Bahaya Berfatwa Agama Tanpa Ilmu

Akhir zaman ini banyak orang-orang yang belum mumpuni ilmu agama Islam sudah berani menghukumi suatu duduk kasus menurut pemikiran mereka sendiri yang mereka dapatkan dari terjemahan satu-dua hadits Nabi tanpa memandang kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para Ulama terdahulu. Padahal keilmuan orang-orang pada zaman tamat (kurun sesudah Imam empat madzhab) sangat jauh dibanding para ulama terdahulu, orang-orang kini banyak yang tidak fair dalam memakai hadits, semangat dalam berfatwa hanya dengan beberapa hadits tapi mengabaikan hadits-hadits lain yang jauh lebih harus dipertimbangkan. Hafal satu dua hadits saja sudah berikrar menjadi ustadz dan berani membid’ahkan suatu golongan mayoritas. Padahal Kalau kita lihat sejarah para Ulama Salaf, mereka hafal ratusan ribu hadits akan tetapi mereka tetap bermadzhab dan menghukumi duduk kasus menurut ijtihad Imam Madzhab. Jauh-jauh hari para Ulama sudah memperingatkan kepada Umat untuk berhati-hati dalam memberikan aliran agama Islam, salah satunya yang disampaikan dalam Kitab Bughyatul Musytarsyidin Berikut Ini: ـ (مسألة: ك): شخص طلب العلم، وأكثر من مطالعة الكتب المؤلفة من التفسير والحديث والفقه، وكان ذا فهم وذكاء، فتحكم في رأيه أن جملة هذه الأمة ضلوا وأضلوا عن أصل الدين وطريق سيد المرسلين ، فرفض جميع مؤلفات أهل العلم، ولم يلتزم مذهباً، بل عدل إلى الاجتهاد، وادّعى الاستنباط من الكتاب والسنة بزعمه، وليس فيه شروط الاجتهاد المعتبرة عند أهل العلم، ومع ذلك يلزم الأمة الأخذ بقوله ويوجب متابعته، فهذا الشخص المذكور المدَّعي الاجتهاد يجب عليه الرجوع إلى الحق ورفض الدعاوى الباطلة، وإذ طرح مؤلفات أهل الشرع فليت شعري بماذا يتمسك؟ فإنه لم يدرك النبي عليه الصلاة والسلام، ولا أحداً من أصحابه رضوان الله عليهم، فإن كان عنده شيء من العلم فهو من مؤلفات أهل الشرع، وحيث كانت على ضلالة فمن أين وقع على الهدى؟ فليبينه لنا فإن كتب الأئمة الأربعة رضوان الله عليهم ومقلديهم جلّ مأخذها من الكتاب والسنة، وكيف أخذ هو ما يخالفها؟ ودعواه الاجتهاد اليوم في غاية البعد كيف؟ وقد قال الشيخان وسبقهما الفخر الرازي: الناس اليوم كالمجمعين على أنه لا مجتهد، ونقل ابن حجر عن بعض الأصوليين: أنه لم يوجد بعد عصر الشافعي مجتهد أي: مستقل، وهذا الإمام السيوطي مع سعة اطلاعه وباعه في العلوم وتفننه بما لم يسبق إليه ادعى الاجتهاد النسبي لا الاستقلالي، فلم يسلم له وقد نافت مؤلفاته على الخمسمائة، وأما حمل الناس على مذهبه فغير جائز، وإن فرض أنه مجتهد مستقل ككل مجتهد ـ اهـ بغية المسترشدين ص ٦ المرجع الأكبر "Ada orang orang yang arif dan cerdas, banyak mempelajari kitab kitab karangan ulama salaf, baik itu tafsir, hadits, maupun ilmu fiqih, kemudian menghukumi suatu duduk kasus dengan pendapatnya sendiri, maka orang yang mirip ini ialah orang yang sesat dan menyesatkan yang justru menjauhkan dari pokok agama yang benar dan jalan Pemimpin para Rasul yaitu Nabi Muhammad Saw. Mereka menolak kitab-kitab ulama salaf yang yang notabene ialah andal ilmu, mereka menyuarakan perihal tidak wajibnya bermadzhab dan mengarahkan kepada pemahaman agama dari hasil ijtihadnya sendiri, mereka mengaku beristinbath(menggali Hukum) eksklusif kepada Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman sendiri, sedang mereka tidak memenuhi kriteria syarat syarat berijtihad yang sudah masyhur bagi andal ilmu, mereka mewajibkan masyarakat untuk mengikuti hasil ijtihad mereka. Maka untuk orang orang yang mirip diatas (yang mengaku ngaku berijtihad langsung/ menggali aturan eksklusif dari Al-Qur'an dan Sunnah) wajib atas mereka bertaubat dan kembali kepada jalan kebenaran (sesuai pemahaman dominan ulama salaf) dan masyarakat wajb menolak permintaan mereka yang bathil. Apabila kitab-kitab karangan para ulama salaf dikesampingkan (tidak dipakai), maka dengan apa seseorang memahami agama ini yang selanjutnya digunakan untuk pedoman hidup? Padahal dia tidak bertemu eksklusif dengan Nabiyyuna Muhammad SAW, juga tidak bertemu dengan para Sahabat Nabi. Bila kebetulan dia memiliki suatu kitab karangan ulama salaf kemudian dia mempelajarinya sendiri, kemudian dalam proses memahami kitab tersebut dia salah pemahaman, maka kepada siapa dia akan minta petunjuk untuk membenarkan pemahamannya? Silakan jelaskan kepada kami! Sesungguhnya kitab-kitab karya para Imam Agung empat Madzhab dan para ulama yang taqlid (mengikuti) kepada mereka, sumbernya ialah Al-Qur'an dan Sunnah. Bagaimana proses ijtihadnya sehingga menyelisihi pendapat-pendapat mereka? Kenapa mereka yang ketika ini mengaku berijtihad eksklusif dan kembali kepada Al-Qur'an da Sunnah menghasilkan pendapat dan pemikiran yang sangat jauh dari para Imam Madzhab yang empat di atas ? Berkata Al-Imam Asy-Syaikhoni dan pendahulu mereka Al-Imam Al-Fakhrur Rozi: 'Orang-orang zaman kini ini menyerupai perkumpulan banyak orang hanya saja tidak ada mujtahid di dalamnya.' Syaikh Ibnu Hajar menuqil fatwa dari sebagian para Ahli Ushuluddin: 'Sesungguhnya sesudah kurun masa Imam Syafi'i tidak ditemukan lagi seorangpun yang mencapai derajat mujtahid mustaqil (Mujtahid yang menggali eksklusif Al-Qur'an da Sunnah).' Contoh terdekat, Imam As-Suyuthi yang dikenal luas ilmunya dan mengusai aneka macam fan ilmu, dia berijtihad dengan nisbi (mengikuti pendapat dari Imam Syafi'i), bukan seorang mujtahid mustaqil, kenapa dia tidak berani? padahal kitab kitab karangan dia sangat banyak, tidak kurang dari 500 (lima ratus) kitab . Sesungguhnya orang-orang yang menggali aturan sendiri mirip layaknya seorang mujtahid mustaqil dan menganggap hasil ijtihad mereka benar, hal itu tidak diperbolehkan, walaupun mereka memastikan bahwa mereka ialah seorang mujtahid mustaqil, mirip layaknya mujtahid zaman dahulu." Bughyatul Mustarsyidin Agar tidak menjadikan pemahaman dan praktek aliran agama yang berbeda maka mempelajari agama haruslah belajar dengan orang yang paham duduk kasus agama (ulama dan kyai). Hal ini sebab ketika memahami agama meskipun dengan berpedoman eksklusif dengan Al Qur'an dan Hadis akan tetapi penafsirannya belum tentulah pas dan sempurna sesuai substansi atau isi dari dalil tersebut. Ketika ayat maupun hadis tersebut ialah hal yang tanpa butuh penafsiran maka itu mungkin tidak bermasalah dan berbahaya. Akan tetapi banyak sekali ayat Al Qur'an atau hadis yang membutuhkan penafsiran dalam memahaminya. Dan hal itu oleh para Ulama terdahulu dijelaskan detail dalam kitab-kitab karya mereka, sehingga bekerjsama kita sudah dipermudah dengan tinggal mempelajari kitab-kitab tersebut yang sudah gampang untuk dipahami bagi yang mau membacanya. Apalagi kalau kapasitasnya untuk berfatwa sebagai ustadz atau lainnya, ketika pemahaman terhadap agama semenjak awalnya sudah salah kemudaian diajarkan dan berfatwa terhadap aliran yang salah maka hal tersebut sangatlah berbahaya sebagaimana hadis Rasulullah Saw: إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
"Sesungguhnya Yang Mahakuasa tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Yang Mahakuasa tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain." (HR. Bukhari Muslim) Sumber: http://www.ngaji.web.id/