Tata Cara Sholat Gerhana Matahari

Islam Mengatur segala kehiduan Manusia mulai dari bangun tidur hingga dengan tidur kembali...... Maraknya pemberitaan akan terjadinya Gerhana Matahari di Indonesia, Jauh sebelumnya Islam telah menngungkapkan hal itu, dan Islam juga mengatur tata cara kita apabila menemui Gerhana Matahari.
 Berikut ini  hal-hal yang di lakukan seorang Muslim apabila menjumpai Gerhana Matahari.

Bagi yang Menyaksikan Gerhana Hendaklah Melaksanakan Shalat Gerhana


Jika seseorang menyaksikan gerhana, hendaklah ia melaksanakan shalat gerhana sebagaimana tata cara yang nanti akan kami utarakan, insya Allah.
Lalu apa aturan shalat gerhana? Pendapat yang terkuat, bagi siapa saja yang melihat gerhana dengan mata telanjang, maka ia wajib melaksanakan shalat gerhana.
Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan shalat.”
Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal berdasarkan kaedah ushul fiqih, aturan asal perintah ialah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.

Catatan: Jika di suatu tempat tidak nampak gerhana, maka tidak ada keharusan melaksanakan shalat gerhana. Karena shalat gerhana ini diharuskan bagi siapa saja yang melihatnya sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana ialah mulai ketika gerhana muncul hingga gerhana tersebut hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan ialah dua tanda di antara gejala kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi lantaran janjkematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, kemudian shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).”
 
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jikalau gerhana muncul sesudah Ashar, padahal waktu tersebut ialah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.
Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.

Hal-hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana

Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan ialah dua tanda di antara gejala kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi lantaran janjkematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
 
Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.
Salah satu dalil yang memperlihatkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bersama-sama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari kemudian terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang erat dengan masjid), kemudian ia berdiri dan menunaikan shalat.6 Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ.
Islam Mengatur segala kehiduan Manusia mulai dari bangun tidur hingga dengan tidur kembali Tata Cara Sholat Gerhana Matahari
 
Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan pedoman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih sempurna dilaksanakan di tanah lapang biar nanti lebih gampang melihat berakhirnya gerhana.”
Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan klarifikasi menarik berikut.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini ialah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah”

Dalam hadits ini, ia shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh lantaran itu, hal ini memperlihatkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melaksanakan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jikalau shalat tersebut dilaksanakan di masjid lantaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sobat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga ialah alasannya ialah terijabahnya (terkabulnya) do’a.”10

Ketiga: perempuan juga boleh shalat gerhana bersama kaum laki-laki

Dari Asma` binti Abi Bakr, ia berkata,
أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ

“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu insan tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melaksanakan sholat, saya bertanya: “Kenapa orang-orang ini?” Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, “Subhanallah (Maha Suci Allah)”. Saya bertanya: “Tanda (gerhana)?” Aisyah kemudian memperlihatkan arahan untuk menyampaikan iya.”
Bukhari membawakan hadits ini pada bab:
صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ

”Shalat perempuan bersama kaum laki-laki ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,
أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى

”Judul cuilan ini ialah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang perempuan dilarang shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.”12

Kesimpulannya, perempuan boleh ikut serta melaksanakan shalat gerhana bersama kaum laki-laki di masjid. Namun, jikalau ditakutkan keluarnya perempuan tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah.

Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan ’ash sholatu jaami’ah’ dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, ia mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau kemudian mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi kemudian maju dan bertakbir. Beliau melaksanakan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.”14 Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.

Kelima: berkhutbah sesudah shalat gerhana

Disunnahkah sesudah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat15. Hal ini berdasarkan hadits:

عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:

” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.

Dari Aisyah, ia menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ia shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dan mengimami insan dan ia memanjangkan berdiri. Kemuadian ia ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian ia berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian ia ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian ia sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, ia mengerjakannya menyerupai raka’at pertama. Lantas ia beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.

Setelah itu ia berkhotbah di hadapan orang banyak, ia memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda,
”Sesungguhnya matahari dan bulan ialah dua tanda di antara gejala kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi lantaran janjkematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda,
”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Tuhan lantaran ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jikalau kalian mengetahui yang saya ketahui, pasti kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”16

Khutbah yang dilakukan ialah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.17

Tata Cara Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan komitmen para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.
Ada yang menyampaikan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang beropini bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih berpengaruh sebagaimana yang dipilih oleh lebih banyak didominasi ulama.18
Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau kemudian mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi kemudian maju dan bertakbir. Beliau melaksanakan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.”19

“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ia shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dan mengimami insan dan ia memanjangkan berdiri. Kemuadian ia ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian ia berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian ia ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian ia sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya ia mengerjakannya menyerupai raka’at pertama. Lantas ia beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.”20

Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama menyerupai shalat biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya sebagai berikut.:
1. Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan lantaran melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan ia shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.
2. Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
3. Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

4. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya
.
5. Kemudian bangun dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
6. Setelah i’tidal ini tidak pribadi sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

7. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
8. Kemudian bangun dari ruku’ (i’tidal).
9. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, kemudian duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
10. Kemudian bangun dari sujud kemudian mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
11. Tasyahud.
12. Salam.
13. Setelah itu imam memberikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi ajuan untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. 21


Nasehat Terakhir
Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang sempurna ketika fenomena gerhana ini ialah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang menyerupai kebiasaan orang kini ini yang hanya ingin menyaksikan kejadian gerhana dengan menciptakan album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan permintaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu kejadian ini ialah tanda datangnya peristiwa atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut lantaran khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga ia pun mendatangi masjid kemudian ia mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat ia melaksanakan shalat sedemikian rupa.”

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini ialah gejala kekuasaan Tuhan yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi lantaran janjkematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Tuhan mengakibatkan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.”

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya: Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum gejala final zaman menyerupai terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat.

Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa ia shallallahu ’alaihi wa sallam ialah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.