran; dan insan tetap melaksanakan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya sedikit pun, lantaran tidak ada korelasi antara aturan najis dengan apa yang ada didalam tubuh.

TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR
Akhirnya pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar problem pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain. Apakah hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah pelir ini tidak diperkenankan memindahkannya dari seseorang kepada orang lain?

Menurut pendapat saya, memindahkan buah pelir tidak diperbolehkan. Para hebat telah memutuskan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang memindahkan aksara khusus seseorang kepada keturunannya, dan pencangkokan pelir ke dalam tubuh seseorang, yakni anak keturunan --lewat reproduksi-- akan mewariskan sifat-sifat orang yang mempunyai buah pelir itu, baik warna kulitnya, postur tubuhnya, tingkat inteligensinya, atau sifat jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain.

Hal ini dianggap semacam percampuran nasab yang dihentikan oleh syara' dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan akreditasi kepada orang lain sebagai bapaknya, dan lainnya, yang mengakibatkan terjadinya percampuran keluarga atau kaum yang tidak termasuk cuilan dari mereka. Maka tidaklah sanggup diterima pendapat yang menyampaikan bahwa buah pelir bila dipindahkan kepada orang lain berarti telah menjadi cuilan dari tubuh orang tersebut dan mempunyai aturan menyerupai hukumnya dalam segala hal.

Demikian pula kalau otak seseorang sanggup dipindahkan kepada orang lain, maka hal itu tidak diperbolehkan, lantaran akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.