Kenapa orang yang semakin taqwa maka semakin tinggi pula gairah syahwat untuk berafiliasi badan? Apakah harus dengan poligami? قال الإمام القرطبي رحمه الله: يقال: إن كل من كان أتقى فشهوته أشد ؛ لأن الذي لا يكون تقيا فإنما يتفرج بالنظر والمس ، ألا ترى ما روي في الخبر : "العينان تزنيان واليد ان تزنيان" .◈ فإذا كان في النظر والمس نوع من قضاء الشهوة قل الجماع ، والمتقي لا ينظر ولا يمس فتكون الشهوة مجتمعة في نفسه فيكون أكثر جماعا . وقال أبو بكر الوراق : كل شهوة تقسي القلب إلا الجماع فإنه يصفي القلب ، ولهذا كان الأنبياء يفعلون ذلك ) .تفسير القرطبي (٢٥٣/٥) Al-Imam al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata: "Dikatakan: sesungguhnya setiap orang yang semakin bertaqwa, maka syahwatnya (juga) semakin kuat, alasannya yaitu seorang yang tidak bertaqwa itu menunaikan syahwatnya dengan cara melihat dan menyentuh (sesuatu yang diharamkan), tidakkah engkau melihat di dalam hadits (dikatakan) "kedua mata itu berzina , dan kedua tangan itu berzina". Jika dalam melihat dan menyentuh bab dari menunaikam syahwat, maka melaksanakan jima' (hubungan badan) pun menjadi sedikit, sedangkan seorang yang bertaqwa tidak melihat dan tidak pula menyentuh (sesuatu yang diharamkan), sehingga syahwat itu terkumpul di dalam dirinya sehingga ia menjadi seorang yang banyak melaksanakan jima'. Abu Bakr al-Warraq mengatakan: "Setiap syahwat itu akan mengeraskan hati kecuali jima' (hubungan badan), alasannya yaitu sesungguhnya ia menjernihkan hati. Oleh balasannya para Nabi melaksanakan hal itu." (Tafsir al-Qurthubiy: 5/253) [Ust. Idrus Ramli] Poligami! Mungkin kata tersebut begitu mainstream bagi perempuan kebanyakan. Siapa sih yang rela suami yang dicintainya sepenuh hati harus membuatkan jiwa dan raganya dengan wanit lain. Kebolehan poligami, menikah lebih dari satu (maksimal empat) untuk seorang laki-laki memang sangat tetera terperinci dalam nash Al Qur'an Yang Mahakuasa berfirman: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا "Dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. Yang demikian itu yaitu lebih erat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa: 3). Meskipun boleh, tapi Yang Mahakuasa sudah menjamin akan sulitnya hal itu dilakukan apabilan "adil" menjadi syarat akan hal itu. Al Qur'an juga telah menyinggung problem sulitnya berlaku adil: وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ "Dan kau sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, alasannya yaitu itu janganlah kau terlalu cenderung (kepada yang kau cintai), sehingga kau biarkan yang lain terkatung-katung. (QS. An-Nisa: 129) Ditambah dengan peraturan aturan faktual yang berlaku di negara kita asas monogami (menikah dengan satu pasangan) lebih ditegaskan lagi di dalam suara Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menyampaikan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang isteri. Di mana seorang perempuan hanya boleh memiliki seorang suami. Ini berarti bahwasanya yang disarankan oleh undang-undang yaitu perkawinan monogami. Akan tetapi, UU Perkawinan menunjukkan pengecualian, sebagaimana sanggup kita lihat Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, yang mana Pengadilan sanggup memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di tempat tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat [1] UU Perkawinan). DalamPasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut bahwa Pengadilan hanya akan menunjukkan izin kepada si suami untuk beristeri lebih dari satu jika: a. isteri tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri menerima cacat tubuh atau penyakit yang tidak sanggup disembuhkan; c. isteri tidak sanggup melahirkan keturunan. Selain hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk beristeri lebih dari satu orang, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pasal 5 ayat [1] UU Perkawinan): a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami bisa menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan bawah umur mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan bawah umur mereka. Dari uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa sebagai warga yang beragama dan bernegara, kita harus meyakini dan mengimani bahwa poligami itu boleh dan sah secara agama tetapi sulit sekali untuk direalisasikan sehingga jangan dilakukan. Ketika seorang suami yang keimanan dan ketaqwaanya semakin tinggi, seandainya syahwatnya semakin besar pula, maka tidaklah harus dengan cara berpoligami untuk menuruti syahwatnya, akan tetapi lakukanlah korelasi tubuh (jima') cukup dengan istrinya saja meskipun seorang. Begitu juga bagi sang istri pun harus memahami akan tingginya gairah suami sehingga tahu bagaiman beliau harus melayani kebutuhan suaminya. Wallahu a'lam (nasyitmanaf)