Kemerdekaan Indonesia

HABIB RIZIEQ SHIHAB: JANGAN INGKARI SEJARAH KEMERDEKAAN INI NEGERI ISLAM!

Jakarta (SI Online) - Dalam suasana kemerdekaan Indonesia, redaksi sengaja menurunkan kembali goresan pena seputar sejarah bangsa ini yang sebelumnya pernah dimuat. Adalah Habib Muhammad Rizieq Syihab MA, seorang ulama sekaligus kandidat doktor juga pemimpin umat yang bisa mengkombinasikan kemampuan berbicara/berceramah dengan kemahiran menulis.

Dengan bukunya yang ilmiah perihal pelurusan sejarah dan dasar negara Indonesia yang berjudul "Wawasan Kebangsaan, Menuju NKRI Bersyariah" telah membongkar bagaimana dan seharusnya bentuk negara ini.

Dalam pertemuan tokoh umat Islam beberapa waktu lalu, secara singkat Habib Rizieq menguraikan sejarah, bahwa ketika perdebatan perihal Dasar Negara sebelum kemerdekaan diproklamirkan, Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno mengajukan usulannya.

Pada tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Muhammad Yamin mengusulkan Lima Dasar Negara tanpa memakai istilah Pancasila. Lima Dasar Negara tawaran M. Yamin adalah: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan, 3. Peri Ketuhanan, 4. Peri Kerakyatan, 5. Kesejahteraan Sosial.

Pada sidang terakhir BPUPKI 1 Juni 1945 Soekarno mengajukan Lima Dasar: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Keadilan Sosial, 5. Ketuhanan. “Baik tawaran Soepomo, Yamin maupun ‘Pancasilanya Soekarno’, itu tidak pernah menjadi janji maupun keputusan BPUPKI,” kata Habib Rizieq.

Kata Habib Rizieq, sidang berjalan alot. BPUPKI terbelah antara kelompok sekuler dengan kelompok Islam. Kelompok Islam sudah tentu menginginkan Negara berdasarkan Islam, dan ditentang kelompok sekuler. Akhirnya sidang membentuk Panitia Sembilan. “Ada empat ulama dalam Panitia Sembilan ini, yaitu KH Abdul Wahid Hasyim (NU), KH Abdul Qohar Muzakkir (Muhammadiyah), KH Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso, keduanya dari Syarikat Islam,” ujar Habib Rizieq. Sementara golongan sekuler diwakili Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Ahmad Soebardjo. Dan, kalangan Nasrani diwakili A.A Maramis.

Habib Rizieq menegaskan, justru Panitia Sembilan yang berhasil tetapkan Dasar Negara yang dibingkai dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Lima Dasar Negara itu adalah: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat akal dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Malah sebelumnya, suara sila pertama versi Piagam Jakarta itu adalah: ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’, tanpa diikuti kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’. Tetapi kemudian muncul kompromi dengan menambah kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’.

Disepakati pula ketika proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta ini secara resmi akan dibacakan. Tapi, kata Habib Rizieq, terjadi penelikungan. Pada 17 Agustus 1945 itu bukan Piagam Jakarta yang secara resmi dibacakan, melainkan secara dadakan Soekarno menciptakan teks proklamasi dengan singkat lewat goresan pena tangan. Teks proklamasi dadakan dan singkat inilah yang dibacakan untuk proklamasi kemerdekaan sebagaimana dikenal hingga sekarang.

Parahnya lagi, pada keesokan harinya, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang, dan terjadilah terjadi pengkhianatan. Tanpa melibatkan wakil-wakil Islam sebagaimana dalam sidang BPUPKI sebelumnya, terjadilah pencoretan tujuh kata dalam sila pertama yang berbunyi: ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.

Dalih bahwa kalangan Nasrani Indonesia Timur akan menarik diri dari NKRI jikalau Piagam Jakarta dideklarasikan menyerupai disampaikan Hatta yang, katanya, menerima gosip dari opsir Jepang, berdasarkan sejarawan dan budayawan Ridwan Saidi, itu dusta belaka. Tak ada faktanya.

Tanpa melibatkan wakil-wakil islam dalam pengakuan Dasar Negara Pancasila yang berbeda dengan Piagam Jakarta, sesungguhnya sidang PPKI 18 Agustus 1945 itu tidak sah. Jadi, bergotong-royong hingga kini jikalau umat Islam menegakkan syariat Islam di republik ini yaitu sah. Yang berlawanan atau menentang, justru masuk kategori subversif.

Toh, meskipun demikian, kata Habib Rizieq, sila pertama yang diganti (tanpa melibatkan wakil-wakil Islam) menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”, itu pun terang maksudnya Tuhan Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Esa itu hanya ada dalam Islam. Ditambah lagi ditegaskan dalam Muqaddimah Undang-Undang Dasar 1945 pada alenia ketiga: “Atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa”, ini terang merujuk kepada Islam.

Dengan pengkhianatan ini, sesungguhnya sidang PPKI yang tak melibatkan wakil-wakil Islam yang sudah menyepakati Piagam Jakarta bersama kelompok sekuler dan satu orang wakil dari golongan Kristen, yaitu tidak sah. Dasar Negara yang sah yaitu yang disepakati dan ditandatangani pada 22 Juni 1945 yang terdapat dalam Piagam Jakarta. “Historisnya, Pancasilanya Soekarno ditolak. Yang disepakati yaitu Dasar Negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta,” ungkap Habib Rizieq.

Lantas, kata Habib Rizieq, bagaimana ceritanya ujuk-ujuk Indonesia disebut sebagai Negara Demokrasi? Pancasila yang dijadikan sebagai Dasar Negara (lewat pengkhianatan) itu tidak menyebut republik ini sebagai sebagai Negara Demokrasi. Tapi, lucunya, ungkap Habib Rizieq, Soekarno pernah mendeklarasikan Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin untuk tujuan melindungi Komunisme. Sementara Soeharto mendeklare Demokrasi Pancasila untuk melindungi Kebatinan.

Habib Rizieq menceritakan, ia pernah menerima kunjungan dari beberapa jenderal membahas soal ini. Menurut para jenderal itu, Indonesia yaitu Negara Demokrasi. Lalu, ujar Habib Rizieq, tidak ada kata-kata atau kalimat dalam Pancasila atau Undang-Undang Dasar 45 yang menawarkan Indonesia sebagai Negara Demokrasi. “Ada,” jawab para jenderal itu, “Dalam Pancasila sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat akal dalam permusyawaratan/perwakilan itu maksudnya yaitu demokrasi.”……. “Itu Musyawarah. Musyawarah itu berbeda dengan Demokrasi,” kata Habib Rizieq kepada para jenderal itu. Kemudian Habib Rizieq menguraikan beda Musyawarah dengan Demokrasi.

Akhirnya, dongeng Habib Rizieq, jenderal-jenderal itu mengangguk bahwa Indonesia bukan Negara Demokrasi, melainkan, semestinya disebut Negara Musyawarah. Celakanya lagi, kata Habib Rizieq, jikalau Soekarno mendeklare Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin dan Soeharto memaksakan istilah Demokrasi Pancasila, eh di kala “reformasi” kian parah. Ada liberalisasi Pancasila. Pancasila diliberalkan.

Sebut misalnya, pemilihan presiden eksklusif atau kepala kawasan yang dipilih langsung, itu justru bertentangan dengan sila keempat Pancasila yang menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dalam konteks ini, berdasarkan Habib Rizieq, ada unsur kesengajaan dengan mengorupsi terminologi (istilah). Kelompok sekuler menafsirkan seenaknya, sehingga kata Musyawarah ditafsirkan sebagai Demokrasi.

Dalam hal ini, Habib Rizieq menambahkan, termasuk, misalnya, penggunaan istilah parlemen, itu juga untuk mengaburkan kata Musyawarah dan Perwakilan. “Jangan sebut parlemen, tapi dewan perwakilan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),” tegasnya.

Ini bermula dari pengkhianatan terhadap Islam dan kaum Muslimin yang berkuah darah bermandikan keringat dalam merebut kemerdekaan republik ini. Umat Islam sebagai pemegang saham lebih banyak didominasi negeri ini yaitu yang berhak tetapkan Dasar Negara dan mengisi pembangunan republik dengan landasan syariat islam.

Jika ada pihak yang mengatakan, ini bukan Negara Islam, kalau ente mau menegakkan syariat Islam di Negara ini, dan tidak suka dengan kondisi Indonesia sekarang, ‘silakan keluar’, maka, kata Habib Rizieq, justru sebaliknya, merekalah yang harus keluar. Sebab, penetapan Dasar Negara Indonesia yang dibingkai dalam Piagam Jakarta itulah yang sah, sebab disepakati dan ditandatangani oleh para pendiri bangsa ini, tapi terjadi penelikungan dan pengkhianatan pada 18 Agustus 1945, sehari sehabis proklamasi kemerdekaan—dimana teks proklamasi yang semestinya yaitu pembacaan Piagam Jakarta secara resmi oleh Soekarno, bukan teks proklamasi dadakan hasil dari goresan pena tangan presiden pertama RI itu.

Bahkan, tak hanya menyepakati Dasar Negara dalam bingkai Piagam Jakarta, umat Islamlah yang bermandikan darah bercucuran keringat untuk merebut dan memerdekakan republik ini. Jadi, masuk nalar jikalau kaum Muslimin yaitu yang paling berhak mengatur negeri ini. Ini historis. Jangan mengingkari sejarah! Ini negeri Islam. Jadi, kata Habib Rizieq, umat Islam harus mengisi negeri ini dengan syariat Islam, bukan malah minggir apalagi keluar dari NKRI.

Jadi, apapun ceritanya, mengungkap historis perjalanan bangsa dan Negara ini, lebih dari itu, Indonesia bergotong-royong yaitu Negara yang berdasarkan Islam, setidaknya bagi pemeluk-pemeluknya diwajibkan menjalankan dan menegakkan syariat Islam di persada ini. Yang protes dan menghalangi, jutsru menentang janji ditandatanganinya perumusan Dasar Negara dalam Piagam Jakarta!

Kalaupun tak mengacu pada Piagam Jakarta, Negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni Tuhan Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Maha Esa itu yaitu Allah. Ditambah lagi dalam Muqaddimah Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan, republik ini merdeka “Atas Berkat Rahmat Allah…” Bahkan, imbuh Habib Rizieq, dalam batang badan Undang-Undang Dasar 45 pasal 29 ayat 1 dipertegas lagi, ”Negara berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jadi, kata Habib Rizieq, sungguh sangat sah jikalau Indonesia berada dalam NKRI Bersyariah -Negara Kesatuan yang melakukan dan menegakkan syariat Islam. Negara yang berlandaskan Islam, menjalankan syariat Islam, setidaknya bagi para pemeluknya- dan bukan Negara Pancasila, apalagi Negara Demokrasi.