Merekalah Orang-orang Yang Mencintai Nabi


Cinta Nabi. Kalimat sederhana yang begitu dalam maknanya. Dua kata yang bisa membuat orang menebusnya dengan dunia dan seisinya. Karena memang demikianlah hakikinya. Nabi Muhammad ﷺ wajib lebih dicintai dari orang bau tanah , istri , anak , dan siapapun juga.

Flashdisk Yufid.TV
Namun , kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ bukanlah sesuatu yang bebas ekspresi. Tetap ada aturan yang cantik dan elegan. Tidak boleh berlebihan dan juga menyepelekan. Tidak boleh mengada-ada. Karena dia begitu mulia untuk dipuja dengan sesuatu yang bukan dari ajarannya.

Yang Mahakuasa ﷻ berfirman ,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Yang Mahakuasa dan Rasul(Nya) , mereka itu akan tolong-menolong dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Yang Mahakuasa , yaitu: Nabi-nabi , para shiddiiqiin , orang-orang yang mati syahid , dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sahabat yang sebaik-baiknya.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 69).

Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan , “Ayat ini turun terkait dengan dongeng Tsauban bin Bujdad radhiallahu ‘anhu bekas budak Rasulullah ﷺ. Ia sangat mencintai Nabi ﷺ. Suatu hari ia menemui Nabi ﷺ , rona wajahnya berbeda. Menyiratkan kekhawatiran dan rasa sedih yang bergemuruh.

Rasulullah ﷺ bertanya , ‘Apa yang membuat raut wajahmu berbeda (dari biasa)’?

‘Aku tidak sedang sakit atau kurang enak badan. Aku hanya berpikir , bila tak melihatmu , gua sangat takut berpisah denganmu. Perasaan itu tetap ada , hingga gua melihatmu. Kemudian gua teringat akhirat. Aku takut kalau gua tak berjumpa denganmu. Karena engkau di kedudukan tinggi bersama para nabi. Dan gua , seandainya masuk surga , gua berada di tingkatan yang lebih rendah darimu. Seandainya gua tidak masuk surga , maka gua takkan melihatmu selamanya’ , kata Tsauban radhiallahu ‘anhu.

Kemudian Yang Mahakuasa ﷻ menurunkan ayat ini.

Mereka Yang Mencintai Nabi

Suatu hari , Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu , sedang berkebun di perkebunannya. Kemudian anaknya datang , mengabarkan kalau Nabi ﷺ telah wafat. Ia berucap ,

اللهم أذهب بصري تى لا أرى بعد حبيبي محمدًا أحدًا

“Ya Yang Mahakuasa , hilangkanlah penglihatanku. Sehingga gua tidak melihat seorang pun setelah kekasihku , Muhammad.” Ia katupkan dua tapak tangannya ke wajah. Dan Yang Mahakuasa ﷻ mengabulkan doanya (Syarah az-Zarqani ‘ala al-Mawahib ad-Diniyah bi al-Manhi al-Muhammadiyah , Juz: 8 Hal: 84).

Tak ada pemandangan yang lebih cantik bagi para sahabat melebihi memandang wajah Rasulullah ﷺ. Abdullah bin Zaid ingin , pandangan terakhirnya yaitu wajah Nabi. Saat memejamkan mata , ia tak ingin ada bayangan lain di benaknya. Ia hanya ingin muncul wajah yang mulia itu.

Bilal radhillahu ‘anhu , seorang sahabat dari Habasyah. Muadzin Rasulullah ﷺ. Cintanya pada sang Nabi terus bertumbuh hingga maut datang padanya. Sadar akan kehilangan Bilal , keluarganya bersedih dan mengatakan , “Betapa besar musibah”!

Bilal menanggapi , “Betapa bahagia! Esok gua berjumpa dengan kekasih; Muhammad dan sahabat-sahabatnya.” (Rajulun Yatazawwaju al-Mar-ata walahu Ghairuha , No: 285)

Cinta sahabat Nabi telah membuat kita malu. Cinta mereka begitu tulus. Tak jarang cinta kita hanya mengaku-ngaku.

Al-Hawari , Abdullah bin Zubair. Apabila ada yang menyebut Nabi ﷺ di sisi Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu , ia menangis tersedu , hingga matanya tak bisa lagi meneteskan rindu dan kesedihan (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa , Hal: 402).

Demikian juga dengan sahabiyat (sahabat wanita). Cinta mereka kepada Rasululllah ﷺ tak kalah hebatnya dari sahabat laki-laki. Ada seorang wanita Anshar; ayah , suami , saudara laki-lakinya gugur di medan Perang Uhud. Bayangkan! Bagaimana perasaan seorang wanita kehilangan ayah , kawasan ia mengadu. Kehilangan suami , tulang punggung keluarga dan kawasan berbagi. Dan saudara laki-laki yang melindungi. Ditambah , ketiganya pergi secara bersamaan. Alangkah sedih keadaannya.

Mendengar tiga orang kerabatnya gugur , sahabiyah ini bertanya , “Apa yang terjadi dengan Rasulullah ﷺ”?

Orang-orang menjawab , “Beliau dalam keadaan baik.”

Wanita Anshar itu memuji Yang Mahakuasa dan mengatakan , “Izinkan gua melihat beliau.” Saat melihatnya ia berucap ,

كل مصيبة بعدك جلل يا رسول الله

“Semua petaka (selain yang menimpamu) yaitu ringan , wahai Rasullah.” (Sirah Ibnu Hisyam , Juz: 3 Hal: 43).

Maksudnya apabila petaka itu menimpamu; janjkematian dll. Itulah petaka yang berat.

Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu mengatakan , “Taka da seorang pun yang lebih gua cintai melebih Rasulullah. Dan tak ada seorang pun yang lebih mulia bagiku selain dirinya. Aku tidak pernah menyorotkan penuh pandanganku padanya , karena begitu menghormatinya. Sampai-sampai bila gua ditanya , perihal perawakannya , gua tak bisa menggambarkannya. Karena mataku tak pernah memandangnya dengan pandangan utuh.” (Riwayat Muslim dalam Kitab al-Iman No: 121).

Sebagaimana kita saksikan , seorang pengawal kerajaan menundukkan wajahnya saat berbicara dengan sang raja. Karena menghormati dan memuliakan rajanya. Amr bin al-Ash lebih-lebih lagi dalam memuliakan dan mengagungkan Nabi ﷺ.

Adakah pengagungan yang lebih mahir dan lebih luar biasa. Selain pengagungan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ terhadap beliau?

Cinta Nabi Harus Mencintai Sahabatnya

Mencintai Nabi ﷺ berkonsekuensi mencintai sahabatnya. Abdullah bin al-Mubarak mengatakan , “Ada dua jalan , siapa yang berada di atasnya , ia selamat. Ash-shidqu (jujur) dan mencintai sahabat Muhammad ﷺ.” (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa , Hal: 413).

Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (tokoh tabi’in) mengatakan , “Siapa yang mencintai Abu Bakar , ia telah menegakkan agama. Siapa yang mencintai Umar , ia telah memperjelas tujuan. Siapa yang mencintai Utsman , ia telah meminta penerangan dengan cahaya Allah. Dan siapa yang mencintai Ali , ia telah mengambil tali yang kokoh. Siapa bagus sikapnya terhadap sahabat Muhammad ﷺ , ia telah berlepas diri dari kemunafikan. Siapa yang merendahkan salah seorang dari mereka , ia yaitu spesialis bid’ah yang menyelisihi Sunnah dan salaf ash-shaleh. Aku khawatir amalnya tidak naik ke langit (tidak diterima) , hingga ia mencintai semua sahabat. Dan hatinya bersih terhadap mereka.” (ats-Tiqat oleh Ibnu Hibban No:680).

Mencintai Rasulullah ﷺ yaitu kedudukan mulia. Umat Islam berlomba-lomba mencintai beliau. Kecintaan kepada dia menguatkan hati. Gizi bagi ruh. Dan penyejuk jiwa. Mencintai dia yaitu cahaya. Tak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan mencintai Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya.

Kita melihat orang-orang yang cinta nabi , mata mereka berbinar bahagia. Jiwa mereka syahdu. Hati mereka tenang. Mereka menikmati rasa cinta itu. mereka menjadi mulia di dunia dan berbahagia di akhirat. Mereka tahu bagaimana rasa yang namanya bahagia itu. Keadaan sebaliknya bagi mereka yang tidak mencintai Nabi. Mereka mencicipi kegundahan. Jiwa yang hampa. Perasaan yang sakit. Dan rugi.

Dalam Zadul Ma’ad , Ibnul Qayyim rahimahullah , mengatakan , “Maksudnya yaitu sekadar mana seseorang mengikuti Rasul. Setingkat itu pula kadar kemuliaan dan pertolongan. Sebatas itu pula kualitas hidayah , kemenangan , dan kesuksesan. Yang Mahakuasa ﷻ memberi relasi sebab-akibat , kebahagiaan di dunia dan alam abadi yaitu dengan mengikuti Nabi. Dia menimbulkan kesengsaraan di dunia dan alam abadi bagi yang menyelisihi sang Nabi. Mengikutinya yaitu petunjuk , keamanan , kemenangan , kemuliaan , kecukupan , kenikmatan. Mengikutinya yaitu kekuasaan , teguh di atasnya , kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Menyelisihinya yaitu kehinaan , ketakutan , kesesatan , kesengsaraan di dunia dan akhirat.”

Renungan

Setelah mengetahui bagaimana hebatnya cinta dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah ﷺ , tentunya kita semakin bersemangat untuk meneladani cara mereka mencintai Nabi. Cara yang tidak berlebihan dan tidak menyepelekan. Cara mereka mencintai diridhai oleh Nabi.

Mereka menangis , tidak berani menyorotkan pandangan , bahagia dengan keselamatan dia , dll. tapi mereka tak pernah melaksanakan perayaan maulid Nabi yang dianggap bukti cinta padanya. Mereka tak pernah merayakan suatu ‘amalan’ di hari kelahiran sang tauladan yang katanya yaitu pengagungan.

Apakah kita yang mencar ilmu dari mereka cara mencintai Nabi ataukah sebaliknya?

Demikianlah kita bawah umur simpulan zaman. Sering menyebut cinta , tapi kita tak tahu apa artinya mencintai. Akhirnya , semakin marak perayaan , umat tak kunjung juga mengkaji hadits-hadits Nabi. Lihatlah sekitar kita sebagai renungan dan bukti.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com