Fiqih Kontemporer | Aturan Seni Musik Berdasarkan Islam

Suatu duduk perkara yang menimpa mayoritas umat insan termasuk umat Islam yaitu duduk perkara nyanyian dan musik. Terlepas dari aturan nyanyian dan musik tersebut, mayoritas umat insan dan juga umat Islam menyukai sesuatu yang indah dan merdu didengar. Secara fitrah insan menyenangi bunyi gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan bunyi binatang-binatang di alam bebas, senandung bunyi yang merdu dan bunyi alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan cuilan dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. Tuhan SWT. menghalalkan bagi insan untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, alasannya memang itu semua itu diciptakan untuk manusia.

Disisi lain Tuhan SWT. telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah saw. Tuhan SWT. menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Halal dan haram telah jelas. Rasulullah saw. bersabda:


"إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُما مُشْتَبِهاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهاتِ اسْتَبرأ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ،

Artinya: “Sesungguhnya yang halal itu terang dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhat, insan tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram” (HR Bukhari dan Muslim).

Sehingga jelaslah semua urusan bagi umat Islam. Tuhan SWT. tidak membiarkan umat insan hidup dalam kebingungan, semuanya telah diatur dalam Syariah Islam yang sangat terang sebagaimana jelasnya matahari di siang hari. Oleh alasannya itu semua insan harus kesepakatan pada Syari’ah Islam yang merupakan aliran hidup mereka.

Bagaimana Islam berbicara wacana nyanyian dan musik ? Istilah yang biasa digunakan dalam madzhab Hanafi pada duduk perkara nyanyian dan musik sudah masuk dalam ruang lingkup maa ta’ummu bihi balwa (sesuatu yang menimpa orang banyak). Sehingga pembahasan wacana dua duduk perkara ini harus tuntas. Dan dalam tetapkan aturan pada dua duduk perkara tersebut, apakah halal atau haram, harus benar-benar berlandaskan dalil yang shahih (benar) dan sharih (jelas). Dan tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber landasan Islam saja yaitu Al- Qur’an, Sunnah yang shahih dan Ijma. Tidak terpengaruh oleh budpekerti atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat atau budaya suatu masyarakat.

Sebelum membahas pendapat para ulama wacana dua duduk perkara tersebut dan pembahasan dalilnya. Kita perlu mendudukkan dua duduk perkara tersebut. Nyanyian dan musik dalam Fiqh Islam termasuk pada kategori muamalah atau urusan dunia dan bukan ibadah. Sehingga terikat dengan kaidah:

الأصل الأشياء في الإباحة

Hukum dasar pada sesuatu (muamalah) yaitu halal (mubah).

Hal ini sesuai firman Tuhan SWT. :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Artinya:” Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS Al-Baqarah 29).

Sehingga untuk tetapkan aturan haram pada duduk perkara muamalah termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang shahih dan sharih. Rasulullah saw. bersabda:

"إنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلا تُضَيِّعُوها، وَحَدَّ حُدُوداً فَلا تَعْتَدُوها، وَحَرَّمَ أشْياءَ فَلا تَنْتَهِكُوها، وَسَكَتَ عَنْ أشْياءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيانٍ فَلا تَبْحَثُوا عَنْها"

Artinya:”Sesungguhnya Tuhan ‘Aza wa Jalla telah tetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, tetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan membisu atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak alasannya lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya) “ (HR Ad-Daruqutni).

الْحَلاَلُ ما أحَلّ الله في كِتَابِهِ. والْحَرَامُ ما حَرّمَ الله في كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمّا عفى عنهُ

Artinya: “Halal yaitu sesuatu yang Tuhan halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram yaitu sesuatu yang Tuhan haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Tuhan diamkan maka itu yaitu sesuatu yang dima’afkan” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )

Pada aturan nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Ulama setuju mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Ulama juga setuju membolehkan nyanyian yang baik, menggugah semangat kerja dan tidak kotor, jorok dan mengundang syahwat, tidak dinyanyikan oleh perempuan abnormal dan tanpa alat musik. Adapaun selain itu para ulama berbeda pendapat, sbb:

Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi bermetamorfosis haram dalam kondisi berikut:
  1. Jika disertai kemungkaran, mirip sambil minum khomr, berjudi dll.
  2. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah mirip mengakibatkan timbul cinta birahi pada perempuan atau sebaliknya.
  3. Jika mengakibatkan lalai dan meninggalkan kewajiban, mirip meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dll.
Madzhab Maliki, asy-Syafi’i dan sebagian Hambali beropini bahwa mendengar nyanyian yaitu makruh. Jika mendengarnya dari perempuan abnormal maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru’ah. Adapun berdasarkan asy-Syafi’i alasannya mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya:” Saya tidak menyukai nyanyian alasannya melahirkan kemunafikan dalam hati”.

Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya: Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll. Sehingga secara umum sanggup disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik jikalau terbebas dari segala macam yang diharamkan sebagaimana disebutkan diatas.

Sedangkan aturan yang terkait dengan memakai alat musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb:

1- ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمروالمعازف

Artinya:”Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan". (HR Bukhari)

2 - عن نافع "أن ابن عمر سمع صوت زمارة راع فوضع اصبعيه في أذنيه وعدل راحلته عن الطريق وهو يقول يا نافع أتسمع فأقوله نعم فيمضي حتى قلت لا فرفع يده وعدل راحلته إلى الطريق وقال رأيت رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم سمع زمارة راع فصنع مثل هذا". ‏

Artinya:” Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar bunyi seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:”Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?”. Saya menjawab:”Ya”. Kemudian melanjutkan berjalanannya hingga saya berkata :”Tidak”. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala lalu melaksanakan mirip ini” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

3 - عن عمر أن بن حصين "أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم قال في هذه الأمة خسف ومسخ وقذف فقال رجل من المسلمين يا رسول اللّه ومتى ذلك قال إذا ظهرت القيان والمعازف وشربت الخمور".

Artinya: Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata wacana umat ini:” Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:”Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?” Rasul menjawab:” Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan” (HR At-Tirmidzi).

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits wacana haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy'ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang menyampaikan bahwa hadits ini yaitu mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, alasannya terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada yaitu bila ia melalaikan.

Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak terang mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sedangkan hadits ketiga yaitu hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan aturan musik, jikalau diteliti ternyata tidak ada yang shohih.

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar yaitu sbb: Ulama Madinah dan lainnya, mirip ulama Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memperlihatkan akomodasi pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola”. Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak perempuan untuk menyanyi dan ia sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi.
 Suatu duduk perkara yang menimpa mayoritas umat insan termasuk umat Islam yaitu duduk perkara nyan Fiqih Kontemporer | Hukum Seni musik Menurut Islam

Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair mempunyai budak-budak perempuan dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata:” Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. lalu Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi lalu berkata:” Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair:” Dengan ini nalar seseorang sanggup seimbang”. Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Demikianlah pendapat ulama wacana mendengarkan alat musik. Dan jikalau diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik alasannya mereka mengambil perilaku waro’(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik alasannya mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang terang mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada aturan asalnya yaitu mubah.

Oleh alasannya itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

Pertama: Lirik Lagu yang Dilantunkan.

Hukum yang berkaitan dengan lirik ini yaitu mirip aturan yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik berdasarkan syara', maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya jelek berdasarkan syara', maka dilarang.

Kedua: Alat Musik yang Digunakan.

Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, aturan dasar yang berlaku dalam Islam yaitu bahwa segala sesuatu intinya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik intinya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama yaitu ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jikalau melalaikan.

Ketiga: Cara Penampilan.

Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang tidak boleh syara' mirip pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

Keempat: Akibat yang Ditimbulkan.

Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga berpengaruh menimbulkan hal-hal yang diharamkan mirip melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon eksklusif dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi' (menutup pintu kemaksiatan) .

Kelima: Aspek Tasyabuh.

Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari semoga tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ تَشَبّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya:”Siapa yang mirip suatu kaum maka ia termasuk mereka” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Keenam: Orang yang menyanyikan.

Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari perempuan yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Tuhan SWT.:

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا(32)

Artinya:”Hai isteri-isteri Nabi, kau sekalian tidaklah mirip perempuan yang lain, jikalau kau bertakwa. Maka janganlah kau tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”(QS Al-Ahzaab 32)

Demikian kesimpulan wacana aturan nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Amiin.