Apakah Kita Dicintai Allah?

Apakah kita dicintai Allah?



 oleh: Rusman,lc

Sesungguhnya Tuhan subhanahu wata’ala telah menawarkan karunia kepada insan berupa nikmat yang tidak terhitung jumlahnya, lantaran setiap nikmat yang ada pada diri kita ialah berasal dari Tuhan subhanahu wata’ala ;
 “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. (Q.S An-Nahl Ayat: 53)

Diantaranya ialah nikmat diciptakanya insan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, kemudian Tuhan berikan juga nikmat berupa anggota tubuh yang sempurna, pendengaran, penglihatan, mulut serta yang lainya.
 Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kau (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah membuat kau kemudian menyempurnakan kejadianmu dan menimbulkan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam shurah (bentuk) apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.”. (al Infithaar; 6-8)
          Tuhan subhanahu wata’ala juga telah membuat insan dalam kondisi fitroh, yaitu menawarkan petunjuk kepada mereka untuk mengenal Rob penciptanya. ini semua merupakan  keutamaan Tuhan kepada makhluknya yang harus disyukuri.
          Ini sesuai dengan nama Tuhan yaitu Al-Mannan, Maha Pemberi nikmat, Tuhan ciptakan manusia, Tuhan bekali dia dengan anggota tubuh yang tepat tanpa mereka meminta atau memesan sebelumnya.
Namun ada juga nikmat yang Tuhan berikan kepada mereka yang mau berusaha serta mendapat taufiq-Nya, mirip harta benda, istri atau anak yang Tuhan berikan kepada mereka yang bekerja/berusaha untuk mendapat nikmat tersebut, lantaran Tuhan telah tundukkan siang dan malam, matahari dan bulan, semoga insan berusaha dimuka bumi untuk mendapat rezeki dari Tuhan subhanahu wata’ala.
Apabila Tuhan menawarkan taufiq kepada seorang hamba, sehingga diluaskan rezekinya, hartanya mengalir dari banyak sekali penjuru, usahanya sukses, pertanian dan pertenakanya makin berkembang, lantas apakah ini sebagai menandakan bahwa Tuhan subhanahu wata’ala sedang menyayangi hamba tersebut sebagaimana persangkaan sebagian orang?
Tentunya tidak, buktinya Tuhan subhanahu wata’ala tidak menghalangi rezeki-Nya dari orang kafir disebabkan kekafiran mereka, atau orang fajir disebabkan kemaksiatan mereka, namun Tuhan subhanahu wata’ala tetap menawarkan rezeki kepada mereka, Tuhan subhanahu wata’ala lemah lembut dan sabar terhadap perlakuan mereka.
Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam bersabda;
((ما أحد أصبرَ على أذًى يَسمعه من الله تعالى؛ إنهم يجعلون له ندًّا، ويجعلون له ولدًا، وهو مع ذلك يَرزقهم ويُعافيهم ويُعطيهم))؛ رواه مسلم، والبخاري.
"Tidak ada seseorang yang lebih sabar terhadap gangguan yang ia dengar selain dari Tuhan subhanahu wata’ala, gotong royong mereka ( orang musyrik) menimbulkan tandingan bagi Allah, mereka menimbulkan anak bagi Allah, namun meskipun begitu Tuhan tetap menawarkan rezeki  dan kesehatan dan karunia kepada mereka.
Abdullah ibn Mas’ud -radhiaAllahu ‘anhu- berkata;
إنَّ الله - عزَّ وجلَّ - يعطي الدنيا مَن يحبُّ ومَن لا يحبُّ، ولا يعطي الدِّين إلاَّ لِمَن أحبَّ، فمَن أعطاه الله الدين، فقد أحبَّه"؛ صحيح، رواه أحمد، والحاكم، وغيرهما.
Sesungguhnya Tuhan ‘azza wajalla menawarkan kenikmatan dunia kepada orang yang dicintai dan orang yang tidak dicintai, dan tidak menawarkan nikmat agama kecuali kepada orang yang Dia cintai, maka barang siapa yang Tuhan subhanahu wata’ala berikan kepadanya nikmat agama  sungguh  Allah subhanahu wata’ala telah mencintainya.
Boleh jadi, kelapangan rezeki, kesuksesan dunia serta harta yang melimpah pada diri orang kafir atau pelaku maksiat merupakan istidroj dari Tuhan subhanahu wata’ala kepada mereka, tangguh yang Tuhan berikan kepada mereka didunia kemudian Tuhan tarik mereka dengan berangsur-angsur kearah kebinasaan. Dan bukanlah tunjangan Tuhan yang memperlihatkan kecintaan-Nya kepada mereka.
Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam bersabda;” apabila engkau melihat Tuhan menawarkan kenikmatan dunia kepada hambanya dengan kemaksiatan yang dia cintai maka gotong royong itu istidroj “ lalu dia membaca firman Tuhan subhanahu wata’ala:
"maka tatkala mereka telah lupa dengan apa yang telah diperingatkan pada mereka maka Kamipun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) atas mereka, sehingga apabila mereka bangga dengan apa yang telah diberikan pada mereka, Kami adzab mereka dengan tiba-tiba maka dikala itu mereka melamun berputus asa".(QS. Al An'am : 44) 
  Inilah istidroj dan tangguh yang Tuhan berikan kepada mereka didunia, semoga semakin menumpuklah dosa mereka didunia kemudian Tuhan berikan siksa mereka secara kontan diakhirat, menyerupai ikan dikasih umpan untuk dia makan, selanjutnya ditariklah tali pancing dan dia mendapati dirinya dibakar diatas panggang.
Adapun karunia dan pemberian  Tuhan yang merupakan aplikasi cinta dan kasih sayangnya maka berbeda dengan hal diatas. Karena terkadang Tuhan subhanahu wata’ala menyayangi seorang hamba kemudian memberinya karunia berupa kelapangan rezeki, harta yang  melimpah, dan sukses dalam setiap usahanya, namun juga terkadang Tuhan subhanahu wata’ala menyayangi seorang hamba kemudian membatasi rezekinya, bahkan memberinya ujian dan cobaan berupa kesempitan dunia, penyakit atau petaka yang berkepanjangan.
Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam bersabda;
" إنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهم "

“Jika Tuhan menyayangi sebuah kaum maka Tuhan akan menguji mereka”
(Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 146)
Karena tidaklah musibah, ujian dan cobaan yang menimpa diri seorang mukmin melainkan merupakan penebus dosa-dosa dan kesalahan, dan tidaklah seorang mukmin ditimpa petaka melainkan disebabkan dosa dan kesalahanya.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
 “Dan petaka apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Tuhan mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)
          Diriwayatkan dari Abu Hurairah -radhiaAllahu ‘anhu- bahwa dikala turun ayat 123 dari surat An-Nisa’ yang menjelaskan bahwa barang siapa yang mengerjakan kejahatan, pasti akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu, kaum muslimin merasa sangat duka sekali, kemudian bersabda Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam :
((قارِبوا وسَدِّدوا، ففي كلِّ ما يُصاب به المسلم كفَّارة، حتى النَّكْبة يُنْكَبُها، أو الشوكة يُشاكُها))؛ رواه مسلم.
“ Janganlah engkau berlebih-lebihan dan bersikaplah dengan benar. Bahwasanya segala sesuatu yang menimpa seorang Muslim itu ialah penebus dosa dosanya sampai peristiwa yang menimpanya atau lantaran sebuah duri yang menusuknya. (HR Muslim 4/1993)
Yaitu semoga Tuhan subhanahu wata’ala mengampuni dosa dan kesalahanya didunia, sehingga dia akan menghadap Tuhan subhanahu wata’ala dalam kondisi tidak mempunyai dosa dan kesalahan. Atau untuk menambahkan pahalanya dan meninggikan derajatnya disurga. Karena apabila Tuhan subhanahu wata’ala menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, disegerakan hukumanya didunia, dan  apabila Tuhan subhanahu wata’ala menghendaki kejelekan  pada diri seorang hamba, Tuhan tahan hukumanya didunia kemudian diberikanya secara kontan diakherat.
Oleh lantaran itu, semakin tinggi iktikad seseorang maka semakin banyak ujian yang akan ia hadapi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

”  أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ ، فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صَلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِيْ دِيْنِهِ رِقَّةٌ اُبْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ "
"Orang yang paling berat ujiannya ialah para Nabi, kemudian yang paling sholeh dan seterusnya. Seseorang diuji menurut agamanya, jikalau agamanya besar lengan berkuasa maka semakin keras ujiannya, dan jikalau agamanya lemah maka ia diuji menurut agamanya. Dan ujian senantiasa menimpa seorang hamba sampai meninggalkan sang hamba berjalan di atas bumi tanpa ada sebuah dosapun" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 143)
Namun demikian bukan berarti bahwa seorang mukmin kemudian lantas berdo’a memohon kepada Tuhan subhanahu wata’ala semoga disegerakan siksa dan hukumanya didunia, tapi hendaknya memohon kepada Tuhan semoga diampuni dosanya dan tetap mendapat kesehatan serta kebaikan hidup didunia.
Diriwayatkan dari Anas radhiyaAllahu ‘anhu bahwa Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengunjungi salah seorang shahabat yang sedang sakit parah, kemudian Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan kepadanya apakah pernah berdo’a memohon sesuatu kepada Tuhan subhanahu wata’ala, shahabat tersebut menyampaikan bahwa dia pernah berdo’a semoga Tuhan tidak menyiksanya diakhirat serta menyegerakan siksanya didunia, maka   Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bahwa dia tidak akan bisa menghadapinya, namun hendaknya dia berdo’a semoga diberikan kebaikan hidup didunia dan darul abadi serta diselamatkan dari api neraka. Kemudian Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendo’akanya dengan kesembuhan.
Kalau ternyata tunjangan Tuhan subhanahu wata’ala kepada orang kafir atau pelaku maksiat merupakan istidroj, sedangkan tunjangan kepada seorang mukmin yang taat merupakan bentuk cinta dan kasih sayang-Nya meskipun itu berupa ujian dan musibah, bolehkah seorang mukmin merasa atau mengaku bahwa dirinya sedang dicintai Tuhan subhanahu wata’ala ?
Tentunya tidak pantas bagi seorang mukmin untuk merasa apalagi merekomendasi dirinya bahwa dia sedang dicintai Tuhan subhanahu wata’ala, lantaran dia tidak mempunyai dalil/bukti bahwa Tuhan subhanahu wata’ala sedang mencintainya. kalau dia menyampaikan bahwa nikmat yang melimpah yang Tuhan berikan merupakan bukti bahwa Tuhan subhanahu wata’ala sedang mencintainya kita katakan bahwa orang kafirpun mendapat nikmat dunia yang melimpah, kalau dia menyampaikan gotong royong Tuhan subhanahu wata’ala mencintaiku buktinya saya ialah orang yang istiqomah dan faham agama, dan Tuhan subhanahu wata’ala tidak menawarkan nikmat agama kecuali bagi orang yang Dia cinta, maka orang ini sedang tertipu, lantaran dihentikan seorang mukmin menawarkan tazkiyah/rekomendasi pada dirinya, namun hendaknya senantiasa merasa takut kepada Tuhan kalau-kalau imanya belum benar, takut kalau ternyata pada imanya masih ada bibit-bibit kemunafikan.
Sebagaimana Tuhan subhanahu wata’ala menggambarkan ihwal orang-orang yang beriman:
 “ Sesungguhnya orang yang hati­nya selalu bimbang lantaran takut­nya kepada Rob mereka. Dan orang-orang yang percaya kepada ayat-ayat Rob mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rob mereka de­ngan yang lain. Dan orang-orang yang menger­jakan apa yang mereka kerjakan, sedang hati mereka takut, lantaran mereka akan pulang kembali kepada Rob mereka. orang mirip itulah yang cepat segera mengerjakan ke­baikan. Dan untuk itulah mereka berlomba-lomba. “Suroh  AI-Mu'minun Ayat 57-61
          Kalau kita kembali kepada para shahabat, maka akan kita dapatkan bagaimana perilaku takut dan hati-hati mereka dalam problem ini. Al-Bukhory meriwayatkn dari  Ibnu Abi Malikah katanya : “ Aku dapatkan tiga puluh shahabat Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, seluruhnya takut akan kemunafikan pada dirinya.”
          Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi  Syaibah dari Zaid bin Wahab -radhiaAllahu ‘anhu- berkata : “ Telah meninggal salah seorang dari golongan munafiq, maka Hudzaifah tidak mau menyolatkanya, kemudian berkata Umar -radhiaAllahu ‘anhu- : “ Apakah dia termasuk golongan munafiqin ?  “ Hudzaifah menjawab : ya, berkata Umar: “ Demi Tuhan apakah saya termasuk golongan mereka ( munafik) ?” Hudzaifah menjawab : Tidak, dan tidak akan saya kabari denganya seorang pun setelahmu .
          Hudzaifah - radhiaAllahu ‘anhu- ialah seorang shahabat yang banyak mendapat info belakang layar dari Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya ialah info ihwal siapakah mereka yang termasuk dari golongan munafik, maka Umar takut kalau-kalau dia termasuk golongan mereka.
          Maka kewajiban kita ialah muhasabah/intropeksi diri, digolongan manakah kita, sedang mendapat kecintaan dan kasih sayang Tuhan atau  istidroj(ngululu) dari Tuhan Azza wa Jalla.
(sumber : An Naasu baina istidroj Al-Halim wa hubi Al-Karim subhanah oleh Syaikh Isma’il Asy-Syarqowy )
.



Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com