Hukum Perempuan Mengajukan Syarat Tertentu Kepada Calon Suaminya

Para ulama membolehkan perempuan mengajukan syarat tertentu kepada calon suaminya, selama syarat tersebut tidak melanggar syariat. Dalam perincian beberapa jenis syarat, para ulama berbeda pendapat, contohnya jikalau perempuan minta syarat tidak dipoligami, tidak diajak merantau, tidak diajak pindah rumah, tidak dihentikan bekerja (pekerjaan yg syar'i). Para ulama madzhab hambali membolehkan syarat-syarat tersebut, dan jikalau suami melanggar maka sang istri boleh minta cerai/fasakh.

Madzhab Hanbali membagi persyaratan dalam nikah menjadi tiga bagian;

Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang keuntungannya dan faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang perempuan mempersayatkan biar sang suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat ini maka sang perempuan berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khottoob, Sa'ad bin Abi Waqqoosh, Mu'aawiyah, dan 'Amr bin Al-'Aash radhiallahu 'anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)

Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi pernikahan tetap sah, menyerupai jikalau sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar, atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau ia hanya mendatangi sang perempuan di siang hari saja. Dan demikian juga jikalau sang perempuan mepersyaratkan untuk tidak digauli atau biar sang lelaki menjauhinya, atau biar jatah nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh persyaratan ini tidak sah dan batil (yaitu haram dilaksanakan syarat2nya) (lihat Al-Mughni 7/449)
Para ulama membolehkan perempuan mengajukan syarat tertentu kepada calon suaminya Hukum perempuan mengajukan syarat tertentu kepada calon suaminya

Ketiga : Persyaratan yang membatalkan kesepakatan nikah, menyerupai pernikahan mut'ah (nikah kontrak sementara sehabis itu cerai), atau eksklusif dicerai sehabis nikah, dan nikah syigoor, atau sang lelaki berkata, "Aku menikahi engkau jikalau ibumu merestui atau si fulan setuju". (lihat Al-Mughni 7/449)

Disebutkan bahwa Imam Malik (madzhab maliki) pernah ditanya perihal seorang perempuan yang memberi persyaratan kepada calon suaminya, "Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku", kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga. Akan tetapi sang suami tidak mendapatkan hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : "Ini merupakan hak sang wanita, dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya" (lhat Al-Mudawwanah 2/75)

KEWAJIBAN SUAMI MEMENUHI SYARAT YANG TELAH DISEPAKATI

(1) Redaksi sebagian ayat yang tegas menyatakan wajibnya menunaikan aqad, janji serta syarat. Diantaranya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Al-Maidah: 1)

“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 34)

Serta hadits Nabi: “Empat hal yang apabila terkumpul dalam diri seseorang maka dia yakni seorang munafiq sejati. Barang siapa yang terdapat dalaml dirinya salah satu dari keempat hal tersebut maka berarti dia sedang berada dalam salah satu cabang kemunafiqan hingga dia meninggalkannya: Apabila diberi amanat dia khianat, apabila bicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari dan apabila berselisih dia akan bermusuhan.” (Bukhari dan Muslim)

Ayat dan hadits ini terang memerintahkan untuk memenuhi janji, aqad dan juga syarat serta apapun yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Termasuk dalam hal ini yakni syarat yang ditetapkan seorang istri kepada suaminya biar tidak memadunya.

(2) Hadits Nabi: “Syarat yang paling utama untuk kalian penuhi yakni syarat yang dengannya kalian sanggup halal berafiliasi badan” (Bukhari)

Hadits ini tegas menyatakan bahwa setiap syarat yang sanggup mengantarkan pada suatu pernikahan yakni harus ditunaikan sebab problem nikah lebih mulia kedudukannya serta lebih berharga dari pada harta. Penetapan syarat dari istri biar suami tidak memadunya yakni termasuk ke dalam belahan ini serta masyru’.dan suami wajib memenuhnya.

(3) Hadits Nabi dikala Ali meminang putri Abu Jahl kemudian Fathimah mengetahuinya kemudian tiba kepada Nabi seraya mengatakan: Kaum mu mengira kalau engkau tidak sanggup murka demi membela putrimu padahal Ali hendak menikahi putri Abu Jahl. Mendengar penuturan Fathimah ini Nabi segera bediri seraya mengatakan: “Sesungguhnya Fathimah yakni belahan dari diriku, sehingga akan menyakitiku apapun yang menyakitinya, sungguh saya tidak suka sekiranya mereka berbuat buruk terhadapnya… Sesungguhnya Bani Hisyam bin Al-Mughirah telah tiba meminta ijin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka saya tidak mengijinkannya dan tidak akan mengijinkannya. Saya tidak sedang mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram. Hanya saja tidak akan pernah bersatu putri rasulullah dengan putri musuh Yang Mahakuasa kecuali jikalau Ibnu Abi Thalib menceraikan putriku.” (Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini tampak bahwa Nabi memutuskan syarat kepada Ali biar tidak memadu Fathimah serta tidak melaksanakan perbuatan yang sanggup menyakiti hatinya. Sehingga dikala Ali berniat untuk menyelisihi syarat ini maka Nabi segera mengingatkannya dengan hal tersebut. Dan ia mema’lumkan kepada insan bahwa ia tidak akan melepaskan syarat itu dan ia dengan sikapnya ini tidak berarti sedang mengharamkan yang halal dan tidak pula penghalalkan yang haram. Akan tetapi ini semua yakni berkaitan dengan apa yang Ali pilih dan wajib dia penuhi.

(4) Apa yang diriwayatkan dari sebagian shahabat bahwa mereka berfatwa dan memutuskan wajibnya suami memenuhi syarat tersebut jikalau semenjak awal memang meridhainya:

a. Seseorang berkata kepada Umar: Saya menikahi seorang perempuan dan dia memutuskan syarat berkaitan dengan rumahnya dan biar saya tidak mengajaknya safar. Namun saya harus bersafar bersamanya ke kawasan ini dan itu. Maka Umar menjawab: Dia berhak dengan syarat tersebut (yakni: kau harus penuhi syaratnya). Seorang mu’min itu terikat dengan syarat-syaratnya. (At-Tirmidzi dan Bihaqi)

Semisal dengan ini berfatwa Abdullah bin Mas’ud.

b. Maula Nafi’ bin Utbah bin Abi Waqqash: Saya melihat Sa’ad bin Abi Waqqash menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki dari kalangan penduduk Syam dan memutuskan syarat biar putrinya tidak dibawa pindah. (Ibnu Abdil Barr)

Semisal dengan ini Mu’awiyah dan Amr bin Al-Ash memfatwakan: Wajib bagi suami untuk memenuhi apa yang telah dipersyaratkan kepadanya.

(5) Logika. Penetapan syarat ini tidak berarti menghilangkan maksud atau tujuan dari nikah itu sendiri yakni untuk bersenang-senang serta tidak pula menafikannya terlebih lagi menyelisihi nash-nash syar’i. Bahkan sebaliknya hal ini justru mendukung nash yang ada sebagaimana tersebut di atas teristimewa hadits Ali dan Fathimah.

(dikutip dari artikel dari Abu Ishaq As-Sundawy, Ustadz Firanda, dll)