Pemikiran Politik Abul A’La Al-Maududi


BAB I

PENDAHULUAN

A. SEJARAH

Jatuhnya Khilafah Turki Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret 1924 telah mengakhiri kejayaan islam. Khilafah Utsmaniyah barakhir sejalan dengan kencangnya tuntutan kemerdekaan di aneka macam negara kolonial yang berpenduduk lebih banyak didominasi muslim, ibarat negara yang ada di daerah Asia Tenggara, Afrika Utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain. Negara-negara kolonial melihat bahwa kekuasan Turki Utsmany yang kuat menguasai Timur Tengah dan negara-negara “Eropa Timur” lantaran kekuatan Khalifah yang amat tinggi. Khilafah amat berkaitan dengan kekuasaan, kepemimpinan, al-Imam al-A’zham, pemimpin besar.

Ada tiga kelompok pemikir Muslim dalam memaknai negara khilafah. Pertama, menolak sama sekali Islam mempunyai konsep negara dalam Islam, ibarat dikemukakan oleh Thaha Husein dan Ali Abdurraziq dalam karyanya, Al-Islam wa Ushul al-Hukmi. Teori politiknya disamakan dengan teori politik barat yang tidak mengakui sama sekali agama berkiprah dalam politik. Mereka pada hakikatnya menyamakan Islam dengan Nasrani. Kedua, Islam mempunyai nilai-nilai pemerintahan yang terkandung di dalamnya, ibarat dikemukakan oleh ulama Mesir, penulis Hayatu Muhammad, yaitu Muhammad Husein Haikal; Ketiga, mengharuskan kembali ke masa Nabi dan para Khulafa Rasyidin, ibarat dikemukakan Hasan Al-banna, Sayyid Qutub, Syaikh Rasyid Ridha, dan Abu al-A'la al-Mududi, bahkan dikehendaki semoga kekhilafahan juga ditegakkan kembali, ibarat dikemukakan oleh Taqiyuddin al-Nabhani.

Pluralitas pemahaman merupakan fakta yang tidak terhindarkan dan tidak perlu dihindari. Kenyataan ini secara implisit menerima legitimasi dari Alquran, yaitu bahwa Yang Mahakuasa membuat insan dari jenis pria dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku semoga mereka saling mengenal (QS. Al-Hujurat/49: 13). Pernyataan ini member instruksi bahwa dari jenis yang berbeda, beragamnya bangsa dan suku tentu menimbulkan perbedaan pemahaman pula.

Di antara para pemikir Islam subkontinen (India dan Pakistan) ibarat contohnya Syekh Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali, Yusuf Ali, Muhammad Iqbal, Fazhlur Rahman, al-Nadawi dan lain-lain, al-Maududi sajalah yang mencoba dengan sangat tekun untuk menyuguhkan Islam sebagai suatu sistim komprehensif bagi kehidupan manusia. Meskipun terkadang ada kritik keras yang dilontarkan oleh sementara pemikir Islam sendiri kepada Maududi, tetapi tidaklah menggoyahkan semangat dan kemantapan tata-pikir al-Maududi yang begitu solid. Karena itu tidak mengherankan bila orientalis Wilfred C. Smith menyampaikan dalam bukunya Islam in Modern History bahwa al-Maududi ialah seorang pemikir Islam yang paling sistimatik dari kawasanan Indo-Pakistan.[1]

Pola pikir dan pemahaman seseorang memang tidak lepas dari konteks zaman dan sistem sosial dimana dia tinggal. Al-Maududi ialah salah satu model produk zamannya yang turut mewarnai kehidupan masa dan lingkungannya.

Al-Maududi, muncul dengan gagasan-gagasan yang sangat besar andilnya bagi perkembangan masyarakat Islam. Beliau populer dengan ide-ide dan pikiran-pikirannya perihal kenegaraan. Di ketika orang-orang Islam galau untuk mencari pemecahan problem “bagaimanakah bentuk negara Islam sebenarnya?”. Di ketika itu ia tampil dengan meletakkan dasar-dasar negara dan bentuk negara yang ideal berdasarkan Alqur’an dan Sunnah. Negara haruslah berideologi tauhid, atas kedaulatan Tuhan dan sistem yang universal. Kemudian di ketika orang-orang berselisih paham dalam mentransformasi hasil perkembangan modern di dunia barat, sebagian mengagung-agungkan demokrasi Barat dan memperlihatkan bahwa demokrasi ibarat itulah yang cocok berdasarkan Islam, sementara sebagian yang lain memandang bahwa system teokrasi di Eropa ialah cerminan Islam. Di dalam kebingungan-kebingungan tersebut, al-Maududi memperlihatkan sistem negara Islam dengan istilahnya yang gres yakni theo-demokrasi dan teokrasi Islam serta konsep-konsepnya yang cukup lengkap perihal negara.

Berdasarkan klarifikasi di atas, pada pembahasan makalah ini akan dicoba memotret konsep pemikiran politik yang ditawarkan oleh al-Maududi. Ada tiga konsep politik utama yang akan diuraikan dan dianalisis dalam makalah ini, dimana konsep tersebut pernah dikomentari oleh al-Maududi lewat ide-ide cemerlangnya. Ketiga perkara yang akan dibahas tersebut ialah Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jadi, yang ingin dicari jawabannya dalam makalah ini ialah Bagaimana bergotong-royong konsep negara, masyarakat, dan kekuasaan yang ditawarkan oleh al-Maududi. Agar lebih gampang memposisikan pemikirna al-Maududi maka kita perlu melihat latar belakang kehidupan al-maududi lebih dulu, sebagaimana dalam uraian berikut.

B. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA-KARYA AL-MAUDUDI

Abul A’la Al-Maududi[2] lahir di Aurangabad, kesultanan Hyderabad (Deccan), suatu wilayah di India. Dia lahir pada tanggal 25 September 1903 M, bertepatan dengan 3 Rajab 1321 H. Dia ialah anak dari seorang pengacara dan jago fiqih masyhur di masanya, yaitu Ahmad Hasan.[3]

Al-Maududi ialah anak terakhir dari tiga bersaudara. Dari segi keturunan, dia mempunyai silsilah yang bersambung kepada Nabi Muhammad sehingga namanya diawali Sayyid. Nama Al-Maududi sendiri diambil dari salah seorang neneknya yang berjulukan Qudbuddin Maudud, pendiri tarekat Chishti:[4] ”Keluarganya mempunyai sederet panjang pimpinan rohani dalam aliran sufi. Ia menimba dasar-dasar dan semangat Islamnya, kejujuran moral dan hormatnya kepada kebenaran (keadilan) dari tradisi dan pendidikan keluarganya”.[5]

Pendidikan formal Al-Maududi dimulai dari sekolah menengah Fauqaniyah yang memadukan sistem pendidikan Barat modern dan Islam tradisional. Alasan kenapa ayahnya tidak menyekolahkan anak-anaknya melalui jenjang-jenjang pendidikan ibarat lazimnya belum dewasa yang.

Selesai di Madrasah Fauqaniyah, dia melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi Darul Ulum di Hyderabad. Ketika meniti pendidikan di Perguruan Tinggi ini ayahnya meninggal sehingga menghambat studinya dan terpaksa dia berhenti dari studi formalnya. Dia meneruskan pendidikannya secara otodidak,[6] dan untuk memenuhi dan mempertahankan hidupnya dia terjun ke dunia jurnalistik.[7]

Dunia jurnalistik merupakan karir pertama yang dijalani Al-Maududi sehabis putus sekolah, tepatnya semenjak tahun 1920. Kemudian dia pindah ke Delhi. Pada usia dua puluh enam tahun dia menerbitkan karya pertamanya Al-Jihad fi Al-Islam yang banyak menarik perhatian kalangan. Tahun 1932 dia pindah ke Hyderabad dan menerbitkan Tarjuman Al-Qur’an, jurnal bulanan yang terkemuka di era ke-19/20 sebagai corong untuk membangkitkan semangat umat Islam.[8]

Tahun 1937 Al-Maududi mendapatkan surat dari Iqbal yang berisi undangan untuk merekonstruksi yurisprudensi Islam. Keduanya bersepakat untuk bertemu dan untuk merealisasikan harapan tersebut mereka menetapkan untuk tinggal di Punjab. Tahun 1938 Al-Maududi berangkat ke Punjab, tetapi nasib berkata lain, sebulan sehabis tibanya Al-Maududi di sana Iqbal menghembuskan nafasnya yang terakhir.[9] Al-Maududi kemudian pindah ke Lahore.[10]

Al-Maududi, dalam perkembangan masa berikutnya, untuk mencanangkan gagasan-gagasannya tidak lagi memakai media massa, tetapi lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat praktis, yaitu dengan mendirikan Jama’at al-Islami.[11]

Pada tahun 1941 Maududi mendirikan partai Jama’ati Islam (Persatuan Islam), suatu perkumpulan yang terorganisasi dengan sangat baik dan bertujuan untuk membentuk kembali masyarakat dan tertib Islam sedunia (baik dalam arti politik, hokum maupun social). Walaupun pada mulanya ia menentang segala jenis nasionalisme sehingga karenanya iapun menentang pembentukan Negara Pakistan, namun jadinya ia pindah juga ke Pakistan sehabis terjadinya pemisahan Pakistan dari India, di mana Jama’ati Islam sangat ulet dalam bidang politik. [12]

Pendirian Jama’at Al-Islami didasarkan pada kekhawatiran akan eksistensi umat Isalm di India. Dengan system demokrasi menimbulkan umat Hindu menjadi lebih banyak didominasi dan umat Islam menjadi minoritas yang berarti pula umat Islam akan kehilangan kiprah mereka sebagai khalifah Yang Mahakuasa di muka bumi ini. Jama’at Al-Islami merupakan balasan terhadap situasi yang problematis tersebut. Al-Maududi memaksudkan Jama’at Al-Islami sebagai: “… perkumpulan orang-orang yang berakar dalam nilai-nilai Islam untuk menyampaikan kepemimpinan dalam membuat suatu masyarakat Islam”.[13] Tahun 1947 Pakistan memproklamirkan diri sebagai Negara merdeka yang terpisah dari India.[14] Jama’at-pun pindak ke Pakistan. Pada satu sisi, Al-Maududi memang menentang nasionalisme, tetapi pada sisi lain, dia dikondisikan pada dua pilihan yang tidak sanggup dihindari. Untuk menegakkan kepemimpinan masyarakat muslim di India hampir sanggup dikatakan tidak mungkin (utopis). Di sinilah kemudian dia dituntut untuk lebih realistis.

Menurut Asghar Ali: “… Jama’at sejauh ini merupakan partai yang paling besar lengan berkuasa di banyak Negara Muslim, khususnya Pakistan. Di antara partai-partai kanan, ia ialah yang paling kuat dan konsisten…”,[15] sekaligus pada tahun itu pula dia terpilih sebagai ketua.

Jama’at Al-Islami terus berupaya mentrasformasikan ideologinya. Hasinya, melalui tangan Al-Maududi lahirlah berbagai: “… literatur perihal Islam dalam bahasa Urdu dan sekarang sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Arab. Ia banyak merekrut banyak cendikiawan Muslim Pakistan dan membina sendiri para kadernya”.[16]

Dengan berdirinya Negara Islam Pakistan tidak berarti memuluskan ambisi Al-Maududi dan Jama’at Al-Islaminya untuk menggolkan Islam sebagai konstitusi dan jalan hidup muslim. Pada tanggal 4 Oktober 1948 dia sempat ditahan lantaran gerakannya yang dinilai terlalu radikal. Berselang dua puluh bulan berikutnya dibebaskan, yaitu pada Mei 1950. Tahun 1953 dia kembali ditahan bahkan divonis mati dengan tuduhan berbagi selebaran gelap,[17] tetapi kemudian, eksekusi itu diremisi menjadi eksekusi seumur hidup.[18] Pada tanggal 28 April 1955, atas keputusan Mahkamah Agung, dia dibebaskan.[19]

Ketika Ayub Khan berkuasa, Jama’at Al-Islami secara resmi dinyatakan sebagai partai terlarang, dan lantaran ketidakpatuhannya, maka untuk ketiga kalinya Al-Maududi dijebloskan ke dalam penjara, yaitu pada tanggal 6 Januari 1964, tetapi pada jadinya perkara ini bias dibawa ke Pengadilan Tinggi untuk diadili secara jujur. Akhirnya larangan tersebut dicabut kembali dan pada tanggal 9 Oktober 1964 Al-Maududi dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Punjab.[20]

Pertentangan antara Al-Maududi dengan rezim Ayub Khan semakin menjadi-jadi, bahkan untuk hal-hal yang tidak mendasar sekalipun. Misalnya, mengenai ru’yah al-hilal untuk menentukan hari raya idul fitri. Al-Maududi berbeda pendapat dengan pemerintah dalam menentukan hari raya idul fitri, dan lantaran itu, pada tanggal 29 Januari 1967 dia kembali ditahan oleh rezim Ayub Khan dan pada tanggal 15 Maret 1967 dibebaskan.[21]

Tahun 1979 Al-Maududi meninggal sebelum sempat mewujudkan cita-citanya membuat Negara Islam Pakistan menjadi benar-benar islami secara kaffah.[22] Jama’at Al-Islami semula bukan sebuah organisasi partai politik yang koperatif, tetapi sehabis berpindah ke Pakistan dan untuk memasukkan gagasan-gagasan politiknya ke dalam aturan positif, Jama’at harus melibatkan diri ke dalam politik praktis. Tetapi kenyataan justru terbalik, sehabis Jama’at ikut dalam perpolitikan praktis, keberhasilan mereka justru semakin menurun. Perlu dijelaskan bahwa Negara Islam yang dimaksudkan Al-Maududi bukan Negara bangsa (nation state) tetapi Negara Dunia (world state). Pakistan diharapkan menjadi model ideal Negara Islam sehingga sanggup dijadikan kerikil loncatan (proses) menuju Negara Dunia.Namun demikian, Al-Maududi telah ikut serta mengukir sejarah Islam modern dengan gagasan-gagasannya yang dikenal luas di dunia Islam.

Al-Maududi meninggalkan banyak karya tulis[23] dengan cakupan yang sangat luas. Diantara karyanya adalah; Al-Jihad fi Al-Islam;[24]Manhaj Al-Inkilab Al-Islam;[25]Al-Usus Al-Akhlaqiyah li Al-Harakah Al-Islamiyah;[27]The Laws of Marriage and Divorce in Islam;[32]The Fundamentals of Islam;[33]Al-Khilafah wa Al-Mulk.[34]

Karya-karya lain Al-Maududi adalah; Nationalism and India, yang berisikan kritik tajam terhadap nasionalisme;[35] Islam: Its Meaning and Message, yang membicarakan perkara asas-asas Negara Islam, tujuan didirikan dan seluk beluknya.[36] Al-Maududi ialah penulis yang sangat produktif. Dia telah menghasilkan puluhan goresan pena yang berisikan aneka macam pembahasan. Selain karya-karyanya tersebut di atas masih banyak karya-karyanya yang lain.

Pemikiran dan reformasi dari suatu keadaan akan selalu terjadi dimana saja, kapan saja dan dalam bentuk apa saja. Reformasi dalam konteks ini mempunyai ragam dan bentuknya, setidaknya ada tiga kecenderungan dari reformasi itu sendiri.

1. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan sistem dari abad-abad permulaan Islam sebagai sesuatu sistem yang benar dan tentunya sehabis dibersihkan dari bid'ah,

2. Kedua, kecenderungan dalam perjuangan untuk membangun kembali aliran yang benar serta apabila dipandang perlu akan diubahsuaikan dengan pengertian-pengertian dan pemahaman-pemahaman kontemporer, diubahsuaikan dengan zaman dan kebutuhan yang dihadapinya, khususnya yang meliputi segi-segi agama, kesusilaan dan kemasyarakatan. Tentunya bagi mereka yang berupaya untuk memformulasikan sumber-sumber aturan Islam ke dalam realitas sosial serta diubahsuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berkembang dan berubah, maka sangatlah dibutuhkan adanya ijtihad.

3. Ketiga, kecenderungan dalam berpegang teguh kepada dasar-dasar aliran Islam yang diakui pada umumnya, tetapi tidak menutup pintu bagi pandanganp-andangan gres yang biasanya tiba dari Barat.[37]

Dari tiga kecenderungan itu, sanggup diketahui bagaimana konsep yang dibangun Abul A’la al-Maududi dalam pemikiran politiknya sebagaimana yang akan diuraikan pada pembahasan berikut.

C. PEMIKIRAN POLITIK ABU A’LA AL MAUDUDI

1. DASAR PEMIKIRAN

a. Kosmopolitanisme (Tashawwur al-Kaun)

Tentang klarifikasi Abu al-a'la al-maududi pelajaran apa saja yang bisa diambil dari al-Qur'an perihal al-Siyasah -politik-misalnya tashawwur al-Qur’an bahwa Yang Mahakuasa pencipta alam semesta, insan dan apa saja yang bisa bermanfaat untuk manusia[38]. Tashawwur al-Kaun juga disebut dengan konsep alam semesta yang dasar pemikiran al-Madudi yang mendasari konsep yang pertama ini ialah ayat-ayat berikut:

1. Yang Mahakuasa ialah pencipta alam semesta dan pencipta insan di alam ini dengan dilandasi ayat berikut:

2. Yang Mahakuasa ialah pemilik makhluk ini, penguasanya dan yang mengurusi segala urusannya dengan dilandasi ayat berikut:

3. Yang Mahakuasa ialah pemilik kekuasaan yurisdiksi dan kedaulatan aturan tertinggi di alam semesta dengan dilandasi ayat berikut:

b. Al-Hakimiyah al-Ilahiyah

Konsep Al-Hakimiyah al-Ilahiyah atau dengan ungkapan lain kekuasan penuh/mutlak tuhan yang dasar pemikiran al-Madudi yang mendasari konsep yang kedua ini ialah ayat-ayat berikut:

1.      Tuhan pemelihara alam semesta ini pada hakikatnya ialah tuhan insan dan tidak ada jalan lain bagi insan kecuali patuh dan tunduk kepada sifatNya Yang Maha Esa. Ayat yang mendukung permasalahan ini adalah:

2.      Hak untuk mneghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapapun keuali Allah. Karenanya insan wajib taat kepadaNya dan inilah jalan yang benar dan prilaku yang lurus. Ayat yang mendukung permasalahan ini adalah:

3.      Hanya Yang Mahakuasa sendiri yang mempunyai hak mengeluarkan hukum, lantaran Dialah atu-satunya pencipta, sebgaimana firman Yang Mahakuasa berikut

4.      Hanya Yang Mahakuasa sendiri yang mempunyai hak untuk mengeluarkan peraturan-peraturan, lantaran Dialah satu-satunya pemilik. Ayat yang mendukung permasalahan ini adalah:

5.      Hukum Yang Mahakuasa ialah sesuatu yang hak, lantaran Dia sendiri yang mengetahui hakikat segala sesuatu, ditanganNyalah penentuan hidayah yang benar dan penentuan jalan yang sesat dan lurus. Ayat yang mendukung permasalahan ini adalah:

c. Al-Hakimiyah al-Qanuniyah

Selain itu dia juga menegaskan bahwa Undang-undang tertinggi ialah aturan yang telah dibuat oleh sang Maha pencipta Yang Mahakuasa ‘azza wa jalla. Ummat manusi awajib mengikuti undang-undang tersebut serta haram atas seseorang meninggalkan peraturan lain dann mengikuti undang-undang buatan insan lainnya, perundang-undangan yang dibuatnya sendiri atau kecendrungan hawa nafsu. Konsep Al-Hakimiyah al-Qanuniyah atau dengan ungkapan lain kekuasan penuh tuhan dalam mengatur undang-undang makhluk, yang mendasari konsep yang ketiga ini ialah ayat-ayat berikut: [39].

Disamping itu dengan nada keras al-Maududi menegaskan bahwa aturan yang tidak sesuai dengan aturan Yang Mahakuasa bukan hanya salah dan haram saja, tetapi lebih dari itu ialah kekafiran kesesatan dan kefasikan, ia mengutip ayat berikut:

2. TEORI KEDAULATAN TUHAN

Teori “kedaulatan Tuhan” tak sanggup dilepaskan dari konsep theokrasi yang berkembang di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Menurut The Concise Oxford Dictionary yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie istilah theokrasi dikaitkan dengan pemerintahan atau negara yang diperintah oleh Tuhan, baik secara eksklusif maupun melalui kelas kependetaan. Dalam teokrasi Barat ini, konsep “kedaulatan Tuhan” mempunyai arti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan ialah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya kepada raja atau Paus Oleh lantaran mewakili Tuhan, maka segala sikap raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci (ma’shum, infellible). Jadi, negara theokrasi –yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan– merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang menganggap segala sikap mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Maka dari itu, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit. Bahkan berdasarkan Imam Khomeini, tokoh kaum Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep theokrasi Eropa, kesucian para pemimpin/penguasa, berada pada martabat yang sangat tinggi yang bahkan tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat muqarrabin

Dari uraian sekilas ini, nampak teori “kedaulatan Tuhan” sungguh tak sanggup dilepaskan dari konsep theokrasi yang bertentangan dengan Islam. Setidaknya ada tiga poin krusial yang memperlihatkan pertentangan teori “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dengan Islam.

Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa ialah wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam, seorang khalifah dalam negara Khilafah ialah wakil umat bukan wakil Tuhan dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam.

Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma’shum. Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang ma’shum. Bisa saja dia berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar ma’ruf nahi munkar disyariatkan.

Ketiga, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau aturan yang berasal dari dirinya sendirinya, tanpa suatu contoh dan pedoman yang terang dari wahyu Tuhan. Sedang dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syara’ berdasarkan ijtihad yang sahih dengan contoh dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya[44].

Jika dilihat beling perbandingan berkaitan dengan diakomodasinya konsep “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dalam konsep Al-Maududi dengan apa yang di gagas An-Nabhani yang mana ia mengusulkan konsep “kedaulatan di tangan syara”, dan bukannya konsep “kedaulatan Tuhan”. Secara substansial memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat aturan hanya Yang Mahakuasa semata dan insan tidak berhak membuat hukum. Namun di sini terlihat dengan terang bahwa An-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk tidak memakai istilah “kedaulatan Tuhan” yang bisa menjadikan kesalahpahaman. Sikap An-Nabhani tersebut akan sanggup dipahami lantaran dalam teori “kedaulatan Tuhan” terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam.

Walhasil, adanya pertentangan tajam antara “kedaulatan Tuhan” dengan Islam inilah yang kemungkinan membuat An-Nabhani berhati-hati merumuskan konsepnya sebagai “kedaulatan di tangan syara’ “ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan kedaulatan di tangan Yang Mahakuasa (as-siyadah li-llah), demi kejernihan pemikiran.

3. TEORI THEO-DEMOKRASI

Konsep theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul a’la Al-Maududi. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang populer Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.

Konsep theo-demokrasi ialah kemudahan inspirasi theokrasi dengan inspirasi demokrasi. Namun, ini tidak berarti al-Maududi mendapatkan secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan:

Pertama, lantaran menurutnya kedaulatan tertinggi ialah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat aturan (law giver/Law Maker). Manusia tidak berhak membuat hukum.

Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, lantaran partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali ketika Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi[45].

Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang berdasarkan Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi kemudian menyimpulkan,”Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat”[46]

Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, bergotong-royong juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat aturan sendiri atas nama Tuhan[47]. Meskipun demikian, ada anasir theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, berdasarkan Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Yang Mahakuasa SWT.[48]

Walhasil, secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam menyampaikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi ialah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, ibarat diistilahkan Al-Maududi sebagaimana yang dikutip oleh Amien Rais[49] , a limited popular sovereignty under suzerainty of God. Dalam bukunya yang lain sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie, yaitu Islamic Law and Constitution (1962:138-139), Al-Maududi memakai istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam.[50]

Abu a'la al-Maududi beropini bahwa terdapat tiga dasar keyakinan atau anggapan yang melandasi pikiran-pikirannya perihal konsep Negara dalam persfektif Islam yaitu:

1.      Islam ialah agama yang paripurna lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dengan arti di dalam Islam terdapat pula sistem politik. Oleh karenanya dalam kehidupan umat Islam dengan menunjuk kepada pola semasa al khulafa al-Raasyidun sebagai model sistem Negara berdasarkan Islam.

2.      Kekuasaan tertinggi dalam Istilah politik disebut kedaulatan, ialah pada Allah, dan umat insan hanyalah pelaksana-pelaksana kedaulatan Yang Mahakuasa tersebut sebagai khalifah-khalifah Yang Mahakuasa di bumi. Dengan demikian maka kedaulatan rakyat tidak sanggup dibenarkan. Umat insan sebagai pelaksana kedaulatan Yang Mahakuasa harus tunduk pada hukum-hukum sebagaina terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

3.      Sistem politik Islam ialah sistem universal. Dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.

Dari ketiga dasar keyakinan atau anggapan tersebut, maka lahirlah suatu konsep kenegaraan Islam yang pokok-pokonya ialah sebagai berikut:

istem kenegaraan islam tidak sanggup disebut demokrasi, oleh lantaran sistem demokrasi kekuasaan negara itu sepenuhnya ditangan rakyat, dalam arti bahwa undang-undang diubah dan diganti semata-mata berdasarkan pendapat dan keyakinan rakyat. Sistem politik Islam lebih sempurna disebut theokrasi. Akan tetapi berbeda dengan theokrasi di Eropa. Sedangkan teokrasi dalam Islam kekuasaan umat Islam itu berada ditangan umat Islam yang malaksanakannya sesuai al-Qur’an dan Sunnah.

Konsep kenegaraan yang di anut al Maudidi tersebut berawal dari keyakinannya bahwa aliran tauhid yang menjadi dasar dari seluruh aliran Islam, dengan sendirinya membawa implikasi terhadap dianutnya kedaulatan Tuhan di dalam Negara Islam. Kaprikornus tema demokrasi yang selama ini dipakai, diganti dengan tema tauhid. Dalam tauhid ada kebebasan manusia, ada ratifikasi bahwa suatu kelompok insan dihentikan menindas kelompok yang lain. Hal tersebut bisa dimaklumi kemudian bila buku-buku mutakhir pemikiran Islam, tidak lagi memakai istilah demokrasi, tetapi meluaskan makna tauhid.

 Pemerintah atau tubuh direktur hanya dibuat oleh umat Islam, dan pada merekalah hak untuk memecatnya dari jabatannya. Demikian juga penyelesaian soal-soal (kenegaraan) Islam harus diputuskan oleh janji umat Islam.

Sistem politik Islam ialah sistem konstitusional yang dibuat atas syarat-syarat yang digariskan oleh syariah, yang merupakan sistem kehidupan yang lengkap dan meliputi semua tatanan sosial. Syariah berdasarkan al maududi ialah problem yang meyentu pada aspek ritual-ritual keagamaan, huruf pribadi, moral, kebiasaan-kebiasaan, hubungan keluarga, unsur-unsur sosial dan ekonomi, hak-hak dan kewajiban warga, sistem hukum, aturan perang dan tenang serta hubungan internasional.

Menurut al Maududi syariah tidak menkhususkan sifat-sifat stuktural dan fungsi-fungsi sistem politik. Umat Islam seharusnya mengenbankan metode-metode yang sempurna untuk pelaksanaan aturan Islam, arah metode tersebut tidak bertentangan dengan perintah-perintah syariah, konsekwensinya para sarjana muslim, dengan mengunakan ijtihad mendukung prinsip peleburan kekuasaan sebagai metode yang paling sempurna untuk merealisasikan kehendak Yang Mahakuasa SWT. Ajaran ini merupakan sumbangan Islam terpenting, terutama bagi teori politik, peleburan kekuasaan ini menghendaki lembaga-lembaga eksekutif, legeslatif dan yudikatif harus saling melengkapi dan menjalankan fungsi melakukan kekuasaan otoritatif, memetahkan kebijakan-kebijakan, menjalankan kekuasaan-kekuasaan menuntaskan perselisihan yang timbul dari kekuasaan yang dijalankan.

Kekuasaan negara dilakukan oleh tiga forum atau badan-badan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif, ialah ketentuan sebagai berikut:

a.       Kepala negara juga merangkap kepala direktur merupakan pimpinan tertinggi Negara yang bertanggung jawab kepada Yang Mahakuasa dan kepada rakyatnya. Dalam melakukan tugasnya dia harus berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapatkan kepercayaan dari umat Islam atau forum legislative.

b.      Keputusan pada majelis syura pada umumnya diambil atas dasar bunyi terbanyak, dengan catatan bahwa berdasarkan Islam banyaknya bunyi bukan ukuran kebenaran.

c.       Kepala Negara tidak harus mengikuti pendapat majelis yang didukung oleh bunyi terbanyak. Dia sanggup mengambil pendapat yang dilakukan oleh kelompok kecil dari majelis, atau bahkan tidak menghiraukan sama sekali pendapat-pendapat majelis, baik lebih banyak didominasi atau minoritas.

d.      Untuk jabatan kepala Negara, untuk keanggotaan majelis syura atau untuk jabatan-jabatan penting yang lain, jagan dipilih orang yang mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan tersebut atau mereka yang berupaya untuk menduduki jabatan-jabatan lainnya, lantaran berdasarkan Abu a’la al-Maududi pesan nabi dia tidak akan menyerahkan jabatan kepada seseorang yang meminta untuk berusaha mendapatkan jabatan itu.

e.       Anggota majelis syura tidak dibenarkan terbagi dalam kelompok-kelompok atau partai-partai masing-masing majelis harus mengemukakan pendapatnya yang benar sebagai perorangan, Islam melarang angota majelis terbagi dalam partai-partai dan kalau harus ada partai hanyalah satu partai, yaitu partai kepala Negara (pemerintah).

f.       Badan Yudikatif atau forum peradilan itu sepenuhnya berada di luar forum direktur yang berarti mandiri, oleh lantaran itu hakim tugasnya ialah melakukan hukum-hukum Yang Mahakuasa atas hamba-hambanya, bukan mewakili atas nama kepala Negara, tetapi mewakili atas nama Allah.

Menurut Abu a’la al-Maududi ada lima syarat yang harus dimiliki oleh seorang untuk dipilih menjadi kepalah Negara adalah:

a. Beragama Islam

b. Laki-Laki

c. Dewasa

d. Sehat Fisik dan Mental

e. Warga Negara terbaik (Shaleh dan komitmen terhadap Islam).

Keanggotaan majelis syura terdiri dari warga Negara yang beragama Islam, sampaumur dan pria yang terhitung fasih serta cukup terlatih untuk sanggup menafsirkan dan menerapkan syariat-syariat Islam serta menyusun undang-undang yang tak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunah Nabi. Selanjutnya kiprah majelis syura sebagai berikut :

a.    Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara terang dalam al Qur’an dan hadits, serta peraturan pelaksanaannya.

b.    Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al Qur’an atau hadits, maka harus sanggup menetapkan mana yang lebih sempurna untuk ditetapkan.

c.    Jika terdapat petunjuk yang jelas, maka penentuan aturan dilakukandengan memperhatikan petunjuk umum dari al Qur’an.

Dalam negara Islam, terdapat dua kategori kewarganegaraan ; warga negara muslim dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan sumbangan dari negara, hak serta kewajiban tertentu, ibarat hak untuk beribadah berdasarkan aliran agamanya. Dalam perkara keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, mereka tunduk kepada aturan Islam sebagai aturan mayoritas.[51]

4. BENTUK DAN KARASTERISTIK NEGARA ISLAM

Bentuk negara Islam berdasarkan al-Maududi sanggup disebut dengan Kingdom of God.[52] Teokrasi Islam menurutnya berbeda dengan teokrasi yang pernah diterapkan oleh negara-negara di Eropa dimana negara dikuasai oleh sekelompok pendeta yang mendominasi negara dan menegakkan hukum-hukumnya sendiri atas nama Tuhan, dan memaksakan aturan tersebut kepada rakyat untuk kepentingan kelompok tertentu. Teokrasi dalam Islam tidak dikuasai oleh kelompok-kelopok tertentu, tetapi dikuasai oleh seluruh masyarakat Islam. Sistem ini menyatukan antara sistem teokrasi dan demokrasi. Sistem pemerintahan demokrasi ilahi ini lantaran kaum muslimin mempunyai kedaulatan rakyat tetapi terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Undang-undang dalam negara Islam secara pokok telah ditentukan oleh Allah, sementara hal-hal yang bersifat spesifik dan tidak tecantum dalam syari’ah diselesaikan berdasarkan musyawarah dan mufakat secara konsensus di kalangan umat muslim.

Karasteristik lain negara Islam berdasarkan al-Maududi ialah negara yang ideologis.[53] Negara Islam berdiri berdasarkan ideologi Islam dan bertujuan untuk menegakkan ideologi tersebut. Oleh lantaran itu, para penyelenggara negara wajib diduduki oleh orang-orang yang menjunjung tinggi ideologi Islam dan hukum-hukum ilahi, serta sepenuhnya menghayati dan memahami setiap rinciannya. Berdasarkan ideologi ini, maka Islam tidak mengakui perbedaan geografi, suku, bahasa, ras, bahkan agama. Setiap penduduk diberi kebebasan hidup dan dilindungi tanpa membedakan antara kaum lebih banyak didominasi maupun minoritas. Hal ini berbeda dengan ideologis yang diterapkan di negara komunis yang memaksakan kehendak kepada penganut keyakinan-keyakinan yang berbeda dengan keyakinan negara, bahkan membasmi kaum minoritas yang bertentangan dengan kaum mayoritas.

Hukum Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya merupakan kekuasaan legislatif dan kedaulatan tertinggi dalam negara Islam, selanjutnya mengenai penerapannya secara terperinci diserahkan kepada masyarakat muslim yang dianggap layak dan terpercaya. Ada empat sumber konstitusi negara Islam yang diangkat oleh al-Maududi[54]:

1.      Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan yang paling utama.

2.      Sunnah Rasul yang memperlihatkan bagaimana caranya Rasulullah menjabarkan ideologi Islam berdasarkan al-Qur’an ke dalam bentuk praktisnya.

3.      Konvensi para Khulafa’ur Rasyidin yang menggambarkan bagaiman para khalifah mengelola negara Islam sehabis wafatnya Rasulullah,

4.      Ketentuan para fuqaha ternama.

Tujuan dari penegakan Daulah Islamiyah terdiri dari dua hal:

o   pertama: menegakkan keadilan yang berdiri diatas landasan kebenaran dan menjauhkan diri dari kedzaliman,

o   kedua: menegakkan shalat dan menunaikan zakat dengan cara yang diatur oleh eksekusi setempat[55].

Beberapa ciri khas negara Islam lainnya dalam pandangan al-Maududi ialah sebagai berikut:[56]

1.      Negara didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdekan dan tunduk kepada Tuhan penguasa alam. Pemimpin tertinggi bukan merupakan penguasa tertinggi dan bekerja menurt hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.

2.      Kekuasaan dan kedaulatan aturan tertinggi sepenuhnya milik Allah. Untuk menegakkan dan penerapannya diserahkan kepada al-hall wal-aqd secara kolektif sebagai perwakilan Allah.

3.      Sistem yang dianut oleh negara Islam hampir sama dengan pokok-pokok demokrasi dimana terbentuknya pemerintah, pelaksanaannya, serta pergantian kekuasaan harus sesuai dengan pendapat rakyat. Tetapi dalam sistem ini kewenangan rakyat terbatas dan diatur oleh peraturan Yang Mahakuasa dan RasulNya yang merupakan undang-undang tertinggi.

4.      Penyelenggara negara diserahkan kepada orang-orang yang terpercaya oleh rakyat, sehingga masyarakat sanggup mendapatkan gagasan-gagasannya, prinsip-prinsipnya, dan teori-teori asasinya.

5.      Negara berdasarkan ideologi dan tidak berdasarkan ikatan-ikatan geografis, keturunan, suku,, agama, ras, bahasa, maupun ikatan hubungan lainnya.

6.      Negara Islam dijiwai oleh ketaqwaan dan akhlaq, sehingga setiap urusan dalam negeri sanggup ditegakkan atas dasar amanat, keadilan, ketulusan, dan persamaan.

7.      Sasaran dan tujuan negara yang utama ialah menyeru kepada kebaikan, keadilan sosial, mencegah kemungkaran dan memberantas kejahatan.

8.      Nilai-nilai asasi negara ini ialah persamaan hak, gotong royong dalam kebaikan dan ketakwaan, kesesuaian antara kepentingan individu dan masyarakat, serta persamaan kedudukan dalam undang-undang.

9.      Keseimbangan antara hak negara dan hak individu, sehingga tidak menjadikan negara sebagai penguasa mutlak dan sebaliknya tidak menjadikan individu sanggup bertindak apa saja sesuai kehendak dan kepentingannya sendiri.

Kemudian al maududi menjelaskan perihal dasar-dasar aturan Islam yang terangkum dalam 9 poin yaitu:

1. Menjunjung tinggi dustur ilahi.

2. Adil diantara umat manusia.

3. Prinsip persamaan diantara kaum muslimin.

4. Tanggung jawab pemegang kekuasaan.

5. As-Syura.

6. Taat dalam hal kebaikan

7. Anjuran untuk tidak meminta kekuasaan

8. Tujuan adanya negara Islam

9. Al-amr bil ma’ruf wa nahyu an al-Munkar.

5. PEMBAGIAN KEKUASAAN

Dalam menjalankan negara, al-Maududi membagi kekuasaan penyelenggara negara kedalam tiga wilayah kekuasaan; legislatif, eksekutif, dan yudikatif (trias politica).[57]Kekuasaan legislatif merupakan forum yang mempunyai wewenang untuk membentuk undang-undang. Undang-undang tertinggi dalam negara Islam ialah al-Qur’an dan Sunnah, sehingga Yang Mahakuasa merupakan pemegang legislasi yang mutlak. Undang-undang Yang Mahakuasa ini memuat pokok-pokok aliran yang mencangkup seluruh kehidupan masyarakat secara umum, oleh lantaran itu dalam penerapannya secara khusus dan spesifik diharapkan sebuah forum pemberi fatwa berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Lembaga ini oleh al-Maududi disebut dengan ahlul hal wal aqd, yang berfungsi:

  1. Menegakkan syari’at Islam dalam bentuk peraturan-peraturan dan undang-undang dengan istilah-istilah dan definisi-definisi yang relevan.

  1. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah yang mempunyai kemungkinan interpretasi lebih dari satu. Lembaga legislatif mempunyai hak menetapkan penafsiran mana yang harus digunakan dan ditetapkan sebagai undang-undng negara.

  1. Mencari kekuatan aturan dari keempat sumber aturan ibarat yang telah dijelaskan diatas. Lembaga legislatif dalam menetapkan sebuah peraturan harus mempunyai landasan aturan secara berturut-turut dan al-Qur’an, Sunnah, konvensi Khulafa’ur Rasyidin, kemudian fatwa fuqaha.

  1. Apabila tidak terdapat pada keempat sumber aturan ini, maka forum legislatif berhak untuk berijtihad dan merumuskan aturan sesuai dengan syari’at Islam

Kekuasaan direktur sebagai penyelenggara undang-undang. Menurut al-Maududi forum ini dalam al-Qur’an disebut dengan ulul-amri dan umara yang harus ditaati oleh segenap penduduk di negara tersebut. Lembaga direktur mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan dan menerapkan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh forum legislatif pada kehidupan bermasyarakat.

Lembaga legislatif membuat undang-undang, forum direktur menyelenggarakan undang-undang tersebut, sementara untuk menjaga semoga undang-undang tersebut terealisasi ialah forum yudikatif. Lembaga ini diisi oleh para qada yang betugas sebagai hakim dengan mendasarkan keputusan mereka kepada undang-undang yang berlaku. Lembaga ini bertugas untuk menegakkan syari’at Islam pada kehidupan masyarakat, dan mempunyai kewenangan untuk menyampaikan eksekusi bagi para pelanggarnya.

6. KEPALA NEGARA DAN PEJABAT PEMERINTAH

Dalam negara Islam, pemilihan kepala negara sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat umum.[58] Untuk menjadi seorang kepala negara, tak seorang pun berhak untuk merebut kekuasaan dengan cara-cara kekerasan dan paksaan. Kekuasaan pun tidak hanya diserahkan kepada sebuah kelompok sehingga sanggup dimonopoli untuk kepentingan mereka, oleh lantaran itu pemilihan dilaksanakan berdasarkan prinsip dan kehendak umat muslim.

Adapun tata cara pemilihan khalifah tidak ditentukan eksklusif oleh al-Maududi. Ia tidak membatasi dengan satu konsep tetap, melainkan membebaskan kepada kaum muslimin untuk menunjuk kepala negara dengan aneka macam cara yang sesuai dengan keadaan dan situasi negara pada ketika itu. Adapun dalam menentukan ulil-Amri, perlu memperhatikan beberapa hal berikut untuk melakukan tatanan negara:[59]

1.      Para ulil-amri yang dipilih haruslah orang yang benar-benar terpercaya, bertanggung jawab serta bisa melakukan amanat yang diembankan kepadanya.

2.      Mereka tidak terdiri dari orang-orang zalim, fajir, lalai akan Allah, dan melanggar batasan-batasannya. Para ulil-amri yang ditunjuk haruslah seorang mukmin yang bertaqwa dan berinfak shaleh.

3.      Mempunyai ilmu pengetahuan luas, berakal sehat, cerdas, arif, mempunyai kemampuan intelektual dan fisik untuk memikul tanggung jawabnya.

4.      Ulil-amri haruslah orang yang benar-benar menjaga amanat, sehingga sanggup diberikan tanggung jawab dengan kondusif dan tanpa keraguan.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pejabat pemerintahan ialah beragama Islam, laki-laki, sampaumur (baligh) berakal sehat, serta merupakan seorang warga negara dari negara Islam.[60] Keempat syarat ini hanya merupakan syarat umum yang harus dimiliki oleh setiap pejabat pemerintah. Syarat ini tidak menutup adanya syarat lain yang diajukan oleh forum legislatif, komisi pemilihan, maupun oleh rakyat.