Tuntunan Wakaf

TUNTUNAN WAKAF SESUAI SUNNAH

Pada suatu hari salah satu sahabat Nabi Shalalhau alaihi wasalam yang  bernama  Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu tatkala mendengar ayat :
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kamu sekali-kali tidak hingga kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kau menafkahkan sebahagian harta yang kau cintai. [Ali Imran:92].
 Anas Radhiyallahu 'anhu  meriwayatkan :  Bahwa Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu tiba kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata,”Wahai, Rasulullah! Tuhan Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Kamu sekali-kali tidak hingga kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kau menafkahkan sebahagian harta yang kau cintai. [Ali Imran:92].
 Sesungguhnya harta yang paling saya cintai yaitu tanah bairoha..
 
Sungguh sekarang  tanah ini saya shadaqahkan untuk Tuhan Subhanahu wa Ta'ala. Aku berharap sorgaNya dan simpanannya di sisi Tuhan Subhanahu wa Ta'ala. Wahai, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Aturlah tanah ini sebagaimana Tuhan Ta'ala ajarkan kepadamu … [1]
Jika anda ingin mencontoh ia simak pembahasan berikut.. siapa tau harta kita sanggup dikirim di kampung ahirat yang abadi
DEFINISI WAKAF
Waqaf berdasarkan bahasa, berasal dari bahasa Arab الوقف bermakna الحبس , artinya:  MENAHAN [2]. 
Wakaf berdasarkan istilah Syariah yaitu :
“Menahan benda sedekah yang pokok dan memakai manfa’at atau alhasil untuk kepentingan sabilillah atau agama islam” [3]

DASAR HUKUM WAKAF
Ia merupakan Amalan yang dicintai Tuhan Ta’ala, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata :
أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا , فَتَصَدَّقَ عُمَرُ , أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ , فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ , لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

Umar Radhiyallahu 'anhu telah memperoleh kepingan tanah di Khaibar, kemudian ia tiba kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seraya berkata,”Aku telah mendapat kepingan tanah, yang belum pernah ku peroleh harta sebaik ini. Maka bagaimana menurtmu? Apa perintahmu padaku pada tanah ini?” Lalu Beliau menjawab:
”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan tanahnya) dan engkau shadaqahkan hasilnya,” kemudian Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan, tetapi diinfakkan alhasil untuk fuqara, kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk kepentingan di jalan Allah, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil. Orang yang mengurusinya, tidak mengapa apabila dia makan sebagian alhasil dengan kadar yang wajar, atau memberi makan temannya tanpa ingin memperkaya diri..[4]
Imam Nawawi berkata:
Hadits ini memperlihatkan dasar hukum disyari’atkannya wakaf. Dan inilah pendapat jumhurul ulama’, serta memperlihatkan kesepakatan kaum muslimin, bahwa mewakafkan masjid dan sumber mata air yaitu Sah [5].
Dalil dari hadits yang lain, Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata:
لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ الْمَدِينَةَ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَقَالَ يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا ؟ قَالُوا : لَا ,وَاللَّهِ لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ
Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, Beliau menyuruh supaya membangun masjid. Lalu Beliau berkata,”Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata,”Tidak dijual !!. Demi Allah, kami  TIDAK minta harganya, karena untuk Allah Ta’ala .[6]
Berdasarkan hadits di atas, maka telah jealas bahwa Bani Najjar mewakafkan tanah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam untuk dibangun masjid, dan wakaf termasuk amal jariyah (yang mengalir terus pahalanya).
Maka sanggup kita ambil kesimpulan bahwa aturan wakaf adalah mustahab( dianjurkan)

KEUTAMAAN WAKAF
Wakaf yaitu shadaqah yang sangat mulia. Tuhan menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang besar bagi pewakaf, lantaran shadaqah berupa wakaf ini akan tetap dan terus mengalir pahalanya, dan maslahatnya akan sanggup dipakai umat.
Adapun keutamaannya yaitu sebagai berikut:
Pertama : wakaf merupakan Amalan yang sangat berkhasiat bagi kebaikan umat, lantaran dengan adanya wakaf maka dakwah sanggup terfasilitasi , dan ahirnya syariah Tuhan Ta’ala sanggup disebarkan dengan gampang di muka bumi ini.  Dengan demikian tentunya pahala pewakaf sangatlah besar, lantaran setiap insan yang mendapat hidayah dengan akomodasi dari wakaf tersebut, si pewakaf akan mendapat pahala yang sangat besar disisi Tuhan Azza wajalla, sanggup dikatakan ibarat mendapat onta merah(harta yng tak tenilai besar harganya)
Kedua : pewakaf telah berbuat baik kepada orang yang membutuhkan proteksi tanpa takut habis harta wakaf tersebut, lantaran dia mensedekahkan harta yang akan tetap utuh barangnya dan hanya diambil manfaat atau hasilnya, kemudian pahala akan mengalir terus, sekalipun pewakaf sudah tidak sanggup bederma lagi lantaran kematian.   Misalnya wakaf untuk  fakir miskin, anak yatim, janda, atau untuk orang yang berjihad fi sabilillah, untuk pengajar dan penuntut ilmu, atau untuk pelayanan umum.

hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Apabila insan meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya. [7]
Syaikh Ali Bassam berkata: Adapun yang dimaksud dengan shadaqah dalam hadits ini ialah wakaf. Hadits ini menunjukkan, bahwa amal orang yang mati telah terputus. Dia tidak akan mendapat pahala dari Tuhan sesudah meninggal dunia, kecuali (dari) tiga masalah ini; lantaran tiga masalah ini termasuk usahanya.

RUKUN dan SYARAT WAKAF
Adapun rukun wakaf ada empat, yaitu Rukun yang telah disepakati oleh jumhurul ulama.[8].
1.       Orang yang wakaf.
2.       Benda yang diwakafkan.
3.       Orang yang diserahi wakaf.
4.       Akad wakaf.

Syarat Orang Yang Wakaf (Wakif)
1.       merdeka
2.       ia yaitu pemilik barang yang diwakafkan
3.       berakal
4.       baligh
5.       sehat akalnya
Dari A’isyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Tidak dicatat amal seoarang pada  tiga keadaan; orang yang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia baligh dan orang abnormal sehingga dia sadar[9].
Pewakaf juga tidak boleh memberi syarat yang haram atau membahayakan pada harta wakafnya tersebut.
Ibn Taimiyah berkata:
Orang yang wakaf terbagi menjadi dua; pewakaf yang sah dan yang batil berdasarkan kesepakan ulama. Maka, apabila pewakaf memperlihatkan syarat yang haram, maka syaratnya batil. Demikian berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak boleh taat kepada makhluq yang mengajak maksiat kepada Allah.[10]

Syarat Benda Wakaf
Ulama bersepakat, bahwa benda yang diwakafkan disyaratkan sebagai berikut:
1.       benda yang diwakafkan memiliki sifat  tetap utuh sekalipun diambil manfaatnya, walaupun barang itu tidak kekal
2.       benda tersebut merupakan milik orang yang wakaf.
3.       Benda tersebut bukan benda yang haram untuk dimanfaatkan
Demikian ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu yang menceritakan keadaan ayahnya berjulukan Umar Radhiyallahu 'anhu, yang mana telah mewakafkan tanah miliknya di Khaibar, sebagaimana hadits tersebut di atas.

Imam Syafi’i berkata:
Benda waqaf tidak sanggup disebut wakaf jikalau ia tidak mempunyai sifat  tetap utuh, yaitu tidak berkurang pribadi dikala  diambil manfaatnya. Oleh karenanya, tidak bisa dinamakan wakaf jikalau ia mewakafkan makanan, lantaran akan barang tersebut akan segera habis[11].

Syarat Yang Menerima Wakaf
Adapun syarat orang yang diserahi wakaf, adalah sebagai berikut:
1.       berakal
2.       baligh
3.       sehat akalnya
4.       Amanah
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Dan janganlah kau serahkan kepada orang-orang yang belum tepat akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Tuhan sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. [An Nisa’ : 5].

Ibn Taimiyah berkata : ”Ayat ini mengandung penjelasan, yaitu orang yang tak berakal tidak boleh membelanjakan atau mengatur dirinya atau mengatur orang lain, baik lantaran diserahi (sebagai wakil) atau mengatur; lantaran membelanjakan harta yang tidak bermanfaat bagi agama atau dunianya itu termasuk kebodohan yang paling besar, sehingga tidak boleh oleh Allah”[12].

Selanjutnya tidak boleh wakaf, melainkan kepada orang yang dikenal, contohnya ibarat anaknya, kerakabatnya, dan orang yang shalih lagi jujur, ibarat diserahkan untuk membangun masjid. Jika wakaf kepada orang yang tidak jelas, ibarat diserahkan sembarang orang laki-laki, atau orang perempuan, atau untuk maksiat, ibarat wakaf untuk gereja, kapel, maka tidak sah.[13]

IKRAR AQAD WAKAF
Ikrar wakaf sanggup berupa tiga hal yaitu:
Pertama : Perbuatan yang mengandung makna wakaf.
 Misalnya membangun masjid dan orang diizinkan shalat di dalamnya, membangun pendidikan Agama dan lainnya.

Kedua :  Dengan Perkataan,  hal ini ada dua macam
-          Dengan memakai kalimat yang jelas, ibarat وقفتُ (aku wakafkan) حبستُ (aku tahan pokoknya) atau سبلتُ ثمرَتها (aku pergunakan alhasil untuk fi sabilillah).
-          Dengan sindiran kata lain, contohnya ibarat تصدقت ُ (aku shadaqahkan hasilnya) حرمت ً (ku haramkan mengambil hasilnya) أبدت ُ (aku abadikannya). Contohnya, bila ada orang yang berkata ”saya sedekahkan rumahku ini, saya abadikan rumah ini, atau tidak saya jual rumah ini, dan saya tidak menghibahkannya”.

Ketiga :  Wasiat, misalnya, bila saya meninggal dunia, maka saya wakafkan rumah ini. Akad semacam ini dibolehkan, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, lantaran kalimat ini merupakan wasiat. [14]
Asalkan washiyat tersebut tidak lebih dari sepertiga harta miliknya, kecuali atas ridho pewarisnya.

SAKSI WAKAF
Pewakaf , sebaiknya mencari saksi untuk barang wakafnya, supaya dia tetap amanat dan sanggup menghindari dikala iman lemah untuk ia ambil lagi buat diri pribadinya atau orang lain yng mengambilnya tanpa hak.
Dan saksi hendaknya yaitu orang yang adil dan bakir balig cukup akal serta berakal.
Dalilnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari bn Abbas Radhiyallahu 'anhu bahwa Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu 'anhu, dikala ibunya meninggal dunia, dikala itu dia tidak ada. Lalu ia lapor kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dunia. Ketika itu saya tidak ada. Apakah sanggup bermanfaat kepadanya bila saya bershadaqah sebagai gantinya?” Beliau menjawab,”Ya,” maka Sa’ad berkata,”Sesungguhnya saya menimbulkan kau sebagai saksi, bahwa pekarangan yang banyak buahnya ini saya shadaqahkan untuk ibuku. [15]

Ibn Hajar berkata: Hadits di atas, bila dijadikan dasar adanya saksi wakaf itu belum jelas; lantaran boleh jadi, maksud hadits di atas yaitu pemberitahuan. Sedangkan Al Mulhib beralasan perlunya wakaf ada saksi, berdasarkan firmanNya:
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
Dan persaksikanlah apabila kau berjual beli. [16]
Al Mulhib berkata: Apabila orang berjual beli dianjurkan adanya saksi, padahal makna jual beli yaitu penukaran barang, maka wakaf dianjurkan adanya saksi itu lebih utama. [Lihat Fathul Bari, 5/391].
Maka  terlepas dari pembahasan hokum itu, bila kita ingin wakaf sebaiknya ada yang menyaksikannya, supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam.

STATUS HARTA WAKAF
Harta yang telah di wakafkan bukanlah milik pewakaf lagi ; lantaran hadits di atas menerangkan
أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ
Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwaris.
Abu Yusuf dan Muhamad berkata : Harta, bila diwakafkan tidaklah menjadi milik pewakaf lagi. Tetapi, dia hanya berhak menahan benda pokoknya, supaya tidak dimiliki orang lain. Oleh lantaran itu, bila pewakaf meninggal dunia, andal warisnya tidak mewarisi harta wakafnya[17].

Imam Syafi’i berkata : Tatakala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan pewakaf menahan pokok hartanya dan memanfaatkan hasilnya, memperlihatkan bahwa benda yang diwakafkan bukan milik pewakaf lagi. [18]

WAKAF BERKELOMPOK (iuran wakaf)
Wakaf boleh dengan berjama’ah. Misalnya, iuran membeli tanah untuk membangun masjid, pendidikan Islam dan lainnya.

Adapun dalilnya, Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pemilik kebun yang merupakan milik orang banyak:
يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا قَالُوا لَا وَاللَّهِ لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ
Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata,”Tidak kujual. Demi Allah, tidaklah kami jual tanah ini, kecuali untuk Allah[19].
Sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ”Wahai, Bani Najjar!” memperlihatkan bahwa wakaf sanggup dilakukan lebih dari satu orang.

PEWAKAF MENCABUT  atau MENGALIHKAN WAKAFNYA
Ulama’berbeda pendapat apabila pewakaf mencabut wakafnya.
Abdullah bin Ali Bassam berkata : Imam Abu Hanifah beropini bahwa harta wakaf boleh dijual dan dicabut. Pendapat ini yaitu keliru. Abu Yusuf berkata, jikalau Abu Hanifah mendengar hadits Umar (sebagaimana di atas), tentu dia akan mencabut perkataannya. Sedangkan Imam Qurthubi berpendapat, mencabut wakaf yaitu menyelisihi Ijma’. Kita tidak perlu memperhatikan pendapat yang membolehkannya. [20].
Kesimpulannya, berdasarkan asalnya, harta wakaf hukumnya tidak boleh dicabut kembali, kecuali bila tidak dimanfaatkan lagi, atau diabaikan amanatnya, maka boleh untuk dialihkan yang lebih bermanfaat dalam bentuk wakaf lain. Allahu a’lam.

MENUNDA PENYERAHAN HARTA WAKAF
Orang yang telah berikrar wakaf tetapi belum menyerahkannya, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkannya, dan ada yang tidak membolehkan.
Ibnu Hajar berkata[21] : Apabila ada orang wakaf, sedangkan barangnya belum diserahkan, (maka) hukumnya boleh dan sah wakafnya. Begitulah pendapat jumhur ulama’.
Sedangkan berdasarkan Imam Malik dan Imam Syafi’i  mereka berdua tidak membolehkannya dan mewajibkan untuk segera diserahkan kepada pengelola wakaf.
 Adapun alasan jumhur ulama’ yang  membolehkan hal tersebur, lantaran kedudukan wakaf ibarat memerdekakan budak, alasannya keduanya mempunyai kesamaan, yaitu milik Allah. Oleh lantaran itu, wakaf tersebut dianggap sah, sekalipun gres diucapkan dengan lisan.
Hal ini berbeda dengan HIBAH,  karena hibah harus segera diserahkan kepada yang diberi.

Terlepas dari pembahasan aturan boleh menunda penyerahan harta wakaf, maka sebaiknya harta wakaf itu segera diserahkan, kalau memang yang mengurusinya orang lain dan sanggup dipercaya, supaya selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan oleh pewakaf atau keluarganya pada kemudian hari. Karena nafsu insan selalu TAMAK pada harta hingga maut menjemput.


[1] HR Bukhari, Kitab Az Zakat, 1368
[2] Mu’jam Al Wasith (2/1051
[3] Lihat kitab Al Muhgni oleh Ibn Qudamah (8/184), Fiqhus Sunnah (3/377), Al Hidayah , Al Kafi , Al Talhish, Al Mustau’ib, Al Hawy Ash Shaghir. Lihat kitab Al Inshaf oleh Mardawi (7/3), Hasyiah Ibn Abidin (4/398), Subulus Salam (3/87). Almuyassar fil fiqh hlm.267 milik kementrian waqaf dan da’wah KSA
[4] HR Bukhari no. 2565, Muslim 3085
[5] Lihat Syarah Muslim, 11/86
[6] HR Bukhari
[7] [HR Muslim 3084].
[8] Lihat kitab Al Fiqhul Islami Waadillatihi, 8/159
[9] HR Abu Dawud, 4398; Ibn Majah, 2041; Bukhar, 6/169. Lihat Al Irwa’, 297
[10] HR Imam Ahmad, no. 1041. Lihat Majmu’ Fatawa, 31/49
[11] Lihat Fathul Bari, 5/403
[12] Lihat kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 31/33
[13] Lihat kitab Fiqhus Sunnah, 3/381; Al Mughni, 8/195 dan Fiqih Sunnah, 8/189
[14] [Lihat Al Mughni, 8/189; Al Mifsal Fi Ahkamil Mar’ah, 10/429; Fiqih Sunnah, 3/380. Lihat Fathul Bari, 5/403; Taisirul Allam, 2/132]
[15] HR Bukhari, 2551.
[16] Al Baqarah:282.
[17] Lihat kitab Al Mabsuth, 12/39
[18] Lihat Al Umm, Imam Syafi’i, kitab Athaya Wash Shadaqah Wal Habsi.
[19] HR Bukhari, kitab Al Washaya, no. 2564
[20] Lihat kitab Taisirul Allam, 2/252
[21] Lihat Fathul Bari, 5/384

Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com