Baru–baru ini pengobatan alternatif telah meramaikan kesehatan dunia dengan inovasi semut Jepang sebagai solusi pengobatan penyakit stroke, gula dan darah tinggi. Caranya cukup praktis, yakni dengan cara memasukkan semut Jepang ke dalam kapsul, sehingga semut Jepang mati di dalamnya, lantas diminum dengan air putih. Lalu, bolehkah mengkonsumsi semut Jepang sebagai pengobatan alternatif, mengingat semua bangkai hukumnya najis? Jawab: Islam ialah agama multidimensi, dimana Islam selalu mengolaborasikan aspek duniawi dan ukhrowi, serta aspek lahir dan batin. Diantara pedoman Islam yang mempunyai ciri pengaitan aspek lahir dengan aspek batin ialah problem kesehatan. Dalam problem kesehatan, kepedulian Islam dibuktikan dengan adanya 4 pokok dalam ajarannya, yakni: 1. Kebersihan, terbukti dengan disyari’atkan wudhu dengan air dan anggota lahir yang dibasahi, mandi, siwak (gosok gigi), kebersihan pakaian, tempat dan lain–lain. 2 dan 3. Makanan dan minuman, terbukti dengan adanya makanan dan minuman yang dilarang. 4. Kesehatan umum, terbukti dengan adanya karantina wabah penyakit demi kesehatan umum. Hal ini bertendensi pada hadits Rosululloh yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut: (إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوْا عَلَيْهِ ( رواه مسلم Artinya: Apabila kau mendengar di satu tempat terjadi wabah berjangkit, janganlah kalian masuk didalamnya.” (HR. Muslim) Dari hadits tersebut menandakan bahwa karantina untuk penyakit menular sudah ada semenjak zaman Rosululloh. Olahraga (riyadhoh), terbukti dengan tuntunan shalat yang menampilkan pergerakan organ badan apabila dilaksanakan dengan cara yang benar. Dalam hal makanan dan minuman, para pakar fiqih telah mengelompokannya menjadi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak diperbolehkan. Secara garis besar, mengkonsumsi sesuatu dihentikan lantaran 6 alasannya : 1. Diperoleh secara ilegal berdasarkan syara’, menyerupai memakan nasi dari hasil mencuri atau merampok. 2. Sesuatu yang najis, menyerupai bangkai dan kotoran. 3. Memabukkan, menyerupai narkoba dan minuman keras. 4. Membahayakan bagi badan manusia, menyerupai racun. 5. Buas, menyerupai harimau dan singa. 6. Menjijikkan, menyerupai sperma. Menurut pedoman Islam, mempertahankan hidup wajib hukumnya, sebagaimana dinyatakan dalam Al–Qur’an: "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kau menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. Albaqarah: 195) Oleh lantaran itu, dalam keadaan darurat, seseorang diperbolehkan bahkan diwajibkan memakan sesuatu yang diharamkan dalam keadaan normal untuk mempertahankan hidupnya. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih adh–dharar yuzâl (perkara yang negatif dihilangkan), yang mana bersumber pada hadits Rasulullah SAW Laa dharara walâ dhirâra. Jika dalam kondisi darurat, kita diperbolehkan mengkonsumsi makanan atau minuman yang semula diharamkan, bagaimana bila untuk kepentingan pengobatan menyerupai pada permasalahan mengkonsumsi semut Jepang? Kalau kita tengok pendapat madzhab Syafi’i, pengobatan dengan kasus najis sanggup diperbolehkan dengan syarat benar-benar mengetahui atau ada pemberitahuan dari andal medis yang berkompeten mengenai khasiat semut Jepang tersebut. Disyaratkan juga tidak ada obat lain yang sanggup menggantikan posisinya. Pendapat ini sanggup kita pakai kalau kita melihat begitu banyak fakta yang berhasil memakai semut Jepang sebagai solusi mudah penyembuhan penyakit gula, darah tinggi dan stroke, dan juga permasalahan ekonomi yang cukup memprihatinkan untuk melarikan pengobatan ke dokter seorang andal bagi masyarakat. Sehingga apabila tidak diobati dengan pengobatan alternatif ini terkadang hambatan penyakit semakin bertambah. Dengan kata lain apabila tidak diobati dengan kasus najis itu penyakit akan bertambah parah, bahkan dikhawatirkan sanggup merenggut nyawanya. Sementara itu, Imam Baghowi berpendapat, diperbolehkan apabila kasus najis tersebut mempunyai nilai tambah dalam penyembuhan dibanding kasus suci. Misalnya, pengobatan ini lebih mempercepat penyembuhan. Bahkan berdasarkan madzhab Maliki, pengobatan dengan serangga (termasuk semut) diperbolehkan secara mutlak asalkan tidak membahayakan. Sumber: tegalrejo.net