Konsep Perseroan Syariah

Hukum Perseroan
Sesuai Syariah

Oleh : Nurcholis Majid Ahmad, Lc

Seiring dengan perkembangan peradaban insan yang ditandai dengan berkembangannya sains dan teknologi, perkembangan kegiatan ekonomi dengan bermacam-macam bentuk dan macamnya turut mewarnai perkembangan dunia bisnis. Bentuk-bentuk transaksi bisnis dan kegiatan ekonomi berkembang cepat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.
Transaksi bisnis kontemporer yang berkembang tidak hanya dilakukan oleh perorangan, namun juga oleh aneka macam kelompok perjuangan yang bergabung dalam tubuh aturan perjuangan (syirkah) tertentu,  seperti Perseroan Terbatas, CV, Firma, Koperasi dan sebagainya. Berbagai tubuh aturan inilah yang mewarnai ragam perusahaan yang ada sekarang. 


 Melihat begitu beragamnya transaksi bisnis serta organisasi atau kelompok perjuangan yang mengelola transaksi bisnis tersebut, maka yaitu suatu keharusan bagi kaum Muslimin untuk mengkaji bagaimana bentuk transaksi bisnis dan tubuh aturan berdasarkan sisi Syari'at Islam ?  Hal ini penting mengingat kegiatan seorang Muslim harus selalu terikat dengan aturan Yang Mahakuasa SWT sebagai wujud bukti keimanannya dan dalam rangka menyiapkan kehidupannya di darul abadi . Pengkajian ini juga penting untuk melihat sejauh mana peranan Syariat Islam dalam menjawab perkembangan zaman khususnya perkembangan transaksi bisnis.
Dalam dunia bisnis, jikalau seseorang mempunyai modal dan  kemampuan perjuangan maka orang tersebut kemungkinan besar akan menyebarkan uangnya sendiri. Namun bila tidak, maka ia bisa bekerja sama dengan orang lain yang bisa berusaha. Dan jikalau modalnya kurang, ia bisa berafiliasi dengan orang lain lagi untuk menambah modal. Sementara orang yang punya keahlian atau kemampuan serta kesempatan untuk berusaha,tapi tidak mempunyai dana; atau kemampuan yang dimilikinya masih kurang, maka ia bisa berafiliasi dengan orang lain yang mempunyai dana atau keahlian. Inilah kerjasama (syirkah), baik menyangkut keahlian maupun dana, dalam berusaha meraih atau menyebarkan harta.
Bentuk-bentuk kerjasama dan tata caranya, diatur dalam belahan syirkah. Dalam beberapa literatur kita ketahui bahwa bentuk perseroan (syirkah)  itu ada aneka macam macam. Pada makalah ini, akan  kami coba sajikan secara umum bagaimana bentuk-bentuk perseroan (syirkah) berdasarkan Islam. Hal ini penting supaya kita sanggup menilai bagaimana kedudukan tubuh aturan perjuangan (perseroan) yang ada selama ini. Apakah sesuai dengan prinsip-prinsip perseroan di dalam Islam atau tidak ? Jika telah sesuai maka tentunya kita sanggup memanfaatkannya dalam kegiatan bisnis. Jika tidak sesuai, apa yang harus kita lakukan ? Apakah kita menghindarinya ? atau kita lakukan perubahan supaya sesuai dengan prinsip-prinsip perseroan dalam Islam?


Defenisi dan Dasar Hukum Perseroan (Syirkah) dalam Islam

Syirkah dari segi bahasa yaitu ( al ikhtilath) yaitu penggabungan dua harta atau lebih menjadi satu belahan utuh[1]. Sedang berdasarkan Istilah syari’, makna syirkah  adalah hak kepemilikan suatu hal (yaitu kerjasama dalam perjuangan atau sekedar kepemilikan suatu benda) oleh dua orang atau lebih sesuai prosentase tertentu[2].
Hukum melaksanakan syirkah yaitu mubah, dengan dalil dari Quran dan As sunnah serta Ijma’

Dasar dari Alqur’an adalh Firman Yang Mahakuasa Ta’ala
{فهم شركاء في الثلث} [النساء:12/4]
“maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”[3]
Dalam ayat tersebut Yang Mahakuasa taala menandakan bahwa saudara seibu jikalau lebih dari satu maka mereka bersekutu dalam kepemilikan sepertiga harta warisan (pen-dengan syarat syarat yang telah ditentukan)
Adapaun dasar dari Sunnah
Dalam syirkah ada  keberkahan dari Yang Mahakuasa Ta’ala dalam bentuk derma dan akomodasi dalam menjalankan perjuangan selama tidak terjadi penghianatan
ففي الحديث القدسي فيما يروى عن أبي هريرة رفعه إلى النبي صلّى الله عليه وسلم قال: إن الله عز وجل يقول: «أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه، فإذا خانه خرجت من بينهما» رواه أبو داود
Dalam hadit qudsi , sebagaimana yang diriwayatkan oleh bubuk haurairoh dari Rasulullah Shalallhu alaihi wasalam bersabda: bersama-sama Yang Mahakuasa azza wajala berkata : "Aku yaitu pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melaksanakan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada peseronya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi)" [4]

Syirkah bisa dilakukan sesama muslim, dan juga bersama orang kafir
عن عبد الله بن عمر أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- عامل أهل خيبر بشطر ما خرج منها من زرع أو ثمر  . رواه مسلم و أبو داود
"Rasulullah telah mempekerjakan penduduk Khaibar (orang-orang
Yahudi) dengan mendapat belahan dari hasil panen tanaman dan buah." [5]
Dalil ketiga yaitu ijma’ yaikni ulama’ kaum muslimin telah bersepakat perihal diperbolehkannya syrirkah(perseroan), namun mereka berikhtilaf dalam beberapa macam jenis syirkah[6].


Macam-Macam Syirkah
Syirkah berdasarkan jumhur ulama’ dibagi menjadi dua jenis yaitu Syirkatul amlak dan Syirkatul Uqud.

1.Syirkatul Amlak yaitu kepemilikan barang secara kolektif. Yakni kepemilikan suatu barang yang terdiri dari dua orang atau lebih
Dalam syikah amlak ada dua macambentuk  yaitu:[7]
1.     Syirkah Ikhtiyar ; yaitu suatu persyarikatan dalam kepemilikan barang yang terjadi atas perbuatan dua orang atu lebih, sebagai contoh; ada dua orang atau lebih yang berpatungan membeli suatatu barang tertentu, maka kepemilikan tersebut sesuai prosentase modal. Atau juga teladan lain misalkan; ada dua orang yang diberi wasiat atau hadiah sebuah barang, kemudian mereka terima, maka kedua orang tersebut mempunyai belahan dari harta maupun barang tersebut. Syirkah ini dinamakan ikhtiyar lantaran setiap pihak mempunyai pilihan dalam memilih kepemilikan perseroan.
2.      Syirkah Jabr ; yaitu suatu persyarikatan dalam mempunyai sebuah barang tanpa ada perjuangan dari semua pihak, sebagimana dalam harta warisan yang didapat jikalau ada dua pewaris atau lebih
Maka aturan dua macam syarikat ini adalah: tidak diperbolehkan salah satu pihak peseroan untuk menggunkan atau memanfaatkan barang tersebut tanpa idzin dari semua pihak yang terkait dalam persyarikatan[8].


2. Syirkatul uqud.
Syirkatul Uqud yaitu suatu aqad diantara dua orang atau lebih, yang bersepakat untuk bersyarikat dalam modal atau melaksanakan kerjasama perjuangan dengan tujuan mencari keuntungan[9].
          Dari pengertian Syirkatul Uqud diatas dan dengan melihat aneka macam macam bentuk kerjasama perjuangan perseroan (syirkah), maka berdasarkan syariah islam bahwa perseroan ini sanggup dikelompokkan menjadi beberapa klompok.yaitu : syirkah bil Amwal (perseroan dalam modal), syirkah bil A’mal (perseroan dalam pekerjaan), syirkah wujuh (perseroan dalam hal kedudukan)
Untuk lebih jelasnya mari kita simak keterangan dibawah ini

1.     Syirkah Bil Amwal(perseroan dalam modal)
Perseroan ini bertumpu pada modal bersama untuk melaksanakan sebuah perjuangan guna menghasilkan keuntungan. Syirkah semacam ini ada dua bentuk yaitu:
A.   Syirkatul Inan
Syirkah Inan yaitu syirkah antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing
membawa dana sebagai modal dan keahlian (badan) masing-masing dalam sebuah perjuangan Modal utama dalam perjuangan ini yaitu uang dan tenaga/ keahlian.jenis syirkah ini merupakan syirkah yang disepakati ulama perihal keabsahan hukumnya.
Dalam syirkah ini bila terdapat barang sebagai modal yang disertakan, maka  harus lebih dulu dihitung nilainya sebelum aqad syirkah berlangsung. Modal atau barang modal dari aneka macam pihak yang bersyirkah tidak harus sama jumlahnya atau sama nilainya, Syirkah Inan dibangun diatas prinsip wakalah (perwakilan) dan amanah (kepercayaan). Karena masing-masing syarik (pesero) telah menawarkan kepercayaan dan izin untuk mengelola dana dalam perjuangan yang disepakati tersebut. Bila telah berlangsung aqad, masing-masing pihak yang bersyarikat (syarik) harus terjun langsung, lantaran syirkah ini melibatkan tubuh (diri) mereka. Maka dilarang seorang syarik mewakilkan pada orang lain. Akan tetapi diperbolehkan atas janji semua pihak untuk menggaji seseorang untuk mengelola perjuangan itu sebagai ajiir (pegawai) perusahaan, bukan pegawai salah seorang syarik.
Pembagian keuntungan tergantung kesepakatan.
bukan atas tubuh lantaran tubuh tidak menanggung kerugian harta selain kerugian tenaga yang telah dikeluarkan. Bila nilai uang yang disetor sama, kerugian ditanggung bersama secara merata. Hal ini sesuai kaidah fiqhiyah
قاعدة: «الربح على ما شرطا، والوضيعة على قدر المالين»
"Laba itu tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama_Sedang kerugian ditanggung masing masing pihak berdasarkan nilai modal (uang)[10]


B.   Syirkatul Mufawadhoh
Perseroan ini secara bahasa yaitu Al Musawah; yaitu persamaan. Dinamakan demikian lantaran persyerikatan ini harus sama dalam modal, keuntungan, kerugian dan tenaga/ keahlian. Adapun syirkah mufawadhoh artinya yaitu ; ada dua orang atau lebih yang bersyirkah untuk perjuangan bersama dengan syarat untuk setiap persero mengeluarkan modal, tenaga/ keahlian serta agama yang sama dan kemudian keuntungan maupun kerugian dibagi dengan sama pula. Jenis syirkah ini berdasarkan Hanafiyah dan Zaidiyyah bahwa setiap syarik (persero) dan melaksanakan keputusan / kebijakan sesuai kebutuhan tanpa harus meminta pertimbangan pihak pesero lainnya. Adapun berdasarkan malikiyah hal semacam ini disebut syirkatul inan. Sedangkan malikiyah menawarkan syarat untuk syirkah mufawadhoh bahwa tashoruf kebijakan yang diambil setiap persero harus seizin pihak syarik lainnya.
Maka Imam Syafii menyikapi pendapat hanafiyyah dan zaidiyah bahwa setiap syarik boleh mengambil kebijakan dalam modal bersama tanpa seizin syariknya dengan berkata:
«إن لم تكن شركة المفاوضة باطلة، فلا باطل أعرفه في الدنيا»
Jika Syirkah Mufawadhoh (yang menyerupai ini) tidak Bathil, maka tidak ada hal bathil lagi yang ku ketahui didunia
Adapun ulama’ hanabilah memandang syirkah mufawadhoh  yang berarti persamaan dalam modal, kerja, perwakilan, untung dan  rugi yaitu diperbolehkan[11]

Yang rojih -Wallahu a’alam- yaitu pendapat jumhur yaitu dalam syirkah mufawadoh setiap syarik harus meninta pendapat dan keridoan bersama syarik yang lain dalam thasoruf mal / kebijakan dalam bisnisnya supaya tidak ada ghoror dan jahalah (penipuan)[12]

2.     Syirkah bil A’maal / Abdan (persyarikatan pada tenaga/ keahlian)
Syirkah ini berpijakan pada badan(tenaga) atau keahlian dalam perjuangan sebagai modal utama. Misalnya dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam jasa memanen padi atau mengangkat sebuah barang atau menciptakan perkakas rumah tangga dsb… . Dalam hal ini berdasarkan jumhur ulama tidak disyaratkan kepada setiap persero untuk sepadan dalam tenaga maupun keahlian. Adapun keuntungan maka dibagi sesuai janji bersama. Hal ini sah berdasarkan jumhur ulama walaupun kemampuan masing masing persero tidak sama. Ulama’ yang membolehkan yaitu dari kalangan hanafiyyah malikiyah, hanabilah serta zaidiyyah[13]. Dalil mereka adalah

قال ابن مسعود: «اشتركت أنا وعمار وسعد يوم بدر، فأصاب سعد أسيرين. ولم أصب أنا وعمار شيئاً، فلم ينكر النبي صلّى الله عليه وسلم علينا»
Berkata Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu: “aku bersyerikat dengan Ammar dan sa’ad di perang badar (atas hasil rampasan), maka sa’ad berhasil menawan  dua tawanan sedangkan saya dan ammar tidak mendapat sesuatupun(maka kami bagi bertiga), dan Nabi shalallahu alaihi wasalam tidak mengingkari perbuatan kami[14].
Menurut ibnu taymiyyah hadis ini merupkan hujah untuk syirkatul abdan[15]
Sedangkan berdasarkan syafiiyyah, Imamiyyah, dan zufar ; bahwa syirkatul abdan ini hukumnya bathil dikarenakan modal tenaga atau keahlian itu tidak sanggup diukur secara niscaya kadarnya, beda halnya dengan harta yang mempunyai kejelasan dan gampang utuk ditentukan prosentase modal dari kedua pihak. Maka disitu terdapat ghoror (penipuan)[16] .
Yang rojih – wallahu A’lam- yaitu pendapat Jumhur, yang mana ghoror dengan alasannya yaitu jahalah (ketidak jelasan modal tenaga)tersebut sangat tipis sehingga tidak menghipnotis hukum. Dan juga lantaran jumhur memandang jahalah yang tipis itu akan diatasi dengan Syarat syarat yang disepakati bersama.

المسلمون على شروطهم
“Kaum Muslimin berpegangan dengan syarat yang telah mereka tentukan”

3.     Syirkatul wujuh (persyerikatan dalam hal kedudukan)

Syirkah Wujuh yaitu syirkah antara dua orang atau lebih dengan modal meminjam dari pihak luar dikarenakan kedudukan mereka dimasyarat serta kepercayaan orang yang dipinjam hartanya.
Artinya, dengan kedudukan itu para pesero memperoleh pinjaman lunak berupa barang sebagai modal untuk dijual kontan kepada konsumen, sehingga dalam syirkah ini tidak ada modal harta, namun hanya saja mengandalkan kepercayaan dan kedudukan para persero sebagai modal utama.
Syirkah semacam ini dibolehkan oleh kalangan ulama’ Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyyah dengan dalil bahwa itu merupakan Syirkah Tadhomun (penanggungan) wa  Taukil (perwakilan) yaitu setiap persero dan mengkalim barang yang ia tanggung dari hasil pinjaman tersebut dan juga sanggup mewakilkan  kepada syariknya untuk melaksanakan pembelian dan penjualan, Alasan lain yaitu perbuatan ini telah usang dilakukan kaum muslimin  dari masa kemasa dan tidak terdengar satupun ulama’ yang melarangnya. Ringkas kata bahwa hasil janji dari  para syarik merupakan suatu bentuk amal(tenaga) dalam perjuangan bersama. Sehingga berdasarkan mereka hal yang demikian diperbolehkan[17].
Pendapat kedua yaitu mendapat ulama’ dari kalangan malikiyyah, syafiiyah, dhohiriyyah, Imamiyah, dan juga bubuk Tsaur; yaitu mereka menyampaikan bahwa Syirkatul wujuh yaitu bathil dikarenakan berdasarkan mereka  bahwa syirkah terdapat pada harta dan tenaga (badan) sehingga mereka menilai bahwa syirkatul wujuh bukan salah satu dari kedua hal tersebut.[18]
Maka atas dasar pendapat pertama diatas sanggup kita simpulkan bahwa syirkatul wujuh akan menghasilkan kejelasan  belahan yang dimiliki oleh setiap persero dari sebuah barang hutangan tersebut(sebagai modal). sehingga keuntungan atau kerugian akan dibagi sesuai prosentase belahan yang mereka Tanggung bila terjadi kerugian. Ini semua dikarenakan setiap persero sebagi dhomin (penanggung) dari belahan yang telah disepakati[19]



4.     Syirkah Mudharabah
Syirkah Mudharabah disebut juga qiradh.  Dan ini yaitu adonan dari syirkatul amwal dari salah satu pihak dan syirkatul abdan dari pihak kedua. Sebagi teladan yaitu syirkah antara dua orang atau lebih, dimana yang satu pihak membawa harta/modal (syarik al-mal) sedang yang lain membawa tubuh (tenaga, keahlian, pemikiran)-nya sebagai syarik al-badn atau mudharib. Dengan kata lain, syarik al-mal memberikan harta kepada syarik al-badn sebagai modal usaha. Syirkah menyerupai ini mubah hukumnya. Abbas bin Abdul Muthalib pernah menawarkan modal mudlarabah, dan dia menawarkan syarat-syarat tertentu kepada pengelola, kemudian hal itu hingga kepada Nabi. Dan dia membenarkan. Ijma' shahabat juga membenarkan syirkah semacam ini. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah menawarkan harta kepada anak yatim dengan cara mudharabah. Kemudian Umar meminta belahan dari harta tersebut, kemudian dia mendapat (bagian). Kemudian belahan tadi dibagikan kepadanya oleh al-Fadlal. Keuntungan dalam syirkah mudharabah dibagi sesuai kesepakatan. Sedang kerugian dibagi sesuai ketentuan syara'. Yakni syarik al-mal menanggung kerugian harta (modal usaha), sementara syarik al-badn menanggung kerugian waktu, tenaga, keahlian dan anutan yang telah dicurahkan dalam perjuangan tersebut tanpa memperoleh hasil apa-apa. Syirkah ini statusnya sama dengan aqad wakalah (perwakilan), dimana orang yang menjadi wakil tidak bisa menanggung kerugian yang timbul. Kerugian sepenuhnya ditanggung oleh yang mewakilkan, sepanjang kerugian itu terjadi sebagai sesuatu yang memang harus terjadi. Bukan lantaran kesengajaan atau kecerobohan syarik al-badn.
Modal atau dana dalam syirkah mudharabah harus diserahkan syarik al-mal sepenuhnya kepada syarik al-badn. Aqad syirkah dibentuk atas dasar kepercayaan dan amanah. Maka syarik al-mal harus mempercayakan sepenuhnya kepada syarik al-badn dalam mengelola perjuangan tersebut sesuai batasan-batasan yang telah ditentukan atau disepakati dikala aqad itu dibuat.. Termasuk dalam pengertian syirkah mudharabah, bila terdapat dua orang atau lebih syarik al-mal, lantas bersepakat mereka untuk menyerahkan pengelolaan perjuangan tersebut kepada salah seorang dari mereka dengan batasan dan ketentuan yang disepakati. Dengan demikian akan ada satu pihak yang menjadi syarik al-mal sekaligus sebagai mudharib atau syarik al-badn.



Prinsip-Prinsip Pokok Syirkah
Dengan memperhatikan aneka macam macam bentuk syirkah di dalam Islam, makaterdapat prinsip-prinsip penting yang harus selalu ada :
1. untuk jenis Syirkah amwal maka modal harus kontan dan dilarang dihutang atau dalam kondisi tidak ditempat( ghoib) lantaran tujuan syirkah ini yaitu dalam rangka mencari keuntungan dengan usaha, maka tentu hal tersebut tidak akan terjadi jikalau modal belum diberikan[20]. Dan memungkinkan terjadinya sengketa bila modal masih dihutang / belum diserahkan pekerja sedangkan ia telah mengerahkan tenaga dan fikiran dalam suatu bisnis.
2. Pembentukan dan pengembangan Syirkah harus sepersetujuan seluruh pihak yang terlibat. Jika sebuah syirkah telah terbentuk dan ada pihak lain yang ingin bergabung ke dalam syirkah tersebut, maka masuknya orang gres haruslah sepersetujuan anggota syirkah yang lama.
3. Penghentian Syirkah. Syirkah berdiri atas dasar kerelaan (ridha), kepercayaan dan amanah. Sebagaimana aqad dalam duduk perkara lain, aqad syirkah bisa dibubarkan bilasalah satu pihak membatalkan aqad. Atau lantaran salah satu pihak meninggal atau gila. Bila salah seorang syarik meninggal, hebat warisnya yang telah remaja bisa melanjutkan syirkah tersebut ini berdasarkan pendapat hanafiyah.
Bila salah satu dari dua orang yang bersyirkah menghendakipembubaran, pihak lain harus memenuhi undangan itu. Tapi bila banyak orangbersyirkah, salah seorang meminta pembubaran, sementara yang lain tidak, makasyirkah dibubarkan lebih dulu kemudian diperbarui diantara syarik yang masing ingin terus bekerjasama. Dalam syirkah mudharabah, bila mudharib (syarik al-badn) menghendaki penjualan supaya didapat keuntungan, sedang yang lain tidak, maka impian mudharib harus dipenuhi lantaran keuntungan yaitu haknya, sedang untuk mendapatkannya harus dilakukan penjualan terlebih dulu.
5.     Pembagian Keuntungan dan Tanggungan Kerugian.
Keuntungan yang diperoleh haruslah dibagi sesuai dengan janji yang ada diawal aqad sesuai dengan prosentase yang disepakati dan harus terperinci disebutkan dalam aqad, supaya tidak terjadi penipuan dan pesengketaan dikemudian hari. Keuntungan yang dimaksud yaitu keuntungan higienis perjuangan sesudah dikeluarkan seluruh biaya operasional usaha. Sedangkan kerugian perjuangan ditanggung berdasarkan besarnya modal yang disetorkan.Meenurut kaidahnya adalah:
قاعدة: «الربح على ما شرطا، والوضيعة على قدر المالين»

Laba itu tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama Sedang kerugian ditanggung masing masing pihak berdasarkan nilai modal (uang)[21]

Dengan kita mengkaji bagaimana Syariat Islam mengatur syirkah, maka kita dapat
menilai bahwa pembentukan syirkah (perseroan) dengan model sistem kapitalis yaitu dengan mementingkan keuntuan pemilik modal belaka merupakan suatu hal yang bertentangan dengan Syariat Islam sehingga harus dilakukan perbaikan atu perubahan supaya sesuai dengan syariat yang Yang Mahakuasa ta’ala turunkan. Wallahu A’lam Bissowab

 Referensi
1.     Al Qura’an Al karim
2.     Shohih Muslim syarh imam nawawi. Cetakan ke empat, tahun 1422 H/ 2001 M, penerbit Darul Hadits, Mesir
3.     Sunan Abu Dawud, Karya Abu dawud sulaiman As Sijistani, tahqiq : Muhammad Nasiruddin Al Albani, cetakan kedua, tahun 1427 H/ 2007 M, penerbit Maktabah Al Maarif, Riyadl- KSA
4.     Sunan Nasai’ Al Mujtaba minas Sunan, Ahmad bin Syuain An Nasai’, tahqiq : Abdul Fattah Ghudh, cetakan kedua, tahun 1406 H, penerbit Maktabah Islamiyah
5.     Al Mabsut, As Sarkhosi, cetakan kedua, penerbit Matbaah As Sa’adah, Mesir
6.     Al Badai’ As Shonai’, Abu bakar Mas’ud bin Ahmad Al Kasani, cetakan pertama , tahun 1338H, Penerbit Al Jamaliyah, Mesir
7.     Hasiyah Roddul Muhtar li ibnu Abidin ala daril muhtar, Al Hashfaki, tahun 1966M penerbit Al Baaby Al Halaby, Mesir
8.     Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid , Ibnu Rusd Al Hafiid, penerbit Al Istiqomah , mesir.
9.     Mugni Al Muhtaj Ila Ma’rifati Maani Alfadz Al Minhaj, Al khotib As Syarbiini, penerbit Al Baaby Al Halaby, Mesir
10.                        Al Mugni, ibnu Qudamah Al Maqdisi, Cetakan ke tiga, penerbit Dar Al Manaroh, Mesir
11.                        Al Fiqhu Al islamy Wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Azzuhaily, cetakan kedua , Tahun 1405H/ 1985M, penerbit : Darul Fikr , Damaskus


[1] Fathul qodir 5/2
[2] Mugni Muhtaj 2/211
[3] QS. An Nisa’: 12
[4] Hadits ini dicacatkan oleh ibnu qothon dengan adanya rowi majhululhal benama said bin hibban adapun ibnu hibbab memasukannya dalam daftar  tsiqot. Adapun Al Albani mendhoifkan hadits tersebut dalam ta’liq sunan bubuk dawud halm.609 hadits no.  3383 , ibnu hajar menyebutkan hadits tersebut dalam bulugul marom kitabusyirkah< walaupun disana alhakim menyatakan hasan hadits tersebut.
Hadist  serupa diriwatkan oleh bubuk qosim al ashbahani dalam targhib wa tarhib. Lihat nailul author 5/264
[5] HR. Muslim 5/ 1551 Abu dawud No.3406 belahan musaqoh hadits ini dishohihkan oleh Al Albani.
[6] Al mugni 5/1
[7] Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu 4/793
[8] Al Badai’ As Shonai’ 6/65  Al mabsut 11/151,
[9] Al Fiqh ala madzahib Arba’ 3/83
[10] Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu 4/797
[11] Al Mugni 5/26
[12] Lihat Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu 4/799-802
[13] Badai’ shonai’ 6/57. Fathul qodir 5/28,  al mabsuth 11/154-155, roddul mukhtar 3/380, al mugni 5/3, bidayatul mujtahid 2/252
[14] HR. Abu Dawud dan nasai’  no. 4697. dari hadis bubuk ubaidah dari Abdullah bin masud. Hadits ini dilemahkan oleh Nashiruddin Al Albani dalam ta’liq sunan nasai’
[15] Lihat nailul Awthor 5/265
[16]  Lihat Fathul qodir 5/31 dan Mugni Muhtaj 2/212
[17] Ghoyatul Muntaha 2/180 Al Mugni 5/12 Al Badai’ As Shonai’ 6/57 Fathul Qodir 5/30 Al Mabsut 11/154
[18]  Bidayatul mujtahid 2/252  Mugni Muhtaj 2/212 Al Khurosy 6/55
[19]  Al Fiqhu Al islami Wa Adillatuhu 4/802
[20] Al Badai’ As Shonai’ 6/59
[21] Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu 4/797

Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com