Ramadhan

SEPUTAR HUKUM RAMADHAN

§  Keutamaan Bulan Ramadhan

Ramadhan yaitu bulan yang penuh kemuliaan, penuh dengan berkah, diliputi dengan ampunan  Tuhan Subhanahu wata’ala, bulan diturunkannya Al Qur’an.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan yang telah diturunkan di dalamnya Al Qur’an sebagai petunjuk bagi insan dan sebagai keterangan  dari ilmu dan pembeda”. (QS. Al Baqarah: 185).
Nabi  shalallahualaiwasallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ

Apabila tiba bulan Ramadhan akan dibuka pintu-pintu nirwana dan akan ditutup pintu-pintu neraka dan syaithan akan dibelenggu”. (Muttafaqun ‘Alaih).

Maksud dari hadits diatas adalah: Pintu nirwana akan dibuka dengan banyaknya amal shalih yang bisa dikerjakan, pintu neraka akan ditutup lantaran perbuatan maksiat menjadi sedikit dan syaithan dibelenggu yakni tidak bebas menarik hati insan sebagaimana pada bulan yang lain.
Dahulu kaum salaf berdo’a kepada Tuhan Subhanahu wata’ala selama enam bulan sebelumnya biar mereka dipertemukan dengan ramadhan, kemudian mereka berdo’a selama enam bulan sesudahnya biar Tuhan Subhanahu wata’ala mendapatkan amalan yang telah mereka kerjakan pada bulan ramadhan.
Ramadhan sebagai ladang bagi kita untuk beramal, sebagai sarana untuk membersihkan diri kita dari perbuatan dosa, apabila kita tidak beruntung pada bulan yang mulia ini maka kapan lagi kita akan beruntung?

§  Keutamaan Puasa

Puasa yang telah difardhukan oleh Tuhan Subhanahu wata’ala mempunyai banyak keutamaan, di antara keutamaannya yaitu sebagai berikut:
  1. Sesungguhnya Tuhan Subhanahu wata’ala telah mewajibkan ibadah puasa kepada seluruh umat untuk mengerjakannya.  Makara bukan hanya kita yang diperintahkan untuk berpuasa namun seluruh umat terdahulu juga telah diperintahkan  untuk berpuasa. Hal ini memperlihatkan akan keutamaannya.
  2. Puasa merupakan alasannya yaitu terhapusnya dosa dan kesalahan. Dengan syarat bila dikerjakan dengan benar dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah  shalallahu alaiwasalla.
  3. Pahala puasa tidak terikat dengan suatu hitungan bahkan seseorang yang berpuasa akan diberi pahala yang tidak terhitung.
  4. Bahwa puasa akan memperlihatkan syafa’at kepada orang yang mengerjakannya pada hari kiamat. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Abdulloh bin Umar Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah  shalallahualaiwasallambersabda :
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, يَقُوْلُ الصِّيَامُ : أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهْوَةَ فَشَفِّعْنِي فِيْهِ, وَيَقُوْلُ الْقُرْآنُ : مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيْهِ, قَالَ : فَيَشْفَعَانِ.
Puasa dan Al Qur’an keduanya akan memberi syafa’at kepada seseorang pada hari kiamat. Puasa akan berkata: Wahai Rabb-ku, saya telah menahannya dari makan, minum, dan syahwat, maka berikanlah syafa’at kepadaku untuknya. Dan Al Qur’an berkata: saya telah menghalanginya untuk tidur pada malam hari, maka berikanlah syafa’at kepadaku untuknya. Nabi bersabda: maka keduanya memperlihatkan syafa’at”.  (H.R. Ahmad, Thabrani dan Al Hakim, dia berkata: shahih berdasarkan syarat Muslim).


§  Hikmah Puasa

Allah Subhanahu wata’ala Maha Bijaksana, bisa dipastikan dikala Dia mewajibkan puasa, dibelakangnya terdapat pesan yang tersirat yang sangat mulia. Di antara pesan yang tersirat puasa tersebut yaitu :
  1. Puasa merupakan suatu ibadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Subhanahu wata’ala dengan meninggalkan hal-hal yang kita senangi berupa makan, minum, dan lainnya. Hal itu kita kerjakan semata-mata untuk memperoleh ridha Tuhan Subhanahu wata’ala dan mendapatkan kebahagiaan dengan surgaNya.
  2. Puasa merupakan alasannya yaitu untuk meraih derajat yang paling tinggi, yaitu takwa.
  3. Sesungguhnya orang yang kaya akan mengetahui betapa besar nikmat yang telah dikaruniakan Tuhan Subhanahu wata’ala kepadanya sehingga dia mengingat dan mencicipi apa yang biasa dirasakan oleh saudaranya yang miskin yang tidak mempunyai sebagaimana yang dia miliki berupa makanan, minuman, dan kenikmatan lainnya.
  4. Melatih diri kita untuk mengekang jiwa  sehingga bisa mengarahkannya kepada perbuatan yang baik dalam rangka meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

§  Hukum Puasa

Puasa ramadhan hukumnya yaitu fardhu, yang diwajibkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian mudah-mudahan kalian bertakwa”. (QS. Al Baqarah: 183).

Nabi  shalallahualaiwasallambersabda:
بُنِيَ اْلإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَ ةِ ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ الْبَيْتِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Agama Islam itu dibangun di atas lima perkara: syahadat laa ilaha illalla wa anna muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji ke baitullah, dan puasa ramadhan”. (Muttafaqun ‘Alaih).
Seluruh kaum muslimin telah setuju akan diwajibkannya puasa ramadhan dengan komitmen yang sudah pasti. Barangsiapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir, sehingga diwajibkan untuk bertaubat.
Puasa difardhukan pada tahun kedua sehabis hijrah, dahulu Rasulullah  shalallahualaiwasallamberpuasa selama sembilan kali ramadhan.
Pertama kali puasa diwajibkan melalui dua tahapan Tahap pertama: dipersilahkan untuk menentukan antara puasa atau membayar fidyah, namun lebih utama apabila mengerjakan puasa. Tahap kedua: diwajibkan puasa tanpa adanya pilihan dan hal inilah yang berlaku sampai hari kiamat.

§  Kapan Masuk Bulan Ramadhan?

 Masuknya bulan ramadhan ditetapkan dengan satu dari dua hal.
Pertama: Dengan terlihatnya hilal (bulan sabit). Tuhan Subhanahu wata’ala  berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Maka barangsiapa di antara kalian yang melihat bulan, maka hendaklah dia berpuasa”. (QS. Al Baqarah: 185).
Nabi  shalallahualaiwasallam bersabda: 
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوا
Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah”. (Muttafaqun ‘Alaih).
Tidak semua orang disyaratkan untuk melihat hilal, namun cukup dengan persaksian satu orang yang adil (bukan orang yang fasik), lagi terpercaya di dalam beritanya. Jika seseorang telah melihat hilal bulan ramadhan maka wajib baginya untuk berpuasa dan wajib baginya untuk memberikan kepada penguasa dan bersaksi bahwa dia benar-benar telah melihatnya.
Kedua: Dengan menggenapkan hitungan bulan sya’ban menjadi tigapuluh hari. Jika sore hari tanggal 29 sya’ban belum terlihat hilal, maka digenapkan hitungan sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Nabi  shalallahualaiwasallambersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوْا ثَلاَثِيْنَ

Berpuasalah dikala kalian melihat hilal, dan berbukalah dikala kalian melihatnya, bila hilal tertutup atas kalian maka genapkanlah (bulan sya’ban)  tiga puluh hari”.
(HR. Muslim).
Oleh lantaran itu,  bila hilal tidak terlihat lantaran tertutup mendung atau selainnya maka kita tidak boleh untuk berpuasa pada hari ke tiga puluh dari bulan sya’ban  lantaran dia yaitu hari yang terdapat keragu-raguan. Sahabat ‘Ammar Bin Yasir radhiallhu’anhu berkata:
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِيْ يُشَكُّ فِيْهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم .
Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang terdapat keraguan di dalamnya maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Rasulullah)”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i).

§  Syarat-Syarat Puasa

Puasa diwajibkan dengan lima syarat, yaitu:  muslim, berakal, baligh, mukim, dan terbebas dari udzur.

§  Kelompok Orang yang Berpuasa

Saudaraku seiman, marilah kita membahas golongan kaum muslimin di dalam hal puasa, sehingga kita mengetahui termasuk golongan yang manakah kita?
Pertama: Orang yang terpenuhi seluruh syarat yang lima, yakni: seorang muslim yang baligh, berakal, dan mukim, serta tidak mempunyai udzur. Maka wajib baginya berpuasa dan dia berdosa bila tidak mengerjakannya.
Kedua: Seorang anak kecil, maka tidak wajib baginya berpuasa sehingga dia baligh. Nabi bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّغِيْرِ  حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ

Pena telah diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur sehingga dia terjaga, dari anak kecil sehingga dia besar, dan dari orang yang absurd sehingga dia sadar”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i).
Seorang anak kecil diketahui menjadi baligh dengan salah satu di antara tiga hal :
  1. Keluarnya air mani dengan bermimpi atau yang lainnya.
  2. Tumbuhnya bulu kemaluan.
  3. Apabila usianya telah genap 15 tahun.
Khusus bagi seorang perempuan ditambahkan dengan keluarnya darah haidh.
Jika sudah terlihat salah satu di antara tiga hal tersebut bagi lelaki atau satu dari empat hal bagi perempuan maka dia sudah dikatakan sebagai orang yang baligh sehingga wajib baginya untuk berpuasa.
Ketiga: Orang yang kehilangan akalnya, absurd atau sakit jiwa, tidak wajib baginya berpuasa lantaran mereka tidak mempunyai niat. Dan setiap ibadah harus dilandasi dengan niat.
Kempat: Orang jompo dan orang sakit yang tidak diperlukan untuk sembuh, ibarat orang yang mengidap penyakit menahun, kanker, dan semisalnya. Tidak wajib baginya berpuasa lantaran tidak bisa untuk mengerjakannya namun wajib baginya untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada seorang miskin dari setiap hari yang dia tinggalkan.
Kelima: Seorang musafir, diperbolehkan untuk tidak berpuasa bila safar tersebut memberatkan dirinya dengan syarat dia tidak berniat dengan safarnya itu untuk tidak berpuasa, bila niat safarnya hanya untuk berbuka maka haram baginya untuk tidak berpuasa.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan maka wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Tuhan menghendaki untuk kalian akomodasi dan tidak menghendaki kesulitan”. (QS. Al Baqarah: 185).
Kenam: Orang sakit yang diperlukan untuk segera sembuh. Jika puasa sama sekali tidak memberatkan dirinya, maka wajib baginya untuk tetap berpuasa lantaran dia tidak mempunyai udzur untuk meninggalkannya. Namun bila puasa tersebut ternyata memberatkan bahkan bisa membahayakan dirinya, dikala itu tidak boleh baginya untuk berpuasa dan hendaknya dia berbuka, kemudian mengqadha’ pada hari yang lain.
Ketujuh: Wanita yang mengalami haidh dan nifas. Tidak boleh bagi keduanya untuk berpuasa, dan wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain.
Kedelapan: Seorang perempuan yang hamil dan menyusui, bila khawatir terhadap dirinya atau anaknya maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan mengganti hari-hari yang ditinggalkannya sehabis bulan ramadhan atau hanya fidyah saja.
Kesembilan: Orang yang memerlukan untuk berbuka dengan tujuan untuk menolong orang lain yang membutuhkan proteksi ibarat menyelamatkan seseorang yang terkena musibah, kebakaran, ataupun tenggelam. Maka boleh baginya untuk berbuka demi mashlahat saudaranya, kemudian mengqadha’ pada hari yang lain.
Wallahu A’lam bish shawab.






Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com