Fonomena Gerhana Matahari Berdasarkan Islam

Ada informasi menarik yang kami peroleh dari beberapa situs. Berita tersebut adalah:

Akhirnya, sesudah sekian lama, gerhana matahari akan segera menyapa Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, 3 gerhana matahari secara berturut-turut akan melewati Indonesia dalam rentang waktu 2009 – 2010. Sayangnya, tidak semua potongan di wilayah Indonesia sanggup melihat fenomena ini. Karena, ketiga gerhana ini cuman melewati potongan barat dan/atau utara indonesia.

Tahun 2009 tercatat ada dua gerhana yang akan melewati Indonesia, yaitu pada tanggal 26 Januari dan 21-22 Juli, sementara itu, gerhana matahari akan kembali menyenggol kita pada tanggal 15 Januari 2010.

Fenomena ini sangat disayangkan untuk dilewatkan, lantaran gerhana matahari gres akan menyapa kita kembali pada tahun 2016.

Gerhana tanggal 26 Januari sanggup dilihat oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia (Dari Banda Aceh hingga Ambon), beruntunglah mereka yang tinggal di kawasan Lampung, Samarinda, dan Teluk betung, lantaran bulan menutup hampir seluruh potongan matahari. Gerhana ini terjadi pada waktu sore hari sekitaran pukul 3 – 4.

Yang perlu diperhatikan dari jenis gerhana ini yakni jenis gerhana ini yakni gerhana matahari anular (bukan total) artinya ukuran bulan tidak cukup besar untuk menutupi seluruh priringan matahari berbeda dengan gerhana matahari total dimana bulan menutupi seluruh piringan matahari. Jadi, untuk melihatnya, perlu dipakai lensa pelindung mata, serta bagi fotografer, ingat untuk melindungi lensa kameranya sebelum mengabadikan fenomena langka ini. (sumber: http://www.indoforum.org)

Bagaimana Islam menghadapi moment semacam ini? Tentu saja, bukan hanya melewatkannya dengan berfoto-foto ria. Islam punya tuntunan sendiri dalam hal ini sebagaimana yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Simak pembahasan berikut ini.

Keyakinan Keliru

Banyak masyarakat awam yang tidak paham bagaimana menghadapi fenomena alami ini. Banyak di antara mereka yang mengaitkan insiden alam ini dengan mitos-mitos dan keyakinan khurofat yang menyelisihi aqidah yang benar. Di antaranya, ada yang meyakini bahwa di ketika terjadinya gerhana, ada sesosok raksasa besar yang sedang berupaya menelan matahari sehingga perempuan yang hamil disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur dan masyarakat menumbuk lesung dan alu untuk mengusir raksasa.

Ada juga masyarakat yang meyakini bahwa bulan dan matahari yakni sepasang kekasih, sehingga apabila mereka berdekatan maka akan saling memadu kasih sehingga timbullah gerhana sebagai bentuk percintaan mereka.

Sebagian masyarakat seringkali mengaitkan insiden gerhana dengan kejadian-kejadian tertentu, menyerupai adanya maut atau kelahiran, dan kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membantah keyakinan orang Arab tadi. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

”Sesungguhnya matahari dan bulan yakni dua tanda di antara gejala kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi lantaran maut seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat gerhana tersebut, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)

Memang pada ketika terjadinya gerhana matahari, bertepatan dengan meninggalnya anak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang berjulukan Ibrahim. Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, dia berkata,

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »

”Di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari ketika hari maut Ibrahim. Kemudian orang-orang menyampaikan bahwa munculnya gerhana ini lantaran maut Ibrahim. Lantas Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi lantaran maut atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalat dan berdo’alah.’” (HR. Bukhari no. 1043)

Ibrahim yakni anak dari budak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang berjulukan Mariyah Al Qibthiyyah Al Mishriyyah. Ibrahim hidup selama 18 bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempunyai anak kecuali dari Khadijah dan budak ini. Tatkala Ibrahim meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetaskan air mata dan begitu sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyampaikan ketika maut anaknya ini,

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ ، وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا ، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

”Air mata ini mengalir dan hati ini bersedih. Kami tidak menyampaikan kecuali yang diridhoi Allah. Sungguh -wahai Ibrahim-karena kepergianmu ini, kami bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303) (Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 2/305, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H)

Itulah keyakinan-keyakinan keliru yang seharusnya tidak dimiliki seorang muslim ketika terjadi fenomena semacam ini. Selanjutnya kami akan menjelaskan mengenai gerhana, shalat gerhana dan hal-hal yang mesti kita lakukan ketika itu. Kami tidak ingin berpanjang-panjang lebar mengenai hal ini. Kami cukup memberikan secara ringkas, sehingga pembaca sanggup lebih gampang memahami.

Apa yang Dimaksud Dengan Gerhana Matahari?

Kalau dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang pernah kita pelajari dahulu, fenomena gerhana matahari yakni menyerupai pada gambar ini. 
 Ada informasi menarik yang kami peroleh dari beberapa situs Fonomena Gerhana Matahari Menurut Islam
Posisi gerhana matahari yakni bulan berada di tengah-tengah antara matahari dan bumi. Jadi, bulan ketika itu menghalangi sinar matahari yang akan hingga ke bumi. Ini citra singkat mengenai gerhana matahari.

Menurut pakar bahasa Arab, mereka menyampaikan bahwa kusuf yakni terhalangnya cahaya matahari atau berkurangnya cahaya matahari disebabkan bulan yang terletak di antara matahari dan bumi. Inilah yang dimaksud gerhana matahari. Sedangkan khusuf yakni sebutan untuk gerhana bulan. (Al Mu’jamul Wasith, hal. 823)

Jadi ada dua istilah dalam pembahasan gerhana yaitu kusuf dan khusuf. Kusuf yakni gerhana matahari, sedangkan khusuf yakni gerhana bulan.

Definisi yang sempurna kalau kita katakan: Kalau kusuf dan khusuf tidak disebut berbarengan maka kusuf dan khusuf bermakna satu yaitu gerhana matahari atau gerhana bulan. Namun kalau kusuf dan khusuf disebut berbarengan, maka kusuf bermakna gerhana matahari, sedangkan khusuf bermakna gerhana bulan. (Lihat Syarhul Mumthi’ ’ala Zadil Mustaqni’, 2/424, Dar Ibnul Haitsam)

Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin inilah yang akan ditemukan dalam beberapa hadits. Kadang dalam suatu hadits memakai kata khusuf, namun yang dimaksudkan yakni gerhana matahari atau gerhana bulan lantaran khusuf pada ketika itu disebutkan tidak berbarengan dengan kusuf.

Wajib atau Sunnahkah Shalat Gerhana?

Mayoritas ulama beropini bahwa aturan shalat gerhana matahari yakni sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat ditekankan). Namun, berdasarkan Imam Abu Hanifah, shalat gerhana dihukumi wajib. Imam Malik sendiri menyamakan shalat gerhana dengan shalat Jum’at. Kalau kita timbang-timbang, ternyata para ulama yang menilai wajib mempunyai dalil yang kuat. Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal berdasarkan kaedah ushul fiqih, aturan asal perintah yakni wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shodiq Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.

Para Ulama Berbeda Pendapat Mengenai Hukum Shalat Gerhana Bulan

Pendapat pertama menyatakan bahwa aturan shalat gerhana bulan yakni sunnah mu’akkad sebagaimana shalat gerhana matahari (ini bagi yang menganggap shalat gerhana matahari yakni sunnah mu’akkad, pen) dan dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh ’Atho’, Al Hasan, An Nakho’i dan Ishaq, bahkan pendapat ini diriwayatkan pula dari Ibnu ’Abbas.

Pendapat kedua yang menyatakan bahwa aturan shalat gerhana bulan yakni sunnah menyerupai shalat sunnah biasa yaitu dilakukan tanpa ada pelengkap ruku’ (lihat klarifikasi mengeanai tata cara shalat gerhana selanjutnya, pen). Menurut pendapat ini, shalat gerhana bulan tidak perlu dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Malik.

Manakah yang lebih kuat? Pendapat pertama dinilai lebih kuat, lantaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan untuk shalat ketika melihat kedua gerhana tersebut tanpa dia bedakan (Lihat pembahasan ini di Shohih Fiqh Sunnah, 1/432-433, Al Maktabah At Taufiqiyah). Juga ada dalil yang mendukung pendapat pertama tadi. Dalilnya adalah:

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

”Jika kalian melihat kedua gerhana yaitu gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047)

Kita kembali lagi pada pembahasan di atas. Kami nilai sendiri bahwa shalat gerhana yakni wajib sebagaimana yang juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’.

Kalau ada yang menyampaikan bahwa shalat yang wajib itu hanyalah shalat lima waktu saja. Maka para ulama yang menyatakan wajibnya shalat gerhana akan menyanggah, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyebut shalat lima waktu itu wajib lantaran shalat tersebut berulang di setiap waktu dan tempat (maksudnya: shalat lima waktu yakni shalat yang diwajibkan setiap ketika dan bukan lantaran sebab, pen). Adapun shalat gerhana dan tahiyatul masjid (bagi yang menilai aturan shalat tahiyatul masjid yakni wajib) atau shalat semacam itu, maka shalat-shalat ini wajib lantaran ada lantaran tertentu. Maka shalat-shalat ini bukan menyerupai shalat wajib mutlaq (maksudnya: berbeda dengan shalat lima waktu). Misalnya saja ada seseorang bernadzar akan menunaikan shalat dua raka’at. Shalat lantaran nadzar ini wajib dia kerjakan walaupun shalat tersebut bukan shalat lima waktu. Shalat ini wajib dikerjakan lantaran karena dia bernadzar. Jadi, shalat yang wajib lantaran karena tertentu tidak menyerupai shalat wajib muthlaq yang tanpa sebab.”

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Inilah pendapat yang kami nilai kuat. Namun sangat disayangkan orang-orang malah lebih bahagia melihat fenomena gerhana matahari atau gerhana bulan dan mereka tidak memperhatikan kewajiban yang satu ini. Semua hanya sibuk dengan dagangan, hanya berfoya-foya atau sibuk di ladang. Kami takutkan, mungkin saja gerhana ini yakni tanda diturunkannya adzab sebagaimana yang Tuhan takut-takuti melalui gerhana ini. Kesimpulannya, pendapat yang menyatakan wajib lebih berpengaruh daripada yang menyatakan sekedar dianjurkan.” (Lihat klarifikasi yang sangat menarik ini di Syarhul Mumthi’, 2/429)

Jadi bagi siapa saja yang melihat gerhana, maka dia wajib menunaikan shalat gerhana. Wallahu a’lam, wal ’ilmu ’indallah. Semoga kita dimudahkan oleh Tuhan untuk melaksanakannya.

Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana yakni mulai ketika gerhana muncul hingga gerhana tersebut hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ

”Matahari dan bulan yakni dua tanda di antara gejala kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi lantaran maut atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, kemudian shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904)

Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, kalau gerhana muncul sesudah Ashar, padahal waktu tersebut yakni waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047). Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.