Makna Niat


HAKIKAT NIAT DAN KEUTAMAANNYA

Niat bukan sebuah lafadz yang diungkapkan seseorang dengan ucapan “Nawaitu” [aku berniat], tetapi ia merupakan dorongan hati layaknya sebuah penaklukan suatu kawasan yang berasal dari pemberian Allah. Terkadang ia begitu gampang untuk dilakukan dan kadangkala terasa sulit. Barangsiapa yang hatinya lebih kuat kecenderungannya terhadap urusan agama, maka kerap kali ia akan merasa gampang untuk menghadirkan niat guna melaksanakan kebaikan. Sebab secara umum hatinya condong kepada kebaikan itu sendiri, lantas merambah kepada beberapa jenis kebaikan lainnya.


Barangsiapa yang hatinya cenderung kepada dunia dan hatinya terkuasai olehnya; maka ia tidak mencicipi akomodasi untuk berbuat kebaikan, bahkan ia tidak akan mencicipi mudahnya menunaikan kewajiban melainkan harus dengan perjuangan yang keras. Dari ‘Umar bin Khathab Radiyallahu 'anhu [1] dari Rasulullah shalallhu alaihi wasalam , “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapat sesuai niatnya. Oleh lantaran itu, barangsiapa yang berhijrah lantaran Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah lantaran dunia atau lantaran perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan sepertiga dari ilmu.”

Sabda beliau, “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung kepada niatnya”, artinya kebenaran seluruh amalan yang sesuai dengan sunnah itu tergantung pada niat yang baik, dan ini serupa dengan sabda ia : , “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung pada tamat kesudahannya”[2], sabda ia shalallahu alaihi wasalam  “Dan setiap orang akan mendapat sesuai niatnya”, yakni pahala orang yang bederma sesuai dengan niatnya yang baik dan disertakan ketika melaksanakan satu jenis amalan. Sabda ia a “Barangsiapa yang berhijrah lantaran Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah lantaran dunia atau lantaran perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).” Setelah membangun kaidah pertama lantas disebutkan sebuah permisalan yang secara kasap mata perbuatannya nampak sama, namun berbeda dari sisi baik dan buruknya niat.

Niat yang baik tidak sanggup merubah perbuatan maksiat berpindah posisi, maka jangan hingga salah dalam memahami, terutama bagi orang yang udik berlandaskan keumuman sabda ia a  “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung niat” sehingga mengira bahwa tindakan maksiat sanggup menjelma ketaatan melalui niat. Pada dasarnya sabda ia shalallahu alaihi wasalam “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung niatnya” dikhususkan pada ketiga amalan: ketaatan, hal-hal yang mubah dan tidak mengandung unsur maksiak lantaran ketaatan sanggup menjelma sebuah maksiat melalui niat, dan perbuatan yang mubah sanggup berubaha menjadi sebuah maksiat atau ketaatan melalui niat.[3] Adapun maksiat ia tidak sanggup menjelma sebuah ketaatan melalui niat, dan berniat hendak bermaksiat kalau ditambah lagi dengan ketelodoran yang sangat, maka berlipatgandalah dosa serta akibatnya.

Ketaatan bergantung pada niat dan pada asalnya haruslah benar, lantaran akan berimbas pada kelipatan pahalanya kelak. Saat melaksanakan ketaatan seharusnya seseorang berniat ibadah hanya kepada Yang Mahakuasa semata. Jika niatnya untuk riya maka menjelma sebuah maksiat. Adapun berlipatnya pahala maka tergantung seringnya berniat baik. Untuk segala perbuatan yang mubah, maka semuanya mengandung satu atau beberapa niat, sehingga dengan niat tersebut perbuatan mubah ini menjadi kebaikan yang mendekatkan diri kepada sang Khaliq, dan dengannya pula derajat yang tinggi sanggup diraih.


KEUTAMAAN NIAT

Dari ‘Umar bin Khathab Radiyallahu 'anhu ia berkata, “Amalan yang paling utama adalah apa yang telah diwajibkan oleh Yang Mahakuasa ta'ala, bersikap wara’[4] terhadap kasus yang allah haramkan, dan berniat lapang dada atas apa yang ada di sisi Yang Mahakuasa ta'ala.”
Salah seorang ulama salaf menuturkan, “Betapa banyak amalan kecil menjadi agung pahalanya lantaran niat, dan berapa banyak amalan besar menjadi kecil pahalanya lantaran niat.”
Dari Yahya bin Katsir ia berkata, “Belajarlah kalian mengenai niat; sebetulnya ia lebih kuat dari pada sekedar amalan.”
Sebuah kabar yang valid menyebutkan bahwa ketika berihram Ibnu ‘Umar mendengar seorang pria berkata, “Apakah engkau sedang memberitahukan orang-orang, bukankah Yang Mahakuasa Maha Tahu wacana apa yang ada di dalam dirimu”;[5] lantaran niat itu merupakan tujuan hati, dan dihentikan melafadzkannya sedikitpun ketika melaksanakan aneka macam ibadah.[6]

semoga goresan pena singkat ini sanggup menjadi pemahaman bersama untuk arti dari NIAT..
wallahu a'lam bis showab
sumber kitab Tazkiyatunnufus karya DR. Ahmad Farid

[1] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Bad’ul Wahyi (1/9) dan Muslim dalam al-Imaarah (13/53).
[2] Al-Bukhari dalam al-Qadr (11/499) dari hadits Sahl bin Sa’d y .
[3] Dalilnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahiihnya (7/91) dari hadits Abu Dzar secara marfu’ : “…dan mendatangi istrimu juga merupakan sedekah.” Mereka bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah kalau seseorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun mendatangkan pahala?” Beliau bersabda, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkannya pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkannya pada kasus yang halal, maka ia akan mendapat pahala.” An-Nawawi berkata, “Atas dasar ini mengatakan bahwa perbuatan yang mubah sanggup menjadi sebuah ketaatan lantaran disertai niat yang tulus, bersetubuh menjadi suatu aktifitas ibadah kalau diniatkan untuk memenuhi hak istri dan mempergaulinya dengan cara yang baik, dan Yang Mahakuasa telah memerintahkan kita untuk melaksanakan hal tersebut. Atau berniat supaya diberi anak yang shalih, menjaga kehormatannya, menjaga kehormatan istri, dan mencegah kedua pasangan ini dari pandangan yang haram, berpikiran kearah situ, berkeinginan untuk melakukannya, atau niat baik lainnya.” Dan akan tiba nanti dalam Atsar dari Mu’adz (hal. 108) “Aku berharap tidurku berpahala menyerupai ketika saya shalat malam.” 
[4] Coba perhatikan kewara’an Abu Ishaq asy-Syirazi: Suatu hari ia masuk ke dalam masjid untuk memakan sesuatu sebagaimana biasanya, lantas ia lupa tidak membawa uang dinar, kemudian ia ingat bahwa kala itu sedang berada di jalan, ia pun kembali menuju jalan tersebut dan menemukannya, namun ia membiarkan dan tidak menyentuhnya, seraya berkata, ‘Barangkali ini milik orang lain yang terjatuh, dan bukan uang dinarku’. Seperti inilah yang disebutkan dalam Tahdziibul Asmaa` karya an-Nawawi (1/173).
[5] Dishahihkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (hal. 19).
[6] Bertolak belakang dengan pendapat sekelompok ulama dari madzhab Abu Hanifah, asy-Syafi’I, dan Ahmad.

Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com