Pendapat Ulama Wacana Puasa Rajab

Para ulama berbeda pendapat mengenai puasa sunnah pada bulan-bulan haram (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab) dalam tiga versi. Pertama, berdasarkan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, disunnahkan berpuasa pada seluruh bulan haram. Kedua, ulama Hanabilah hanya mensunnahkan puasa bulan Muharram saja, berdasarkan sabda Nabi SAW,”Shalat paling utama sehabis shalat wajib yakni shalat lail, sedang puasa paling utama sehabis puasa Ramadhan yakni puasa bulan Muharram.” (HR Muslim). Ketiga, ulama Hanafiyah beropini yang disunnahkan dari bulan-bulan haram hanya tiga hari pada masing-masing bulan haram, yaitu Kamis, Jum’at, dan Sabtu. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/590; Abdurrahman Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arba’ah, 1/378; Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/81; Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 125 & 141).

Menurut penulis, yang rajih/kuat yakni pendapat pertama yang mensunnahkan puasa pada seluruh bulan haram, berdasarkan dalil umum yang ada dalam problem ini. (Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, 6/386; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 880; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 152). Dalilnya hadis dari Abu Mujibah Al Bahiliyah RA, dari ayahnya atau pamannya,”Aku pernah mendatangi Nabi SAW kemudian berkata,’Wahai Nabi Allah, saya pria yang pernah tiba kepadamu pada tahun awal [hijrah].’

Nabi SAW berkata,”Lalu mengapa tubuhmu jadi kurus?” Dia menjawab,”Aku tak makan di siang hari, saya hanya makan di malam hari.” Nabi SAW bertanya,”Siapa yang menyuruhmu menyiksa dirimu?” Aku menjawab,”Wahai Rasulullah, bersama-sama saya ini kuat.” Nabi SAW berkata,”Berpuasalah pada bulan sabar (Ramadhan), dan satu hari sehabis Ramadhan.” Aku berkata,”Aku masih kuat.” Nabi SAW berkata,”Berpuasalah pada bulan sabar, dan dua hari sehabis Ramadhan.” Aku berkata,”Aku masih kuat.” Nabi SAW berkata,”Berpuasalah pada bulan sabar, dan tiga hari sehabis Ramadhan, dan berpuasalah pada bulan-bulan haram.” (HR Ibnu Majah no 1741; Abu Dawud no 2428, Ahmad no 20589). Imam Syaukani menerangkan,”Dalam hadis ini terdapat dalil pensyariatan puasa pada bulan-bulan haram.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881).
Sebagian ulama ibarat Nashiruddin Al Albani dalam Dha’if Abu Dawud menganggap lemah hadis di atas, alasannya yakni terdapat ketidakpastian siapa nama periwayat hadis dari kabilah Al Bahilah itu. Namun Imam Syaukani tetap menguatkan hadis tersebut, dengan menukil pendapat Imam Mundziri yang menyatakan perselisihan nama shahabat semacam itu tak menciptakan cacat suatu hadis. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881; Wablul Ghamam Ala Syifa` Al Awam, 1/514).

Adapun dalil-dalil khusus yang mensyariatkan puasa di bulan Rajab, berdasarkan para ulama hadis-hadisnya memang lemah (dhaif). Imam Syaukani meriwayatkan dari Ibnu Subki, dari Muhammad bin Manshur As Sam’ani yang berkata,”Tak ada dalil hadis yang besar lengan berkuasa yang mensunnahkan puasa bulan Rajab secara khusus. Hadis-hadis yang diriwayatkan dalam problem ini berstatus wahiyah (sangat lemah) yang tak menggembirakan ulama.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881).

Imam Syaukani menyampaikan meski tak ada dalil khusus yang layak menjadi dasar puasa di bulan Rajab, namun dalil umum wacana tawaran puasa bulan-bulan haram tetap sanggup diamalkan. Jadi, puasa di bulan Rajab hukumnya tetap sunnah, hanya saja sebaiknya tak berpuasa sebulan penuh, mengingat hadis Nabi SAW,”Berpuasalah kau pada bulan-bulan haram dan berbukalah (diucapkan tiga kali), Nabi SAW kemudian memberi kode dengan tiga jarinya, menghimpun tiga jari itu kemudian menguraikannya.” (HR Abu Dawud, no 2428). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 880). Wallahu a’lam.